Metodologi Penafsiran Fazlur Rahman
Seperti orang-orang Islam pada umumnya, Rahman mengakui bahwa al-Qur’an adalah wahyu yang secara literal diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, ia juga mengakui bahwa al-Qur’an adalah kalam ilahi. Namun, menurutnya al-Qur’an juga merupakan perkataan Muhammad. Pernyataan inilah yang membuatnya dianggap munkir al-Qur’an oleh kaum tradisionalis dan fundamentalis
Menurutnya, kaum muslim dewasa ini tengah membutuhkan suatu teori yang memadai untuk menafsirkan al-Qur’an bagi kebutuhan-kebutuhan mereka yang secara khusus memberi ciri kepada ajaran sosial al-Qur’an. Rahman memandang bahwa para mufasir klasik dan abad pertengahan telah memperlakukan al-Qur’an secara atomistik (ayat per ayat) meski terkadang mereka memberikan rujukan silang ketika menafsirkan suatu ayat, tapi hal ini tidak dilakukan secara sistematis. Karena itu, tafsir-tafsir mereka tidak menghasilkan suatu weltanschaung (pandangan-dunia) yang kohesif dan bermakna bagi kehidupan secara keseluruhan. .metode-metode atau prisip-prinsip penafsiran al-Qur’an (ushul al-tafsir) yang dibuat oleh para Ulama merupakan jasa besar bagi pemahaman al-Qur’an dan hal ini merupakan hal yang sangat penting bagi pemahaman al-Qur’an. Namun, walaupun demikian, terdapat suatu kebutuhan mendesak terhadap teori hermeneutik yang akan menolong kita untuk memahami makna al-Qur’an secara utuh dan menyeluruh.
Bagi Rahman, bagian dari tugas untuk memahami pesan al-Qur’an sebagai suatu kesatuan adalah mempelajarinya dengan sebuah latar belakang .latar belakang langsungnya adalah aktivitas Nabi sendiri dan perjuangannya selama dua puluh tiga tahun dibawah bimbingan al-Qur’an. Selanjutnya, ia menawarkan metodologi penafsiran yang –menurutnya– tepat untuk menafsirkan al-Qur’an. Proses penafsiran yang Rahman tawarkan merupakan gerakan ganda (double movement), dari situasi sekarang ke masa al-Qur’an diturunkan dan kembali lagi ke masa kini. Berikut ungkapannya:
Proses penafsiran yang diusulkan disini terdiri dari suatu gerakan ganda, dari situasi sekarang ke masa al-Qur’an diturunkan dan kembali lagi ke masa kini. Al-Qur’an adalah respons ilahi, melalui ingatan dan pikiran Nabi, kepada situasi moral sosial Arab pada masa Nabi, khususnya kepada masalah-masalah masyarakat dagang masyarakat Makkah pada masanya.
Jadi, menurutnya al-Qur’an turun untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada masyarakat Arab, sehingga untuk mengkontekstualisasikannya pada masa kini diperlukan pengetahuan historis yang menjadi latar belakang turunnya suatu ayat. Tidak hanya itu, situasi Makkah sebelum Islam datang pun memerlukan pemahaman yang mendalam. Didalamnya juga mencakup perihal pranata-pranata sosial, kehidupan ekonomis, dan hubungan-hubungan politik. Peran penting suku Quraisy dan pengaruh kekuasaan relogio-ekonomisnya dikalangan orang-orang Arab harus difahami Double movement yang diusung Rahman sebagaimana pernyataannya:
Gerakan pertama yang terdiri dari dua langkah yaitu: pertama, orang harus memahami arti atau makna dari suatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan al-Qur’an tersebut menjadi jawabannya. Sehingga akan menghasilkan pemahaman makna al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan disamping dalam batas-batas ajaran-ajaran khusus yang merupakan respons terhadap situasi-situasi khusus. Langkah kedua, adalah menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan rationes legis yang sering dinyatakan oleh ayat sendiri. Yang harus diperhatikan selama langkah ini adalah ajaran Al-Quran sebagai keseluruhan, sehingga setiap arti yang ditarik, setiap hukum yang disimpulkan dan setiap tujuan yang dirumuskan koheren satu sama lain. Ini sesuai dengan klaim Al-Quran sendiri bahwa ajarannya tidak mengandung kontradiksi-dalam dan koheren secara keseluruhan. Langkah ini juga bisa dan selayaknya dibantu oleh pelacakan terhadap pandangan-pandangan kaum muslim awal. Menurut Rahman, sampai sekarang sedikit sekali usaha yang dilakukan untuk memahami Al-Quran secara keseluruhan.
Gerakan pertama Rahman terdiri dari dua langkah, yakni memahami suatu ayat sesuai dengan konteksnya pada masa al-Qur’an turun (asbab al-nuzul), sehingga dengan hal ini akan dihasilkan penafsiran yang obyektif.Dan selanjutnya hasil pemahaman tersebut digeneralisasikan. Beliau menggunakan konsep “al-‘ibrah bi’umūm al-lafz lā bi khusūs al-sabab”. Selanjutnya mengenai gerakan kedua, Rahman menyatakan:
Sementara gerakan yang pertama mulai dari hal-hal yang spesifik lalu ditarik menjadi prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai moral jangka panjang, maka gerakan kedua ditempuh dari prinsip umum ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang. Artinya, ajaran-ajaran yang bersifat umum harus ditubuhkan (embodied) dalam konteks sosio-historis yang kongkrit di masa sekarang. Ini sekali lagi memerlukan adanya kajian yang cermat atas situasi sekarang sehingga situasi sekarang bisa dinilai dan dirubah sesuai dengan prioritas-prioritas moral tersebut. Apabila kedua momen gerakan ini ditempuh secara mulus, maka perintah Al-Quran akan menjadi hidup dan efektif kembali. Momen gerakan kedua ini juga berfungsi sebagai alat koreksi terhadap momen pertama, yakni terhadap hasil-hasil dari penafsiran. Apabila hasil-hasil pemahaman gagal diaplikasikan sekarang, maka tentunya telah terjadi kegagalan baik dalam memahami Al-Quran maupun dalam memahami situasi sekarang. Sebab, tidak mungkin bahwa sesuatu yang dulunya bisa dan sungguh-sungguh telah direalisasikan ke dalam tatanan spesifik di masa lampau, dalam konteks sekarang tidak bisa
Selanjutnya, gerakan kedua harus bisa membaca situasi masa kini dengan cermat dan menerapkan apa yang dihasilkan dalam gerakan pertama kedalam situasi masa kini. Jika hasil pemahaman gagal diterapkan, maka letak kesalahan bisa jadi pada gerakan pertama dalam memahami al-Qur’an maupun dalam memahami situasi masa sekarang.
Sebagai contoh aplikasi dari metodologi penafsirannya adalah mengenai riba dan zakat. Menurut Rahman, untuk mengatasi orang-orang lalai karena kekayaannya, al-Qur’an mengambil dua buah kebijaksanaan penting yakni melarang riba dan menetapkan zakat.
Rahman mengungkapkan bahwa tujuan al-Quran adalah menegakkan tata masyarakat yang ethis dan egalitarian. Hal ini terlihat dalam celaannya terhadap disekuilibrium ekonomi dan ketidak adilan sosial di dalam masyarakat Makkah pada waktu itu.
Pertama kali Rahman mengajak kita untuk menengok perekonomian di kota Makkah pada masa itu. Makkah adalah suatu kota dagang yang ramai. Tetapi di kota itupun tanpa kentara dijumpai eksploitasi terhadap orang-orang yang lemah, dan berbagai kecurangan di dalam praktek-praktek perdagangan dan keuangan. Dengan jelas sekali al-Qur’an menggambarkan situasi yang bercirikan sikap kikir yang keterlaluan, sikap mementingkan diri sendiri, dan kemewahan di samping kemiskinan dan ketidakberdayaan. Firman Allah dalam surat al-Takatsur ayat 1-4:
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.”
Dalam surat al-Humazah ayat 1-7, Allah berfirman:
“kecelakaanlah bagi Setiap pengumpat lagi pencela. yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya, Sekali-kali tidak! Sesungguhnya Dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, Yang (membakar) sampai ke hati.”
Orang-orang Makkah berkata bahwa mereka telah berusaha untuk memperoleh kekayaan mereka, oleh karena itu kekayaan tersebut adalah hak penuh mereka, dan mereka dapat mempergunakannya sekehendak hati mereka. Tetapi al-Quran berkata: bahwa tidak seluruh kekayaan merupakan hak dari yang mengusahakannya; orang-orang miskin juga memiliki “hak” didalam kekayaan tersebut. Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum muslimin, khususnya orang-orang yang mampu, bahwa mereka lebih baik mengeluarkan harta kekayaan mereka diatas jalan Allah daripada membungakan uang untuk menghirup darah orang miskin (30:39; 2:245; 5:12, 18; 57:11, 18; 64:17; 73:20). Atas dasar inilah, al-Quran mengambil dua buah kebijaksanaan untuk mengatasi hal diatas yakni melarang riba (menggandakan uang) dan menetapkan zakat. Larangan riba ini bersumber dari ayat:
“dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)” (al-Rum:39).
Rahman mengatakan bahwa pernyataan-pernyataan al-Qur’an bahwa harta kekayaan yang kita keluarkan untuk kepentingan masyarakat akan dibayar Allah dengan berlipat ganda, tertuju kepada praktek riba karena riba membuat modal yang semula menjadi berlipat ganda (ad’āfan mudā’afan) (3:130). Kemudian dalam ayat-ayat (2:275-278) riba dilarang keras bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi orang yang melanggar batas.
Larangan riba ini sangat penting artinya bagi kesejahteraan masyarakat. Tetapi dari larangan ini, ahli-ahli hukum Islam di zaman pertengahan mengambil kesimpulan bahwa setiap jenis bunga adalah terlarang. Hingga saat ini pun kebanyakan kaum muslim masih berpendapat demikian, walaupun di zaman modern ini peranan bank didalam konteks “ekonomi pembangunan” sudah sangat berbeda. Karena kesimpangsiuran pemikiran ini banyak muslim-muslim terpelajar masa kini yang mempergunakan argumentasi-argumentasi kynesian dan Marxis untuk mendukung pendapat mereka.
Selanjutnya, Rahman mengungkapkan bahwa sehubungan dengan keadilan merata, al-Qur’an menerapkan prinsip bahwa “kekayaan tidak boleh berputar dikalangan orang-orang kaya saja” (59:7):
“apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.”
Menurut Rahman, meskipun ayat ini berbicara mengenai pembagian harta rampasan perang, namun secara garis besar ayat ini menunjukkan sebuah tema penting di dalam kebijaksanaan ekonomi. Dengan demikian, setelah di Makkah mencela orang-orang yang menumpuk kekayaan dan memeras orang-orang miskin, maka di Madinah al-Qur’an menetapkan zakat. Tujuan-tujuan zakat ini diterangkan secara mendetail didalam surat al-Taubah ayat 60. “Sesungguhnya zakat-zakat itu (bukan untuk orang-orang kaya) hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Dalam pandangan Rahman kategori-kategori ini –termasuk kesejahteraan sosial di dalam pengertiannya yang luas dan terdiri dari membantu orang-orang yang terjerat hutang, gaji pegawai-pegawai administratif (pengumpul pajak), pengeluaran diplomasi (untuk menarik hati orang-orang ke dalam Islam), pertahanan, pendidikan, kesehatan, dan komunikasi– sedemikian luasnya sehingga mencakup seluruh aktifitas negara. Tetapi kaum muslim memahami fungsi-fungsi zakat ini berdasarkan tradisi yang picik sehingga lambat laun institusi zakat ini menjadi hampa.
Post a Comment for "Metodologi Penafsiran Fazlur Rahman"