Relevansi Antropologi Dalam Penafsiran Al-Qur’an
Berbicara masalah Antropologi maka yang menjadi objek adalah manusia sebagai makhluk sosial yang secara definisi maupun objek kajiannya hampir sama namun berbeda dengan kajian sosiologi. Kemudian dihadapkan dengan Al-Qur’an dan Hadits yang notabene merupakan sumber primer umat islam dalam beribadah dimana dipastikan bahwa didalamnya akan muncul konsep-konsep sosial manusia maka disanalah Antropologi berperan.
Syeikh Muhammad Abduh berpendapat yang dibutuhkan oleh umat ini adalah pemahaman kitab suci sebagai sebuah hidayah yang membawa kebahagiaan dunia dan akhirat. Sehingga Al-Qur’an pasti dapat menyuguhkan berbagai solusi beragam atas berbagai polemik sosial dan problem yang sangat kompleks.
Penjabaran kegiatan-kegiatan ekonomi yang dijabarkan dari tafsir sosial permasalahan masyarakat; seperti kemiskinan, melawan monopoli, perlakuan zhalim terhadap harta anak yatim, sampai pada distribusi zakat dan kinerja para amilin zakat. Sebagai penyeimbang kasus-kasus polemik epistimologis yang dihasilkan dari premis desakralisasi teks (al-Qur’an), dari sejak wacana penyetaraan gender sampai menggugat jenis-jenis hukuman kriminal.
Relevansi pedekatan antropologi dicontohkan al-Qur’an sendiri dalam kasus pelarangan meminum khamr yang turun dalam tiga tahapan: pertama, tahapan balance informasi. Kedua, tahapan peringatan. Ketiga, tahapan final pengharamannya. Struktur perintah termasuk redaksi dan pola penyampaiannya sangat memperhatikan kondisi sosial masyarakat saat itu.
Demikian halnya dalam konteks penyampaian isi al-Qur’an dan penafsirannya pada skup yang sangat mikro dan lokal yang diperhatikan adalah konteks metode penafsirannya dan bukan pada pengubahan substansinya. Bila tidak problem budaya akan semakin menjadi tema polemik yang menarik antar komunitas yang berbeda. Seperti pengertian dan batasan tentang jilbab. Benarkah batasan wajibnya hanya pada aurat kubra? Selebihnya diserahkan pada nilai kebiasaan dan adat masyarakat setempat. Benarkah hijab atau jilbab hanya menjadi sebuah simbol keberagamaan. Atau ada maqashid syariah di sana? Jika sebagai symbol apakah mewakili symbol keberagamaan universal atau mewakili kultur tertentu saja. Atau sebaliknya dengan dalih maqashid, simbol seperti ini bisa digantikan dan tidak dipakai?
Bila yang dijadikan patokan hukum adalah adat maka tidak mustahil suatu kondisi kemungkaran yang menyebar berubah penilaiannya menjadi makruf. Sedang sebaliknya pengingkaran terhadap ini menjadi mungkar karena melawan suara mayoritas. Lebih dahsyatnya bila umat ini kehilangan imunitas saat serangan globalisasi peradaban dan budaya datang bertubi-tubi.
Gelombang globalisasi budaya ditandai dengan akhir dari periodisasi keyakinan atau budaya Amerika yaitu bagaimana menyalurkan pemikiran-pemikiran ini ke seluruh penjuru dunia menembus batas-batas geografis dan keyakinan bangsa lain. Pada akhir abad 20 kita masih sering membuat anti tesa antara peradaban Islam dengan peradaban Barat, atau antara Timur dan Barat. Akan tetapi anti tesa ini perlahan bergeser dan berubah dengan anti tesa antara Islam dan Amerika. Sehingga Islam diwacanakan sebagai common enemy (musuh bersama). Atau meminjam istilah Ibnu Kholdun sebagai konspirasi penafsiran sejarah (at-Tafsir at-Ta’amury li at-Tarikh). Tidakk aneh, jika suatu saat ada anekdot pilihan menjadi manusia hanya dua; menjadi pluralis (yang mengakui persamaan/penyatuan semua agama) atau menjadi teroris.
Serangan globalisasi budaya bila disikapi dengan pendekatan antropologi terhadap penafsiran al-Qur’an bisa mengakibatkan mindset terbalik yang bertujuan desakralisasi nilai-nilai dan sangat propagandis. Sebagai misal, sebut saja pengalihan wacana pertikaian dan kepentingan politik Amerika di Timur Tengah menjadi seruan perhatian dunia terhadap lingkungan hidup. Ini ajakan yang bagus. Hanya saja shâhib fikrahnya adalah perusak lingkungan maka dagangan politik ini cenderung kurang laku meski tak henti-hentinya didengungkan.
Karena itu perlu penyikapan realitas sosial dengan bijak. Pembacaan minor internal umat Islam dengan sikap mental inferior, meminjam istilah Malik ben Nabi sikap qâbiliyah umat untuk dijajah akan memperparah menjadi inferiority complex. Akibatnya, dengan serta merta mengikut dan mengadopsi budaya eksternal dengan filter terlalu lebar atau tidak sama sekali. Demi melihat glamournya kemajuan dan kemapanan kehidupan sebuah komunitas sosial seperti di Eropa dan Amerika.
Sumber :
- Muhammad RasyidRidha, Tafsîr al-Manâr, Beirut: Dar al-Fikr, 1998, Vol. I, h. 24
- Muhammad Abdul Munim, Al-Islam WaHadaiq As-Syaithon, KitabMahrajanlil-Jami’, Cairo: MaktabahUsrah, 2000, h. 98-99
Post a Comment for "Relevansi Antropologi Dalam Penafsiran Al-Qur’an"