Pandangan umum Angelika Nouwirth terhadap studi kesarjanaan Al-Qur’an
a. Posisi Neuwirth di Hadapan Studi Al-Qura'n Orientalis
Dalam artikelnya yang berjudul “Orientalism in Oriental Studies? Qur’anic Studies as a Case in Point,” Neuwirth menyampaikan bagaimana seharusnya studi orientalis atas Alquran dilakukan Pertama, tujuan studi Alquran bukanlah mencari pemahaman yang benar dan meletakkan pemahaman selainnya sebagai salah, tetapi memandang teks sebagai sebuah media perantara yang merefleksikan sebuah proses komunikasi. Kedua, kecenderungan pendekatan orientalis yang dilakukan dalam memahami teks dengan memaksakan aturan, ideologi dan kepentingan politis. Neuwirth juga mengkritik sikap orientalis yang tidak mau menerima Alquran sebagai salah satu kitab monoteisme sebagaimana kitab-kitab lain, padahal sebenarnya Alquran memiliki posisi penting bagi umatnya. Neuwirth mengapresiasi Theodor Noldeke (Geschtichte des Qorans, 1860) sebagai orang pertama yang melakukan analisis terhadap Alquran.Yang Noldeke berupaya untuk menyusun kembali surat dan bagian-bagian dalam surat berdasarkan kronologi turunnya. Kritik Neuwirth terhadap Noldeke terletak pada keterbatasan metode yang digunakannya. Baginya, Noldeke, dan peneliti yang mengikuti serta melanjutkan prinsipnya, belum sampai kepada kesadaran untuk mempertimbangan teks Alquran pra-kanonisasi sebagai proses komunikasi. Aspek ini menjadi ruang yang ingin dimasuki Neuwirth dalam kajian Alquran. Penelitian sarjana Barat lainnya yang tidak luput dari kitik nouwirth ialah Gunther Luling (1974) dan Christoph Luxenberg (2000) yang dianggap semakin melebarkan jarak antara kesarjanaan Islam dan Kristen. Aspek yang dikritik adalah metode, pendekatan, penelusuran data dan hasil penelitian yang berat sebelah (mengesampingkan sumber-sumber Arab-Islam dan hanya menyandarkan penelitiannya kepada data-data non-Arab) dan mereka hanya memfokuskan hanya dengan mengaitkan Alquran dengan teks-teks dari tradisi Kristen, terutama dari bahasa Aramaik. Mereka tidak melibatkan keterkaitan Alquran dengan masyarakat pagan, puisi Arab dan Yahudi. Namun demikian, Neuwirth tetap mengapresiasi karya mereka dalam kapasitasnya yang membuka dan memperkenalkan pintu kritisisme.
Dalam studinya, Neuwirth berupaya untuk memproduksi pengetahuan yang selain relevan juga bisa diterima secara hermeneutis oleh umat Islam.Dia memberikan contoh studi yang dilakukan oleh Toshihiko Isutzu dengan analisis semantiknya dan Stefan Wild dengan tawarannya ‘mantic speech’ yang mendapat apresiasi positif dari umat Islam.Hanya saja, dalam kaca mata Neuwirth, studi mereka mempunyai kekurangan.Mereka mengesampingkan pertanyaan krusial seputar historisitas Alquran dan relasinya dengan tradisi-tradisi sebelumnya. Secara umum, Neuwirth sendiri dalam beberapa kesempatan menyayangkan betapa studi Alquran beberapa dekade terakhir ini secara umum hanya berkonsentrasi kepada Alquran sebagai teks yang dikodifikasi ketimbang mengekplorasi sisi oral pre-historynya sehingga neuwirth menawarkan kajian post- kanonisasi dalam pemosisian kembali al-quran dalam konteks kebudayaan Late Antique.
b. Kritik nouwirth terhadap studi al Qur’an di kalangan sarjana Muslim
Selain terhadap kesarjanaan Barat atasAlquran,Neuwirth juga melakukan kritik terhadap studi Alquran yang dilakukan sarjana Muslim. Kritik Neuwirth adalah sebagai berikut: Pertama, pandangan bahwa Alquran melalui sejarah menjadikan Alquran sebagai teks yang tak bisa tersentuh (the Invisible Text).Pandangan ini menyebabkan Alquran tidak bisa dipelajari secara sistematis layaknya karya sastra (literary artifact) yang lain. Selain itu, sikap yang demikian menjadikan studi Alquran tidak berkembang. Pasalnya, alih-alih para sarjana berusaha menggali sesuatu yang baru, mereka malah memilih merujuk kepada karya tafsir klasik.
Kedua, Neuwirth menawarkan dekonstruksi terhadap mitos asal usul teks yang transenden. Dalam hal ini,dia membandingkan tradisi kesarjanaan Alquran dengan geliat dalam studi Bibel yang dengan terbuka membandingkan teksnya dengan teks dari tradisi lain.Yang diharapkan dari sikap keterbukaan terhadap tradisi lain adalah dimungkinannya penelusuran jejak-jejak negosiasi antara Alquran dengan kitab suci lain.
Ketiga, Neuwirth memberikan konsep yang berbeda atas teks pra-kanonisasi dan post-kanonisasi.
Sumber :
- Neuwirth, “Orientalism in Oriental Studies?”, hlm. 115.
- Neuwirth mengakui bahwa Alquran adalah sakral bagi umatnya, bahkan dia mengatakan bahw atidak ada penelitian serius, baik aspek eksternal, linguistic dan grammatikal, yang mampu mengusik apalagi melenyapkan status ini. Lihat Neuwirth, “Orientalism in Oriental Studies?”, hlm. 115-116.
- Neuwirth, “Orientalism in Oriental Studies?”, hlm 121-122.
- Lihat Neuwirth, “Orientalism in Oriental Studies?”, hlm. 120-122; M. Nur Kholis Setiawan, “Orientalisme Alquran”, hlm. 21.
- Neuwirth, “Qur’an and History”, hlm. 10
- Lihat Neuwirth, “Orientalism in Oriental Studies?”, hlm. 122-123.
- Neuwirth, “Structure and the Emergence of Community”, hlm. 141.
- Neuwirth, “Orientalism in Oriental Studies?”, hlm. 117.
- Neuwirth, “Orientalism in Oriental Studies?”, hlm. 117-118.
- Neuwirth, “Orientalism in Oriental Studies?”, hlm. 119-120. Konsep istilah kanonisasi, diakui pula oleh Neuwirth, masih diperdebatkan.Istilah ini merujuk kepada dua hal.Pertama, pengumpulan dan penyuntingan Alquran pada masa Abu Bakar.Kedua,peresmian Alquran pada masa Usman bin Affan.
Post a Comment for "Pandangan umum Angelika Nouwirth terhadap studi kesarjanaan Al-Qur’an"