MAKALAH TAFSIR EKONOMI AYAT AYAT TENTANG RIBA
TAFSIR
EKONOMI
AYAT AYAT
TENTANG RIBA
Makalah ini
dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Tafsir pada
semester VI
Dosen
Pembimbing:Ali Mahfudz,.MS.I
Disusun oleh:
Idhoh
Muntafingatur Rofiqoh (1631043)
Fakultas Ushuludin Syariah Dan Dakwah
Prodi Ilmu Al-Quran Dan Tafsir
Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Kebumen
2019
KATA PENGANTAR
Alhamdulilahi robbil
`alamin, segala puji bagi Alloh Rabb semesta alam, atas taufik dan hidayahnya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini, guna memenuhi tugas mata
kuliah Studi Tafsir Ekonomi, yang penulis beri judul “TAFSIR EKONOMI “AYAT-
AYAT TENTANG RIBA”
Makalah ini disusun dan
sebagian besar hanyalah sebuah kutipan-kutipan , yang berdasarkan beberapa
sumber, yang penulis nukil dari beberapa website, sebagaimana tercantumkan
dalam daftar pustaka. Serta beberapa ulasan pribadi, yang merupakan analisis
dari penulis.
Penulis mengucapkan banyak
terimakasih kepada banyak pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
Makalah ini. Terutama bapak dosen yakni Pak Ali Mahfudz,.MS.I, yang telah mengarahkan penulis dalam penyusunan makalah.
Harapan penulis, semoga
makalah yang sederhana ini mempunyai setitik manfaat, bagi penulis pribadi
khususnya, dan bagi para pembaca pada umumnya. Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu, saran dan kritik
yang membangun masih penulis butuhkan, untuk menghasilkan karya-karya lain yang
lebih baik. Amiin Ya Robal `Alamin.
Puring,15Maret 2019
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan sumber
penggalian dan pengembangan ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan
manusia. Untuk melakukan penggalian dan pengembangan pemahaman Ayat-ayat
Al-Qur’an, kemampuan tertentu guna mengasilakan pemahaman yang baik mengenai
berbagai perilaku kehidupan manusia.
Dalam
bingkai ajaran Islam, aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh manusia untuk
dikembangkan memiliki beberapa kaidah dan etika atau moralitas dalam syari’at
Islam. Allah telah menurunkan rizki ke dunia ini untuk dimanfaatkan oleh
manusia dengan cara yang telah dihalalkan oleh Allah dan bersih dari segala
perbuatan yang mengandung riba.
Kata
riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan (azziyadah).
Riba adalah tambahan yang berasal dari usaha haram yang merugikan salah satu
pihak dalam suatu transaksi. Pada dasarnya transaksi riba dapat terjadi dari
transaksi hutang piutang, namun bentuk dari sumber tersebut bisa berupa
pinjaman, jual beli dan lain sebagainya. Para ulama menetapkan dengan tegas dan
jelas tentang pelarangan riba, disebabkan riba mengandung unsur eksploitasi
yang dampaknya merugikan orang lain, hal ini mengacu pada Kitabullah dan Sunnah
Rasul serta ijma’ para ulama.
Bahkan dapat dikatakan tentang pelarangannya sudah menjadi aksioma dalam ajaran
Islam. Dalam makalah ini, penyusun akan memaparkan topik-topik yang berhubungan
dengan riba mulai dari: Pengertian. Ayat Riba.Hukum Riba, Jenis-jenis Riba,
Faktor Penyebab diharamkannya Riba dan Dampak yang timbul dari riba.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Riba?
2.
Bagaimana Hukum Riba?
3.
Apa saja jenis-jenis dari Riba?
4.
Apa saja Faktor Penyebab memakan dan diharamkan perbuatan
Riba?
5.
Bagaimana dampak dari adanya Riba?
Tujuan
Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian Riba
2. Untuk mengetahui Hukum Riba.
3. Untuk mengetahui jenis-jenis dari
Riba.
4. Untuk mengetahui faktor penyebab
memakan dan diharamkan perbuatan Riba.
5. Untuk mengetahui dampak dari adanya
Riba.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Riba
ربا –يربو- رباء Di dalam bahasa Indonesia berarti “
bertambah”/ “ Tumbuh”.[1]
Di
dalam bahasa Arab ada beberapa kata yang berakar dari susunan huruf ا-ب-رyang mempunyai
arti berbeda akan tetapi menggambarkan arti dasar yang sama yaitu “ lebih” dan
akan di gambarkan oleh 4 buah kata sebagai contoh.
ابيراDalam surah Ar
Ra’ad : 17 yang artinya ( mengapung )di atas. Kata “mengapung” menggambarkan
lebih tingginya sesuatu di atas permukann air.
رابيه
Dalam surah Al Haqqah:10 yang artinya ( siksaan ) yang amat berat . Dari kata “
siksaan” menggambarkan berambambahny derita yang tidak dikehendaki.
ربواه Dalam surah Al- Baqarah : 265 yang
artinya( dataran tinggi). “Dataran tinggi menggambarkan lebih tingginya tanah
dari dataran tanah yang lainnya.
الرب
secara etomologi artinya “ tumbuh”, “tambahan”/”membesar”.
Adapun menurut istilah teknis , riba
berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil, baik
dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam atau yang bertentangan dengan
prisip muamalah dalam islam.
Dalam al-Qur’an ditemukan kata riba
sebanyak delapan kali dalam empat surat,diantaranya yaitu 30:39, 4:160, 3:130 dan
juga dalam ayat yang lainya. Tiga diantarannya turun setelah Nabi Hijrah dan
satu ayat lagi ketika beliau masih di Makkah. Yang di Makkah walaupun menggunakan kata riba
30:39, ulama sepakat bahwa riba yang dimaksud di sana bukan riba yang haram
karena ia diartikan sebagai pemberian hadiah, yang bermotif memperoleh imbalan
banyak dalam kesempatan yang lain.[3]
B.
Hukum Riba
Adapun
hukum “ riba” , ulama sepakat mengharamkannya
sesuai dengan penjelasan al- Quran . Berikut salah satu dalil keharaman riba
dalam surah
·
Al- Baqarah ayat 275.
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ
مِثْلُ الرِّبَا
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ
فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ
فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُون
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”.(QS Al Baqarah:275)
Penjelasan Ayat
الَّذِينَيَأْكُلُونَالرِّبَالَايَقُومُونَإِلَّاكَمَايَقُومُالَّذِييَتَخَبَّطُهُالشَّيْطَانُمِنَالْمَسّ -
Dikatakan
kepada orang yang menggunakan harta (uang) orang lain: Akalahu wa Hadhamahu,
artinya ia menggunakan uang tersebut dengan leluasa karena tidak ada harapan
uang tersebut bisa dikembalikan lantaran ia telah memakannya.
Yang dimaksud dengan keadaan
orang-orang yang memakan riba di dunia ini, seperti orang yang sengaja
melakukan perbuatan lantara mereka gila, karena mereka dimabukkan oleh
kecintaan harta. Dan, setelah harta mampu memperbudak pikirannya, maka jiwanya
menjadi ganas, ingin sekali mengumpulkan harta sebanyak mungkin, dan harta
menjadi tujuan pokok kehidupannya. Mereka menganggap tidak perlu susah-susah
dengan menjalankan riba, dan meninggalkan usaha lainnya. Sehingga, jiwa mereka
keluar dari garis pertengahan yang banyak dianut orang.
ذَٰلِكَبِأَنَّهُمْقَالُواإِنَّمَاالْبَيْعُمِثْلُالرِّبَاوَأَحَلَّاللَّهُالْبَيْعَوَحَرَّمَالرِّبَافَمَنْجَاءَهُمَوْعِظَةٌمِنْرَبِّهِفَانْتَهَىٰفَلَهُمَاسَلَفَ
Jika
mereka memakan riba, maka riba akan dianggap sebagai yang dihalalkan, sama
seperti jual beli. Dalam keyakinan si pemakan, hal tersebut sama bolehnya
dengan seseorang menjual barang dagangan yang harganya sepuluh dirham, misalnya
dengan bayaran kontan, atau dua puluh dirham dengan kredit. Karena anggapan
membolehkan tadi, maka dalam keyakinan mereka dibolehkan pula memberikan
sepuluh dirham terhadap orang yang membutuhkannya, dengan syrat ia akan
mengembalikannya menjadi dua puluh dirham setelah setahun. Sebab dibolehkannya
ini (dua mu’amalah ini) menurut keyakinan adalah sama, yakni perbedaan waktu.
Demikianlah alasan mereka, menurut
apa yang mereka khayalkan. Padahal menurut analogi mereka sama sekali tidak
benar. Karenanya, Allah berfirman yang menegaskan bahwa riba adalah haram,
sedang jual beli adalah halal. Jual beli dibolehkan karena tidak ada yang
dirugikan dan adanya kerelaan antara penjual dan pembeli. Sedangkan dalam riba
diambil secara paksa, bukan berdasarkan kerelaan.
وَأَمْرُهُإِلَىاللَّه
Allah
akan menghukumi masalah tersebut dengan keadilan-Nya. Juga merupakan suatu
keadilan apabila Allah tidak menghukum para pemakan riba sebelum adanya
larangan tersebut, atau belum sampainya nasehat Allah padanya. Dalam ayat ini
terkandung isyarat yang menunjukkan bahwa dibolehkannya hal-hal yang telah lalu
dari hasil riba, adalah sebagai rukhshah lantaran darurat, dan mengambil bunga
yang sudah dimakan sebelum adanya larangan ini, adalah teka yang mulia.
وَمَنْعَادفَأُولَٰئِكَأَصْحَابُالنَّارِهُمْفِيهَاخَالِدُونَ
َ
siapa
saja yang kembali seperti sedia kala, yakni memakan riba setelah adanya
pengharaman, maka orang yang melakukan itu termasuk orang yang tidak mau
mendengar nasehat Allah. Padahal Allah tidak sekali-kali melarang mereka
kecuali lantaran hal yang sangat membahayakan diri mereka. Dan mereka (yang
memakan riba), adalah penghuni neraka, yang tetap didalamnya.[4]
·
Pendapat Ulma tentang ‘illat Riba
Ulama sepakat menetapkan Riba Fadhl
pada tujuh barang seperti terdapat pada nash, yaitu emas, perak, gandum syair,
kurma, garam dan anggur kering. Pada benda-benda ini, adanya tambahan pada
pertukaran sejenis adalah diharamkan. Adapun pada barang selain itu, para ulama
berbeda pendapat:
1. Zhahiriyah
hanya mengharamkan ke tujuh benda tersebut.
2. Menurut
pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad dan Abu Hanifah, riba fadhl terjadi pada
setiap jual beli barang sejenis dan yang ditimbang.
3. Imam
Syafi’i dan sebagian imam Ahmad berpendapat bahwa riba fadhl dikhususkan pada
emas, perak, dan makanan meskipun tidak ditimbang.
4. Said
ibn Musayyah dan sebagian riwayat Ahmad mengkhususkan pada makanan jika di
timbang.
5. Imam
Malik mengkhususkan pada makanan pokok.
Untuk lebih jelas nya perbedaan pendapat
tersebut akan dijelaskan di bawah ini:
1. Mazhab
Hanafi
Illat riba fadhl menurut ulama
hanafiyah adalah jual beli barang yang ditakar atau ditimbang serta barang yang
sejenis, seperti emas, perak, gandum, syair, kurma, garam dan anggur kering.
Dengan kata lain jika barang-barang yang sejenis tersebut ditimbang utuk
diperjualbelkan dan terdapat tambahan dari salah satunya, terjadilah riba
fadhl.
Ulama Hanafiyah mendasarkan pendapat
mereka pada hadis sahih dari Said al-Khudri dan Ubadah Ibn Shanit r.a bahwa
Nabi SAW. Bersabda:
“(jual-beli)emas dengan emas,
keduanya sama,tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, (jual-beli)
perak dengan perak keduanya sama, tumpang terima (apabila ada) tambahan adalah
riba, (jual-beli) syair dengan syair, keduanya sama, tumpang terima (apabila
ada) tambahan adalah riba, jual beli kurma dengan kurma, keduanya sama, tumpang
terima (apabila ada) tambahan adalah riba, (jual-beli) garam dengan garam,
keduanya sama, tumpang terima (apabila ada) tambahan adalah riba.”
1. Mazhab
Malikiyah
Illat diharamkannya riba menurut
ulama Malikiyah pada emas dan perak adalah harga, sedangkan mengenai illat riba
dalam makanan mereka berbeda pendapat dalam hubungannya dengan riba nasi’ah dan
riba fadhl.
Illat diharamkannya riba nasi’ah
dalam makanan adalah sekedar makanan saja (makanan selain untuk mengibati),
baik karena pada makanan tersebut terdapat unsur penguat (makanan pokok) dan
kuat disimpan lama atau tidak ada kedua unsur tersebut.
Illat diharamkannya riba fadh pada
makanan adalah makanan tersebut dipandang sebagai makanan pokok dan kuat
disimpan lama.
Alasan ulama Malikiyah menetapkan
illat diatas antara lain, apabila dipahami agar tidak tidak terjadi penipuan di
antara manusia dan dapat saling menjaga, makanan tersebut haruslah dari makanan
yang menjadi pokok kehidupan manusia yakni makanan pokok seperti gandum, padi,
jagung dan lain-lain.
1. Madzhab
Syafi’i
Illat riba pada emas dan perak
adalah harga yakni kedua barang tersebut dihargakan atau menilai harga suatu
barang. Illat pada makanan adalah sesuatu yang bisa dimakan dan memenuhi 3
kriteria sbb :
1. Sesuatu
yang biasa ditujukan sebagai makanan atau makanan pokok.
2. Makanan
yang lezat atau dimaksudkan untuk melezatkan makanan, seperti ditetapkan dalam
nash adalah kurma, diqiyaskan padanya, seperti tin dan anggur kering.
3. Makanan
yang dimaksudkan untuk menyehatkan badan dan memperbaiki makanan yakni obat.
Ulama Syafi’iyah antara lain beralasan bahwa makanan yang dimaksudkan adalah
untuk menyehatkan badan termasuk pula obat untuk menyehatkan badan.
Dengan demikian riba dapat terjadi
pada jual beli makanan yang memenuhi kriteria di atas. Agar terhindar dari
unsur riba, menurut ulama Syafi’iyah, jual beli harus memenuhi kriteria :
1.Dilakukan waktu akad, tidak
mengaitkan pembayarannya pada masa yang akan datang.
2.Sama ukurannya.
3.Tumpang terima
Menurut ulama Syafi’iyah, jika
makanan tersebut berbeda jenisnya seperti menjual gandum dengan jagung,
dobolehkan adanya tambahan, berdasarkan pada hadits Rasulullah Saw bersabda,
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan
sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, keduanya sama, tumpang terima.
Jika tidak sejenis, juallah sekehendakmu asalkan tumpang terima”.
Selain itu, dipandang tidak riba
walaupun ada tambahan jika asalnya tidak sama meskipun bentuknya sama, seperti
menjual tepung gandum dengan tepung jagung.
1. Madzhab
Hambali
Pada madzhab ini terdapat 3 riwayat
tentang illat riba, yang paling masyhur adalah seperti pendapat ulama Hanafiyah
hanya saja ulama Hanabilah mengharamkan pada setiap jual beli sejenis yang
ditimbang dengan satu kurma.
Riwayat kedua adalah sama dengan
illat yang dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah. Riwayat ketiga, selain pada emas
dan perak adalah pada setiap makanan yang ditimbang, sedangkan pada makanan
yang tidak ditimbang tidak dikategorikan riba walaupun ada tambahan. Demikian
juga pada sesuatu yang tidak dimakan manusia.
Hal ini sesuai dengan pedapat Saib
bin Musayyib yang mendasarkan pendapatnya pada hadits Rasulullah Saw bersabda,
“Tidak ada riba kecuali pada yang ditimbang atau dari yang dimakan dan
diminum”. (HR Daruquthni)
C.
Jenis-jenis
Riba
Jumhur ulama
membagi riba dalam 2 bagian yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah :
• Riba al-fadhl (riba pertukaran)
Menurut ulama
Hanafiyah, riba fadhl adalah “Tambahan zat harta pada akad jual beli yang
diukur dan sejenis”
Dengan kata lain, riba fadhl adalah berlebih
salah satu dari dua pertukaran yang diperjualbelikan. Bila yang
diperjualbelikan sejenis, berlebih timbangannya pada barang-barang yang
ditimbang, berlebih takarannya pada barang-barang yang ditakar dan berlebih
ukurannya pada barang-barang yang diukur.
Oleh karena itu, jika melaksanakan
akad sharf (penukaran) antar barang yang sejenis, tidak boleh dilebihkan salah
satunya agar terhindar dari unsur riba. Larangannya adalah menukar atau menjual
komoditi yang sama (terkait dengan 6 komoditi yaitu emas, perak, gandum,
biji-bijian, garam dan kurma) dengan jumlah yang berbeda.
• Riba nasi’ah
Menurut ulama
Hanafiyah, riba nasi’ah adalah “Memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari
yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda dibanding utang pada benda
yang ditakar atau ditimbang yang berbeda jenis atau selain dengan yang ditakar
dan ditimbang yang sama jenisnya”.
Riba nasi’ah adalah melebihkan
pembayaran atau barang yang dipertukarkan, diperjualbelikan atau diutangkan
karena adanya tambahan waktu pembayaran atau penyerahan barang baik yang
sejenis ataupun tidak.
Namun, secara garis besar riba
dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba utang piutang dan riba jual beli.
Kelompok pertama terbagi menjadi riba qordh dan jahiliyah, sedangkan kelompok
kedua ada dua macam, yaitu riba fadl dan nasi’ah.
1. Riba qardh adalah suatu manfaat yang disyaratkan terhadap
yang berhutang (muqtaridh).
2. Riba jahiliyah adalah utang dibayar
lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak dapat membayar pada waktu yang ditentukan.
3. Riba fadl adalah pertukaran antara
barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda. Ini haram berdasarkan
As-Sunnah dan ijma’ karena merupakan sarana menuju riba nasi’ah.
4. Riba nasi’ah adalah melebihkan
pembayaran barang yang dipertukarkan, diperjualbelikan, atau diutangkan karena
diakhirkan waktu pembayarannya baik yang sejenis maupun tidak.[5]
D. Faktor
Penyebab di Haramkannya Riba
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman.
. Sebab Turun
Ayat
Ibnu Abbas
berkata “Suatu ketika, bani mughirah mengadu kepada gubernur makkah, Attab bin
Usaid bahwa mereka menghutangkan hartanya kepada bani Amr bin Auf dari penduduk
Tsaqif. Kemudin, bani Amr bin Auf meminta penylesaian tagihan riba mereka. Atas
konflik ini, Atab mengirim surat laporan kepada Rasulullah. Sebagai jawaban,
turunlah ayat ini”(HR. Abu Ya’la dan Ibnu Mandah)
c. Penjelasan
Ayat
Ayat ini adalah sebuah perintah, tetapi perintahnya adalah untuk
meninggalkan. Di dalam
ushul fiqih larangan
terhadap sesuatu adalah berarti
perintah untuk berhenti
mengerjakan sesuatu
tersebut. Dalam hal
ini larangan untuk
mengerjakan riba berarti perintah untuk berhenti mengerjakan
riba. Hukum asal setiap larangan adalah untuk pengharaman.[6]
E.
Dampak Riba
·
Riba dapat berdampak buruk terhadap:
·
Pribadi seseorang
·
Kehidupan masyarakat
Ekonomi
Dampak riba yang akan terjadi dalam kehidupan sehari-hari:
1.Kekayaan hanya berputar di segelintir orang saja
2.Yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin
3.Mustahik (penerima zakat) semakin meningkat dan muzakki (pembayar zakat)
semakin menurun
4.Terjadinya over produksi
5.Monopoli
6.Penimbunan barang
7.Matinya sedekah
8.Pengurangan timbangan
9.Makanan semakin tidak berkualitas dan syubhat
10.Cara penawaran barang (iklan) dusta
11.Sumpah palsu
12.Kerusakan harga
13.Upah semakin turun
14.Harga barang terus naik
BAB III
KESIMPULAN
Riba secara bahasa
bermakna : Ziyadah / tambahan. dalam
pengertian lain secara linguistik, riba juga berarti Tumbuh dam membesar.
Dalam al-Qur’an ditemukan
kata riba sebanyak delapan kali dalam empat surat,diantaranya yaitu 30:39,
4:160, 3:130 dan juga dalam ayat yang lainya
• Riba berarti menetapkan
bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase
tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba
secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Sedangkan menurut istilah teknis,
riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil.
• Riba diharamkan dalam
semua agama samawi. Riba dilarang dalam Yahudi, Nasrani dan Islam.
• Macam-macam riba yaitu:
Riba Jahiliyah, Riba Qardhi, Riba Fadli, dan Riba Nasi’ah.
• Dampak Riba pada ekonomi:
Riba (bunga) menahan pertumbunhan ekonomi dan membahayakan kemakmuran nasional
serta kesejahteraan individual. Riba (bunga) menyebabkan timbulnya kejahatan
ekonomi (distorsi ekonomi) seperti resesi, depresi, inflasi dan pengangguran.
Daftar pustaka
Mahmud Yunus,
kamus Arab – Indonesia ( Jakarta : PT Hidakarya Agung, 1972)
Muh Zuhri, Riba dalam al Quran dan Masalah
Perbankan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 1996),cet.ke 1.
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir
Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. Mizan. Bandung. Cet. I.
Zadi, Ibn
Thohir bin Ya’kub Al-Fauruzi. Tanwirul Al Miqbaas min Tafsir Ibn Abbas, Dar
Al-Fikr, tth.
https://susiwariyanti.wordpress.com/2018/05/03/makalah-tafsir-ayat-ekonomi-tentang-riba/
[1]Mahmud Yunus, kamus Arab – Indonesia ( Jakarta : PT Hidakarya Agung,
1972) , h. 137.
[2]Muh Zuhri, Riba dalam al Quran dan Masalah Perbankan(Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada 1996),cet.ke 1,h.38.
[3] Quraish
Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. Mizan.
Bandung. Cet. I. hlm. 545.
[4]
https://daruvillaaja.blogspot.com/2017/03/makalah-ekonomi-islam-riba-tafsir-ayat.html
[5]https://susiwariyanti.wordpress.com/2018/05/03/makalah-tafsir-ayat-ekonomi-tentang-riba/
[6] Ibn Thohir bin
Ya’kub Al-Fauruzi zadi, Tanwirul Al Miqbaas min Tafsir Ibn Abbas, (Dar Al-Fikr,
tth).hlm. 56
Post a Comment for "MAKALAH TAFSIR EKONOMI AYAT AYAT TENTANG RIBA"