Bentuk, Metode dan Corak Penafsiran Tafsir Al Azhar
Howard M. Federspiel, memasukkan Tafsir al-Azhar pada rumpun tafsir generasi ketiga. Yaitu sezaman dengan Tafsir al-Bayan karya ash-Siddieqy dan Tafsir al-Qur’anul Karim karya Halim Hasan. Tafsir generasi ini, mulai muncul pada 1970-an, merupakan penafsiran yang lengkap. Kegiatan penafsiran pada generasi ini sering kali memberi komentar-komentar yang luas terhadap teks bersamaan dengan terjemahannya. Generasi ini memiliki bagian pengantar dan indeks yang tanpa diragukan lagi memperluas isinya, tema-temanya atau latar belakang (turunya) al-Qur’an.
Namun, ada pula yang mengatakan bahwa generasi Buya Hamka bersama para mufassir yang sezaman dengannya adalah generasi kedua setelah Prof. Mahmud Yunus bersama rombongannya. Dikatan generasi kedua karena terjadi perbedaan yang begitu jelas dari generasi yang lalu. Yaitu selain tafsir yang berbahasa Indonesia, pada periode ini tafsir yang berbahasa daerah pun tetap beredar di kalangan pemakai bahasa tersebut, seperti al-Kitabul Mubin karya K.H. Muhammad Ramli dalam bahasa Sunda (1974) dan kitab al-Ibriz oleh K.H. Bisri Musthafa dalam bahasa Jawa (1950).
a. Bentuk Penafsiran
Dalam pengantarnya, Hamka menyebutkan bahwa ia memelihara sebaik-baiknya hubungan diantara naql dan akal (riwayah dan dhirayah). Penafsir tidak hanya semata-mata mengutip atau menukil pendapat orang yang terdahulu, tetapi mempergunakan juga tinjauan dari pengalaman sendiri. Dan tidak pula semata-mata menuruti pertimbangan akal sendiri, seraya melalaikan apa yang dinukil dari orang terdahulu. Suatu tafsir yang hanya menuruti riwayat dari orang terdahulu berarti hanya suatu “Textbox thinking”. Sebaliknya, jika hanya memperturutkan akal sendiri besar bahanya akan keluar dari garis tertentu yang digariskan agama, sehingga dengan disadari akan menjauh dari maksud agama.
Mazhab yang dianut oleh penafsir ini adalah mazhab salaf, yaitu mazhab Rasulullah dan sahabt-sahabat beliau dan ulama’-ulama’ yang mengikuti jejak beliau. Dalam hal aqidah dan ibadah semata-mata taslim, artinya menyerah dengan tidak banyak tanya lagi. Tetapi dalam hal yang menghendaki pemikiran (fiqhi),
penulis tafsir ini tidaklah semata-mata taqlid kepada pendapat manusia, melainkan meninjau mana yanag lebih dekat kepada kebenaran untuk didikuti, dan meninggalkan mana yana jauh menyimpang. Tafsir yang amat menarik ini yang dibuat contoh adalah Tafsir al-Manar karya Sayyid Rasyid Ridha berdasarkan atas ajaran Tafsir gurunya Syeikh Muhammad Abduh.
b. Metode Analitik (tahlili)
Melihat karya Hamka ini maka metode yang dipakai adalah metode Tahlili (analisis) bergaya khas tartib mushaf. Dalam metode ini biasanya mufassir menguraikan makna yang dikandung al-Qur’an ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutanya dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosakata, konotasi, kalimatnya, latar belakang turunya ayat, kaitan dengan ayat lain (munasabah), tidak
ketinggalan dengan disertakan pendapat pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang dismpaikan oleh Nabi, Sahabat, maupun para tabi’in dan ahli tafsir lainya.
c. Corak Kombinasi al-Adabi al-Ijtima’i Sufi
Corak yang dikedepankan oleh Hamka dalam Al-Azhar adalah kombinasi al-Adabi al-Ijtima’i Sufi. Corak ini (social kemasyarakatan) adalah suatu cabang dari tafsir yang muncul pada masa modern ini, yaitu corak tafsir yang berusaha memahami nash-nash al-Qur’an dengan cara pertama dan utama mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur’an secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al- Qur’an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik. Kemudian seorang mufassir berusaa menghubungkan nash yang dikaji dengan kenyataan social dan system budaya yang ada.
Sementara menurut al-Dzahabi, yang dimaksud dengan al-Adabi al-Ijtima’i adalah corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan ketelitian uangkapan-ungkapan yang disusun dengn bahasa lugas, dengan menekankan tujuan pokok diturukanya al-Qur’an, lalu mengaplikasikanya pada tatanan social, seperti pemecahan masala umat islam dan bangsa umumnya, sejalan dengan perkembangan masyarakat.
Jenis tafsir ini muncul sebagai akibat ketidak puasan para mufassir yang memandang bahwa selama inipenafsiran al-Qur’an hanya didominasi oleh tafsir yang berorientasi pada nahwu, bahasa, dan perbedaan madzhab, baik dalam bidang ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, sufi, dan lain sebagainya, dan jarang sekali dijupai tafsir al-Qur’an yang secara khusus menyentuh inti dari al-Qur’an , sasaran dan tujuan akirnya.
Secara operasional, seorang mufassir jenis ini dalam pembahasnya tidak mau terjebak pada kajian pengertian bahasa yang rumit, bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana dapat menyajikan tafsir al-Qur’an yang berusaha mengeitkan nash dengan relitas kehidupan masyarakat, tradisi social dan system peredaban, yang secara fungsioanal dapat memecahkan problem umat.
Menurut al-Dzahabi, bahwa corak penafsiran al-Adabi al Ijtima’I – terlepas dari kekurangannya – berusaha mengemukakan segi keindahan (balaghoh) bahasa dan kemu’jizatan al-Qur’an, menjelaskan ma’na-ma’na dan ssaran-sasaran yang dituju oleh al-qur’an, mengungkapkan hokum-hukum alam yang agung dan tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya membantu memecahkan segala problem yang dialami umat islam khususunya dan umat islam umumnya melalui petunjuk dan ajaran al-Qur’an yang karnannya dapat diperoleh kbaikan dunia dan akherat, serta berusaha mempertemukan antara al-Qur’an dengan teori-teori ilmiah yang benar. Di dalamnya juga berusha menjelaskan kepada umat manusia bahwa al-Qur’an itu adalah kitab suci yang kekal, yang mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman dan kebudayaan manusia sampai akhir masa, juga berusaha melenyapkan kebohongan dan keraguan yang dilontarkan terhadap al-Qur’an dengan argumen yang kuat yang mampu menangkis segala kebathilan, sehingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur’an itu benar.
Adapun penggagas corak tafsir al-Adabi al-Ijtima’i adalah Muhammad Abduh, tokoh pembaharu terkenal asal Mesir, dengan kitab tafsirnya al-Manar yang disusun dengan muridnya Muhammad Rasyid Ridha. Diantara kitab tafsir yang ditulis dengan corak al-Adabi al-Ijtima’i selain tafsir al-Manar adalah Tafsir al-Qur’an karya Syeikh Muhammad al-Maraghi, Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Syeikh Muhammad Syaltu, dan Tafsir al-Wadhih karya Muhammad Mahmud Hijazy.
Sedangkan corak sufinya banyak diperlihatkan dengan teknis pendekatkan terhadap tasawuf, hal tersebut ditandai dengan banyaknya ragam pemikiran tasawuf yang ditunjukkan Hamka. Oleh sebab itu tasawuf Hamka lebih Nampak modern di dalam menerjemahkan ma’na Tuhan secara posistif.
Contoh ayat :
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus Maha Halus lagi Maha mengetahui. (QS. Al-An’am:103)
Hamka menafsirkan ayat ini : Pandangan mata yang selemah peralatannya ini tidaklah dapat mencapai untuk melihat Allah. Sebab itu janganlah pula kamu bodoh, sehingga kamu tidak percaya akan adanya Allah lantaran matamu tidak dapat melihat Dia. Yang dapat dicapai oleh penglihatan mata hanyalah sedikit sekali dari alam ini. Beribu-ibu penglihatan mata terkecoh oleh yang dilihat. Walaupun yang dilihat itu barang yang nyata.
Betapa banyaknya benda, yang dari jauh kelihatan indah, seumpama puncak gunung, tetapi setelah kita sampai di puncaknya ternyata yang indah itu tidak ada. Penafsiran Prof. Hamka di atas memperlihatkan kepada kita suatu wawasan yang cukup luas ; namun dia menuju ke suatu titik, yakni memberikan kesadaran kepada umat bahwa mereka adalah mahkluk yang lemah dari segala segi, baik fisik maupun pemikiran. Sehingga mereka tidak sanggup mencapai Allah. Bahkan untuk mengetahui hakikat diri mereka sendiripun mereka tidak mampu, bagaimana mungkin mereka dapat
menjangkau hakikat Allah yang Maha Halus dan Maha Tahu itu. Penafsiran yang diberikan Hamka tersbut tampak kepada kita amat menyentuh hati, sehingga kita segera sadar akan kelemahan kita. Kecuali itu, penafsiran Hamka tersebut diungkapkannya dalam bahasa yang indah dan enak dibaca oleh semua orang; sehingga baik pembaca, maupun pendengarnya tidak merasa bosan mengikutinya.
Dari penfsiran Hamka itu dapat disimpulkan bahwa meskipun hanya digunakan satu metode tafsir yaitu analisis, namun tidak tertutup kemungkinan bagi mufassir untuk berkreasi dengan menghasilkan corak-corak tafsir bervariasi apakah umum ataupun kombinasi dan sebagainya. Jadi penerapan suatu metode tidak akan mengekang pemikiran seorang mufassir.
Post a Comment for "Bentuk, Metode dan Corak Penafsiran Tafsir Al Azhar"