MAKALAH PRO KONTRA TENTANG HUKUM CADAR
MAKALAH
PRO KONTRA TENTANG HUKUM CADAR
Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata
kuliah Masail at-Tafsir pada semester V
Dosen Pembimbing: WahyuniShifaturRahmah,S.Th.I,M.Si.
Disusun oleh:
AnasMasruri (1631041)
FAKULTAS
USHULUDIN SYARIAH DAN DAKWAH
PRODI ILMU
AL-QURAN DAN TAFSIR
INSTITUT AGAMA
ISLAM NAHDLATUL ULAMA KEBUMEN
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.LatarBelakang
Allah
Ta’alatelah menghancurkan
peradaban-peradaban dan bangsa-bangsa besar di dunia antara lain karena mereka
merendahkan kaum wanita mereka.Sejarah telah mencatat bangsa Yunani yang
memberikan “kebebasan” kepada kaum wanita, padahal sebenarnya hal itu ditujukan
untuk memperturutkan dorongan nafsu mereka. Sejarah juga telah mencatat bangsa
Persia yang menganaktirikan wanita. Salah satunya, mereka menganggap bahwa
hukuman hanya berlaku atas wanita.
Sejarah
masih mengenang bangsa Romawi, Cina, India, Yahudi, Kristen serta Arab
Jahiliyah yang mengesampingkan hak pernikahan dan warisan kaum wanita. Berbeda
dengan bangsa lain yang menganggap wanita sebagai makhluk tak berharga, bangsa
Arab Jahiliyah justru menganggap wanita sebagai harta yang dapat
diperjualbelikan.
Kemudian
islam datang membebaskan wanita dari semua itu. Islam datang dan mendudukkan
wanita pada tempat yang semestinya. Islam juga melindungi wanita dari gangguan
dan marabahaya, salah satunya dengan syari’at hijab.
Namun
muslimin berbeda pendapat tentang berbagai hal seputar hijab, terutama cadar.
Oleh karena itu maka penulis berkeinginan untuk mengumpulkan sebagian
pembahasan tentang cadar, kemudian menuliskannya dalam makalah berjudul: PRO KONTRA SEPUTAR HUKUM CADAR BAGI WANITA
B.RumusanMasalah
Dari pemaparanlatarbelakang di atasmakadapat di
ambilRumusanmasalahsebagaiberikut:
1. Apaitucadardanbagimanasejarahmunculnyacadar?
2. Bagaimanaresponparaulamadalammenyikapimasalahcadar?
C.Tujuan
1. Memahamitentangpengertiandansejarahmunculnyacadar
2. Memahamimasalahtentangcadar
di lingkunganmasyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
1.PengertiandanAsalUsulCadar
a.
Pengertiancadar
Di katakan dalam kamus Al Muhith bawa kata cadar dalam bahasa
arabnya (نقاب)
Atau nikoob mempunyai arti : kain yang di gunakan untuk menutupi muka seorang
wanita[1].
Niqab adalah penutup kepala yang menutupi bagian wajah
, namun masih membiarkan bagian mata terbuka.
Niqabpadaumumnyamenjuntaihinggabagiantengahpunggungdanmenutupibagiantengahdada.Penutupkepalainiseringdigunakanolehwanita
di Arab, namunbeberapawanitamuslim di negara Barat
jugaseringkalimenggunakannya.
Cadar adalah pakaian yang digunakan untuk menutupi
wajah,minimal untuk menutupi hidung dan mulut
Cadar merupakan jubah full body yang didesain untuk
perempuan bila ingin berpergian keluar rumah.Cadarbiasanyaberwarnahitamdansiapapun
yang memakainyaharusmemegangeratcadar di
bagiandepantubuhmerekakarenatidakmemilikipengikatatautempatuntukikatpinggang.
Pakaianiniumumnyadipakai di Iran.
b. AsalUsulCadar
Jika
menelusuri asal-usul wanitamemakai cadar, tentunya agak kesulitan mendapatkan
beberapa referensivalid yang mengungkapmasa ataumasyarakat pertama kali yang
memakai cadar. Namun penulis berusaha untuk memberi pandangan dan
mengarahkankebeberapa tempat dan masa munculnya cadar dikalangan wanita.Umat
Islam di luar daerah Arab mengenal cadar (niqab) dari salah satu penafsiran
ayat al-Quran di surat An-Nur dan surat Al-Ahzab yang diuraikan oleh sebagian
sahabat Nabi, sehingga pembahasan cadar wanita dalam Islam masuk dalam salah
satu pembahasan disiplin ilmu Islam, termasuk fikih dan sosial.
Dalam
penelitian M. Qurash Shihab mengungkapkan, bahwa memakai pakaian tertutup
termasuk cadar bukanlah monopoli masyarakat Arab, dan bukan pula berasal dari
budaya mereka.[2]Bahkan
menurut ulama dan filosof besar Iran kontemporer, Murtada Mutahhari, pakaian
penutup (seluruh badan wanita termasuk cadar) telah dikenal dikalangan
bangsa-bangsa kuno, jauh sebelum datangnya Islam,dan lebih melekat pada orang-orang
Persia, khususnyaIran, dibandingkan dengan di tempat-tempat lain, bahkan lebih
keras tuntutannya daripada yang diajarkan Islam.[3]Pakar
lain menambahkan, bahwa orang-orang Arab meniru orang Persia yang mengikuti
agama Zardasyt dan yang menilai wanita sebagai makhluk tidak suci, karena itu
mereka diharuskanmenutup mulut dan hidungnyadengan sesuatu agar nafas mereka
tidak mengotori api suci yang merupakan sesembahan agama Persia lama.Orang-orang
Arab meniru juga masyarakat Byzantium (Romawi) yang memingit wanita di dalam
rumah, ini bersumber dari masyarakat Yunani kuno yang ketika itu membagi
rumah-rumah mereka menjadi dua bagian,masing-masing berdiri sendiri, satu untuk
pria dan satu lainnya untuk wanita. Di dalam masyarakat Arab, tradisi ini
menjadi sangat kukuh pada saat pemerintahan Dinasti Umayyah, tepatnya pada masa
pemerintahan al-Walid II (125 H/747 M),di mana penguasa ini menetapkan adanya
bagian khusus buat wanita di rumah-rumah.[4]
Sementara
pada masa Jahiliyah dan awal masa Islam, wanita-wanita di Jazirah Arabiah
memakai pakaian yang pada dasarnya mengundang kekaguman pria, di samping untuk
menampik udara panas yang merupakan iklim umum padang pasir. Memang, mereka
juga memakai kerudung, hanya saja kerudung tersebut sekedar di letakkan di
kepala dan biasanya terulur kebelakang, sehingga dada dan kalung yang menghiasi
leher mereka tampak dengan jelas. Bahkan boleh jadi sedikit dari daerah buah
dada dapat terlihat karena longgar atau terbukanya baju mereka itu. Telinga dan
leher mereka juga dihiasi anting dan kalung.Celak sering mereka gunakan untuk
menghiasi mata mereka. Kaki dan tangan mereka dihiasi dengan gelang yang
bergerincing ketika berjalan. Telapak tangan dan kaki mereka sering kali juga
diwarnai dengan pacar. Alis mereka pun dicabut dan pipi mereka dimerahkan, tak
ubahnya seperti wanita-wanita masa kini, walau cara mereka masih sangattradisional.Mereka
juga memberi perhatian terhadap rambut yang sering kali mereka sambung dengan
guntingan rambut wanita lain, baru setelah Islam datang, al-Quran danSunnah
berbicara tentang pakaian dan memberi tuntunan menyangkut cara-cara memakainya.[5]
Intelektual
kontemporer asal Pakistan, Abu al-A’la al-Mawdudi menjelaskan, bahwa banyak
sekali tuduhan-tuduhan tidak penting terhadap Islam yang datang dari
orang-orang yang tidak bertanggung jawab, seperti halnya mereka menuduh hijab
dan cadar (niqab) berasal dari budaya perempuan-perempuan Arab jauh sebelum
Islam masuk, tepatnya di masa Jahiliyah, kemudian berlanjut warisan jahiliyah
ini ke orang-orang Muslim di abad-abad berikutnya, khususnya setelah masa Nabi.
Mereka sangat pandaiberusaha menghantam beberapa ajaran Islam, seperti mencari
sejarah lahirnya cadar atau beberapa tradisi masyarakat tertentu yang dikaitkan
kemasalah syari’ah, agar menggoncang pembahasan yang telah ditetapkan oleh
ulama sebagai ahlinya.[6]
2.Fatwa
TentangCadardanHujjahnya
Masalah kewajiban memakai cadar sebenarnya masihadaperbedaanpendapat
di antara para ulama. Maka
wajarlah bila kita sering mendapati adanya sebagian ulama yang mewajibkannya
dengan didukung oleh sederet dalil dan
hujjah. Namun kita juga tidak asing dengan pendapat yang mengatakan bahwa cadar
itu bukanlah kewajiban. Pendapat yang kedua ini pun biasanya diikuti dengan
sederet dalil dan hujjah juga.
A.Kalangan Yang
Mewajibkan Cadar
Al-Hafizh Ibnu Hajjar di dalam kitabnya Fathul
al- Baari berkata : ”kebiasa’an para wanita dari zamam dahulu sampai kini,
masih tetap menutupi muka mereka dari pandangan orang lain yang bukan muhrimnya.[7]
Dalil-dalil yang mereka
kemukakan antara lain :
1.
Surat Al-Ahzab : 59
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ
يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ
فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًارَحِيمًا
“Hai
Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,
karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”(QS. Al-Ahzah : 59)
Imam Suyuthi berkata:”Ayat ini adalah ayat hijab yang berlaku bagi
seluruh wanita.Di dalamnya berisi kewajiban untuk menutupi kepala dan wajah
mereka .”
Abu ‘Ubaidah As-Salmani dan lainnya memperaktekkan cara
mengulurkan jibab itu dengan selendangnya, yaitu menjadikannya sebagai
kerudung, lalu dia menutupi hidung dan matanya sebelah kiri, dan menampakkan
matanya sebelah kanan. Lalu dia mengulurkan selendangnya dari atas kepala
sehingga dekat kealisnya, atau diatas alis.
Syaikh
Bakar bin Abu Zaid berkata[8]:
Perintah mengulurkan jilbab ini meliputi menutup wajah berdasarkan beberapa
dalil :
1.
Makna jilbab dalam bahasa Arab adalah : Pakaian yang luas
yang menutupi seluruh badan. Sehingga seorang wanita wajib memakai jilbab itu
pada pakaian luarnya dari ujung kepalanya turun sampai menutupi wajahnya,
segala perhiasannya dan seluruh badannya sampai menutupi kedua ujung kakinya.
2.
Yang biasa nampak pada sebagian wanita jahiliyyah adalah
wajah mereka, lalu Allah perintahkan istri-istri dan anak-anak perempuan Nabi serta
istri-istri orang mukmin untuk mengulurkan jilbabnya ketubuh mereka. Kata idna
yang ditambahkan hurup ‘ala mengandung makna mengulurkan dari
atas. Maka jilbab itu diulurkan dari atas kepala menutupi wajah dan badan.
3.
Menutupi wajah, baju dan perhiasan dengan jilbab itulah yang
difahami oleh wanita-wanita Shahabat.
4.
Dalam firman Allah Ta’ala:
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, dan karena itu mereka tidak diganggu. “ Menutup wajah wanita merupakan
tanda wanita baik-baik, dengan demikian tidak diganggu. Demikian juga jika
wanita menutupi wajahnya, Maka laki-laki yang rakus tidak akan berkeinginan
untuk membuka anggota tubuhnya yang lain. Maka membuka wajah bagi wanita
merupakan sasaran gangguan dari laki-laki jahat. Maka dengan menutupi wajahnya,
seorang wanita tidak akan memikat dan menggoda laki-laki sehingga dia tidak
akan diganngu.
5.
Aisyah berkata : “Para pengendara kendaraan biasa melewati
kami, disaat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah Saw. Maka jika mereka mendekati kami, salah seorang dari kami
menurunkan jilbabnya dari kepalanya pada wajahnya. Jika mereka telah melewati
kami, kami membuka wajah. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
6.
Asma’ binti Abu Bakar berkata : “ kami menutupi wajah kami
dari laki-laki, dan kami menyisir rambut sebelum itu disaat ihram. (HR. Ibnu
Khuzaimah dan Al. Hakim)
Ini
menunjukkan bahwa menutup wajah bagi wanita sudah merupakan kebiasaan para
wanita Shahabat.
Demikian juga mazhab Imam Ahmad yang mengatakan : Setiap bagian
tubuhnya, termasuk kukunya adalah aurat. Ini juga pendapat Imam Malik. Semenjak
turunnya Ayat 59 dari surat Al Ahzab para wanita muslimah ketika itu menutup
wajah dari pandangan pria. Jadi wanita dahulu mengenakan Niqob ( cadar).
- Surat An-Nuur : 31
“Katakanlah
kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak
dari padanya.” (QS. An-Nur : 31).
Ibnu Mas`ud a berkata bahwa yang dimaksud perhiasan yang tidak
boleh ditampakkan adalah wajah, karena wajah adalah pusat dari kecantikan.
Sedangkan yang dimaksud dengan `yang biasa nampak` bukanlah wajah, melainkan
selendang dan baju
Syafi’iyah dan Hanabiah mengatakan ayat ini secara mutlak
mengharamkan sesuatu dari anggota tubuh secara mutlak untuk di tampakan begitu
juga dengan perhiasan mereka di depan para lelaki asing kecuali yang biasa
nampak darinya ( إلا ما ظهر منها )adalah yang dimaksud
adalah biduni kosdin wala amdin (tidak sengaja ) semisal pakaiannya terkena
sapuan angin lalu terlihat betisnya atau dari sesuatu dari anggota tubuhnya dll.
Dari sini bisa di ambil kesimpulan bahwasanya para wanita di
larang atau di haramkan menampakan wajah dan kedua telapak tangannya kecuali
tersingkap dengan tidak di sengaja[9]
B. Kalangan yang tidak
mewajibkan cadar
Sedangkan mereka yang tidak mewajibkan cadar berpendapat bahwa
wajah bukan termasuk aurat wanita. Mereka juga menggunakan banyak dalil serta
mengutip pendapat dari para Imam mazhab yang empat dan juga pendapat salaf dari
para shahabat Rasulullah sholallohu
‘alaihiwassalam
a)Ijma Shahabat
Para shahabat Rasululloh sepakat mengatakan bahwa wajah dan tapak tangan wanita bukan termasuk aurat. Ini adalah riwayat yang paling kuat tentang masalah batas aurat wanita.
Para shahabat Rasululloh sepakat mengatakan bahwa wajah dan tapak tangan wanita bukan termasuk aurat. Ini adalah riwayat yang paling kuat tentang masalah batas aurat wanita.
b)Pendapat Para Fuqoha Ala-Madzahibi Al-Arba’ah
Bahwa Wajah Bukan Termasuk Aurat Wanita.
- Mazhab Hanafi
Dalam
kitab al-Ikhtiyar, salah satu kitab Mazhab Hanafi, disebutkan: Tidak
diperbolehkan melihat wanita lain kecuali wajah dan telapak tangannya, Jika
tidak dikhawatirkan timbul syahwat. Dan diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa
beliau menambahkan dengan kaki, karena pada yang demikian itu ada kedaruratan
untuk mengambil dan memberi serta untuk mengenal wajahnya ketika bermuamalah
dengan orang lain, untuk menegakkan kehidupan dan kebutuhannya, karena tidak
adanya orang yang melaksanakan sebab-sebab penghidupannya. Beliau berkata:
Sebagai dasarnya ialah firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya.”
(an-Nur: 31 )
- Mazhab Maliki
Mazhab Maliki berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah aurat, namun
memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan
menimbulkan fitnah. Bahkan sebagian ulama Maliki berpendapat seluruh tubuh
wanita adalah aurat.
- Mazhab Syafi’i
Asy-Syirazi,
salah seorang ulama Syafi’iyah, pengarang kitab al-Muhadzdzab mengatakan:
“Adapun
wanita merdeka, maka seluruh tubuhnya adalah aurat, kecuali wajah dan telapak
tangan – Imam Nawawi berkata: hingga pergelangan tangan- Berdasarkan firman
Allah : “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa
tampak daripadanya.’ Ibnu Abbas berkata, ‘Wajahnya dan kedua telapak
tangannya.’
- Madzhab Zahiri
Daud yang mewakili kalangan Zahiri pun sepakat bahwa batas aurat
wanita adalah seluruh tubuh kecuai muka dan tapak tangan. Sebagaimana yang
disebutkan dalam Nailur Authar. Begitu juga dengan Ibnu Hazm mengecualikan
wajah dan tapak tangan sebagaiman tertulis dalam kitab Al-Muhalla.
c) Pendapat Para Mufassirin
Para mufassirin yang terkenal pun banyak yang mengatakan bahwa batas aurat wanita itu adalahseluruh tubuh kecuali muka dan tapak tangan.
Para mufassirin yang terkenal pun banyak yang mengatakan bahwa batas aurat wanita itu adalahseluruh tubuh kecuali muka dan tapak tangan.
Mereka antara lain At-Thabari, Al-Qurthubi, Ar-Razy, Al-Baidhawi
dan lainnya.Pendapat ini sekaligus juga mewakili pendapat jumhur ulama.
d)Dhai’ifnya Hadits Asma Dikuatkan Oleh Hadits Lainnya
Adapun hadits Asma` binti Abu Bakar yang dianggap dhaif, ternyata tidak berdiri sendiri,karena ada qarinah yang menguatkan melalui riwayat Asma` binti Umais yang menguatkan haditstersebut.Sehingga ulama modern sekelas Nasiruddin Al-Bani sekalipun meng-hasankan hadits tersebut sebagaimana tulisan beliau ‘Hijab Wanita Muslimah’, ‘Al-Irwa`, Shahih Jamius Shaghir dan `Takhrij Halal dan Haram.Tetapi di dalam kitab Fiqh Islam wa Adilatuhu di katakan oleh Dr.Wahbah Az-Zuhayli bahwa hadis yang dari Aisyah dan Ibnu Abbas di riwayatkan oleh Imam al-Bayhaqi dan di katakan bahwa hadis itu adalah do’if.
Adapun hadits Asma` binti Abu Bakar yang dianggap dhaif, ternyata tidak berdiri sendiri,karena ada qarinah yang menguatkan melalui riwayat Asma` binti Umais yang menguatkan haditstersebut.Sehingga ulama modern sekelas Nasiruddin Al-Bani sekalipun meng-hasankan hadits tersebut sebagaimana tulisan beliau ‘Hijab Wanita Muslimah’, ‘Al-Irwa`, Shahih Jamius Shaghir dan `Takhrij Halal dan Haram.Tetapi di dalam kitab Fiqh Islam wa Adilatuhu di katakan oleh Dr.Wahbah Az-Zuhayli bahwa hadis yang dari Aisyah dan Ibnu Abbas di riwayatkan oleh Imam al-Bayhaqi dan di katakan bahwa hadis itu adalah do’if.
e)Perintah Kepada Laki-laki Untuk Menundukkan Pandangan.
Allah telah memerintahkan kepada laki-laki untuk menundukkan pandangan (ghadhdhul bashar). Hal itu karena para wanita muslimah memang tidak diwajibkan untuk menutup wajah mereka.
Allah telah memerintahkan kepada laki-laki untuk menundukkan pandangan (ghadhdhul bashar). Hal itu karena para wanita muslimah memang tidak diwajibkan untuk menutup wajah mereka.
“Katakanlah kepada orang laki-laki
yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat(QS. An-Nuur : 30)
Dalam hadits Rasulullah
kepada Ali disebutkan bahwa,
“Janganlah kamu mengikuti pandangan
pertama (kepada wanita) dengan pandangan berikutnya. Karena yang pertama itu
untukmu dan yang kedua adalah ancaman / dosa“. (HR.
Ahmad, Abu Daud, Tirmizy dan Hakim).
Mereka yang berpendapat
akan kebolehan membuka cadar adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam
Syafi’I dan dengan syarat terbebas dari fitnah[10]. begitu juga dengan
pendapat para ulama Dan karena tidak adanya Nash yang jelas-Jelas
memerintahkannya
1. Saat khitbah (meminang)
Seorang wanita dibolehkan menampakkan wajah dan dua telapak
tangannya di hadapan lelaki yang berkeinginan meminangnya agar si lelaki itu
dapat melihatnya, dengan catatan harus disertai dengan mahram dan tidak
menyentuhnya. Karena wajah menunjukkan cantik atau tidaknya si wanita dan kedua
telapak tangan menunjukkan subur atau tidaknya badan si wanita Abul Faraj
Al-Maqdisi berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang
bolehnya melihat wajah wanita (saat meminangnya)
2. Saat bermu’amalah
(berinteraksi sosial).
Wanita juga dibolehkan menampakkan wajah dan kedua telapak
tangannya dalam proses jual beli jika memang dibutuhkan. Sebagaimana halnya
penjual boleh melihat wajahnya untuk menyerahkan barang dan menerima uangnya,
selama tidak menimbulkan fitnah.
3. Saat pengobatan.
Kaum wanita juga boleh membuka tempat yang terkena penyakit pada
wajah atau bagian tubuhnya yang terkena penyakit kepada dokter untuk diobati.
Dengan syarat harus disertai mahram atau suaminya.
Ibnu Qudamah berkata: “Seorang dokter dibolehkan melihat bagian
tubuh wanita yang sakit bila perlu diperiksa. Sebab bagian tubuh itu memang
perlu dilihat.
4. Saat menjadi saksi atau
sebagai orang yang diberi persaksian
Ibnu Qudamah mengatakan: “Saksi boleh melihat terdakwa supaya
persaksiannya tidak salah alamat. Imam Ahmad a berkata: Tidak boleh memberikan
persaksian terhadap seorang terdakwa wanita hingga Ia mengenali indentitasnya
dengan pasti [12]
PENUTUP
Demikianlah apa yang patut kita ketahui tentang hukum memakai
cadar. Dan setelah itu marilah kita melihat kenyataan hari ini di mana kita
hidup di dalamnya !!!………… maka kita akan mendapatkan fitnah ada di mana-mana.
Rasulullah sudah menginggatkan kita akan besarnya fitnah wanita terhadap
laki-laki sebelum beliau wafat. Dan Sabdanya : Bertaqawalah akan fitnah dunia
dan fitnah wanita. Karena sesungguhnya fitnah yang pertama sekali menimpa bani
isroil adalah adalah fitnah wanita. [Muslim : 17/55 ]
di zaman Rasulullahwanita-wanita yang tidak memakai cadar
adalah para budak. Sehinggah di ceritakan dalam tafsir “Adhwa’aul Bayan”:
Wanita-wanita budak tidak memakai cadar sehingga mereka diganggu. Maka untuk
membedakan antara wanita budak dengan wanita merdeka di perintahkan untuk
menutup muka dengan menurunkan jilbabnya. Sebagaian para ulama berpendapat
seorang laki-laki lebih tertarik di karenakan melihat wajahnya dari pada
melihat kakinya. Dan kita bisa melihat wanita-wanita yang tidak menutup
auratnya yang sering menjadi korban pelecehan saksual oleh lelaki yang tidak
bermoral. Hanya kepada Allah sajalah kami memohon
agar memperbaiki keadaan kaum muslimin. Shalawat dan salam semoga tercurah atas
nabi kita Muhammadn.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran
danTerjemahnya
Saudah, Siti. 2006
M/1427 H. Hukum Cadar Bagi Wanita. Surakarta:
___.
Jilbab Wanita Muslimah ,
Syekh Nasirudien Al-Bani
Fiqh Islam wa Adilatuhu,
Dr.wahbah Az-Zuhaily.
http://digilib.uinsby.ac.id/4513/6/Bab202.pdf
[2]Shihab, Jilbab
Pakaian Wanita Muslimat, (Jakarta: Lentera Hati, 2014), 48.
[3]Murtadha
Muthahari, Gaya Hidup Wanita Islam, ter. Agus Efendi, Alwiyah Abdurrahman, (Bandung,
Mizan, 1990), 34.
[4]Hasan al-‘Audah,
al-Mar’ah al-‘Arabiyah Fial-Din wa al-Mujtama’, (Bairut: al-Ahaly, 2000),
101-102.
[8]Hirasatu al-Fadhilah
, Abu Bakar bin Abu Zaid, 41-90.
[10]lihat Fiqh ala
Mazaaibil Arba’ah Jilid : 1 hal 583 ; Fiqh Islam Wa Adilatuhu, Dr.Wahbah
Az-Zuhayli, 1/744-755.
[12]lihat kitab
Al-Mughni VII/459, Syarah Al-Kabir ‘Alal Muqni’ VII/348 dan Al-Hidayah ma’a
Takmilah Fathul Qadir X/26.
Post a Comment for "MAKALAH PRO KONTRA TENTANG HUKUM CADAR"