MAKALAH KATEGORISASI MADZAHIBUT TAFSIR
MAKALAH
KATEGORISASI MADZAHIBUT TAFSIR
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Madzahibut Tafsir
Dosen
Pembimbing: Ali Mahfudz, M.S.I
Disusun
oleh
NAMA : AKHMAD MUDASIR
NIM :1631045
Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Fakultas Ushuludin, Dakwah dan Syari’ah
Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Kebumen
2019
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji bagi Allah Swt yang telah
memberikan memberikan rahmat dan hidayah-Nya, atas limpahan kesehatan yang
diberikan. Sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat serta Salam kita tunjukan kepada Nabi Muhammad Saw, yang telah
menunjukan jalan yang terang. Serta kita nantikan syafa’atnya besok di hari
akhir.
Penulis ucapkan terima kasih pula kepada
dosen penganpu yang telah memberikan kesempatan untuk belajar, dan senantiasa
membimbing dengan baik. Terima kasih pula kepada para sahabat yang selalu
memberikan dukungan semangat, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik
Penulis tentu menyadari bahwa makalah
ini masi jauh dari kata sempurna dan masih banyak hal harus diperbaiki. Unutk
itu, penulis menharapkan kritik dan saran dari para pembaca. Supaya di lain
kesempatan dapat diperbaiki. Demikian, apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
...Wassalamu’alikum
Warahmatullahi Wabarakatuh…
Penulis
Kebumen, 15 Februari 2019
Akhmad Mudasir
BAB I
Pendahuluan
Kajian terhadap al-Qur’an dari berbagai
segi, terutama segi penafsirannya yang selalu menunjukan perkembangan yang
cukup signifikan sejak diturunkannya al-Qur’an hingga sekarang ini. Munculnya
berbagai penafsiran dan karya-karya tafsir yang sarat dengan berbagai ragam
metode maupun pendekatan, merupakan bukti bahwa upaya untuk menafsirkan
al-Qur’an memang tidak pernah berhenti, jika dicermati, produk0produk
penafsiran al-Qur’an dari satu generasi ke generasi selanjutnya memiliki corak
dan karakteristik yang beragam. Hal ini disebabkan oleh banyak factor, antara
lain adanya perbedaan sosio-historis di mana seorang mufassir hidup. Bahkan
situasi politik yang melingkupi katika mufasir melakukan penafsiran juga sangat
terlihat mewarnai produk-produk penafsirannya
Beragamnya berbagai penafsiran al-Qur’an
yang disebabkan oleh banyak factor, membuat sebagian orang melakukan pemetaan
terhadap penafsiran al-Qur’an, yaitu membaginya menjadi baberapa kategori.
Diantaranya berdasarkan periodesasinya atau kronologi waktunya, berdasarkan
kecenderungannya, berdasarkan perspektif atau pendekatan yang dipakai, dan lain
sebagainya.
1. Rumusan
Masalah
a. Apa
itu Madzahibut Tafsir
b. Kategorisasi
Madzahibut Tafsir dan Tokohnya
2. Kegunaan
a. Mengerti
Madzahibut Tafsir lebih mendalam
b. Mengerti
tokoh-tokoh Madzahibut Tafsir dan pemekirannya
c. Memenuhi
tugas mata kuliah Madzahibut Tafsir
3. Kesimpulan
BAB II
Pembahasan
Istilah Madzahibut Tafsir pertama kali
muncul digunakan oleh Ignaz Goldziher dalam bukunya Die Ricthungen der Islamichen Koranauslegung yang kemudian
diterjemahkan oleh Dr. Ali Hasan Abdul Qadir dengan judul Madzahibut Tafsir al-Islami (1995). Selanjutnya barulah muncul
banyak karya dalam bidang ini, seperti Muhammad Husain adz-Dzahabi (1961), Abu
Yaqzhan ‘Athiyya al-Jaburi dengan judul Dirasah
fi at-Tafsir wa Rijalihi (1971) dan Abdul ‘Azhim Ahmad al-Ghubasyi dengan
judul Tarikh at-Tafsir wa Manahij
al-Mufassirin (1997) dan lain sebagainya.
Adapun mengenai kategorisasi
aliran-aliran tafsir itu tergantung pada “kacamata” yang diapakai unutk
memetakan aliran-aliarn penafsiran tersebut. Seperti Muhammad Husain
adz-Dzahabi yang memetakan nya menjadi 3, yaitu: tafsir pada masa Nabi dan Sahabat,
pada masa Tabi’in dan pada masa Kodifikasi.[1]
Berbicara tentang kategorisasi
aliran-aliran tafsir yang sudah berkembang selama ini, ternyata para ulam
berbeda-beda dalam memetakannya. Ada yang membagi berdasarkan periodesasinya
atau kronologi waktunya, sehinga menjadi madzhab tafsir periode klasik,
pertengahan, dan modern/kontemporer. Ada yang berdasarkan kecenderungannya,
sehingga muncul istialh tafsir Sunni, Syi’ah, Mu’tazilah, dan lain sebagainya.
Ada pula yang melihat dari perspektif atau pendekatan yang dipakai, sehingga
muncul istilah tafsir Sufi, falsafah, ‘Ilmi, Fiqh, Adabi Ijtima’i dan lain
sebagainya. Bahkan ada pula yang melihat dari perkembangan pemikiran manusia,
sehingga dapat dipetakan menjadi tafsir periode mistik, ideologis, dan ilmiah.
A. Kategorisasi
Madzhab Model Tafsir Ignas Goldziher
Kajian mengenai sejarah tafsir telah terjadi
sejak masa Imam Suyuthi melalui karyanya, Thabaqat
al-Mufassirin namun kajian-kajian tersebut tidak begitu dilestarikan oleh
intelektual muslim. Dalam hal ini akan disampaikan beberapa model beberapa
kategorisasi yang pernah dilakukan, baik oleh intelektual muslim atau
non-muslim dalam sejarah kajian
madzhahibut tafsir.
Salah satu karya magnum opus Barat yang
bersentuhan dengan khasanah tafsir adalah Die
Ricthungen der Islamichen Koranauslegung atau Madzahib at-tafsir al-Islami, karya Ignaz Goldziher berkelahiran
Hongaria (1850-1921). Menurutnya terdapat lima madzhab (richungen) atau
kecenderungan dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu :[2]
1.
At-Tafsir
bil Ma’tsur, yaitu penafsiran al-Qur’an dengan
bantuan dan aqwal (pendapat) para sahabat. Yang termasuk dalam kategori tafsir
ini, misalnya tafsir Ibnu Abbas, Mujahid (21-104 H), Ikrimah (w 105 H), Ali ibn
Abi Thalhah, dan tafsir ath-Thabari.
2. At-Tafsir fi
Dhau’i al-‘Aqidah (Perspektif Teologi Rasional), atau
penafsiran al-Qur’an yang bersifat dogmatis. Yaitu penafsiran yang ditulis oleh
kelompo ataupun orang-orang tertentu yang didalamnya memiliki substansi dasar
teologis yang dimanfaatkan unutk menududng, membela madzhab tertentu.[3]
Yang termasuk dalam kategori tafsir ini adalah tafsir yang ditulis oleh orang-orang
Mu’tazilah, seperti tafsir al-Kasysyaf, karya az-Zamakhsyari, al-Gharar wa
Durar, karya Amali al-Murtadha dan Mafatih al-Ghaib, karya Imam Fakhrar Razi.
3. At-Tafsir fi
Dhau’i at-Tasawwuf al-Islami (Perspektif Tasawwuf)
yang bersifat mistik. Termasuk tafsir kategori mistik adalah tafsir karya
Ikhwan ash-Shafa, Ibnu Arabi, dan Imam al-Ghazali. Tema-tema sentral dalam
pembahasan ini adalah mengenai widhatul
wujud (penggambaran bahwa Allah-lah yang menciptakan alam semesta beserta
isinya, atau secara awam dapat dipahami, bersatunya Allah dengan manusia yang
telah mencapai hakiki), penafsiran dengan cara ta’wil dan makna simbolis rumzi.
4. At-Tafsir fi
Dhau’i Firaq ad-Diniyyah (Perspektif Sekte
Keagamaan/sectarian). Termasuk dalam kategori tafsir sectarian adalah tafsir
yang ditulis oleh para pengikut madzab Ahl us-Sunnah, Syiah, Asy’ariah,
Khawarij, dan Qadariyah. Tema-tema yang dikaji didalamnya lebih cenderung untuk
membela madzabnya masing-masing, diantaranya: mengenai apakah di dalam
al-Qur’an terdapat justifikasi terhadap tindakan-tindakan kaum Khawarij, relasi
kekuasaaan Tuhan dengan perbuatan manusia, argumentasi golongan Syiah.
5. At-Tafsir fi Dhuatau’i
at-Tamaddun al-Islami (Era Kebangkitan Islam / Modernis).
Termasuk dalam kategori tafsir ini adalah tafsir yang ditulis oleh Sayyid Amir
Ali, Ahmad Khan, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan lain-lain.
Tema-tema yang menjadi isu sentral adalah tentang gerakan taqlid (pembaruan),
bagaimana Islam memotivasi untuk
memajukan peradaban, misalnya dengan menyuarakan pentingnya kebebasan berfikir dan melepaskan
taqlid buta. Di dalamnya juga menyinggung tentang sebab-sebab umat Islam mundur
dan keharusan membuka kembali pintu Ijtihad.
Sebagaimana judul bukunya, Madzahibut
at-Tafsir al-Islam, pembagian model Ignas Goldziher tersebut bukanlah pemetaan
berdasarkan kronologi waktunya, melainkan lebih merupakan usaha menguraikan
beberapa kecenderungan dalam menafsirkan al-Qur’an sejak awal sejak penafsiran,
hingga masa Muhammad Abduh. Selain tidak memberikan periode yang tegas dan
jelas mengenai produk-produk tafsir yang berkembang juga menafikan adanya
banyak karya-karya tafsir seperti Ibn Katsir, al-Alusi, an-Nasafi, Jalalain
dll.[4]
Salah satu kelemahan kategorisasi Ignaz
Gldziheradalah ketika memasukan tafsir az-Zamakhsyari ke dalam kategori tafsir
domatis. Padahal ia mempunyai kedudukan penting dalam kajian tafsir karean
karya filologinya tentang analisis sintaksis terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Tetapi mengapa ia dimasukan ke dalam kelompok tafsir dogmatis? Hanya karena
az-Zamakhsyari dipandang sebagai ulama heterodok wakil madzhab Mu’tazilah.
Mengapa ia tidak dimasukan ke dalam kategori tafsir tradisional atau sectarian?
Bukankan az-Zamakhsyari termasuk pengikut setia madzhab Mu’tazilah?
B. Model
J. J. G Jansen
Kategorisasi yang dilakukan oleh J.J.G
Jansen lebih bersifat spesifik, karena hanya mengacu kepada tafsir-tafsir yang
berkembang di kawasan Islam tertentu, yaitu Mesir. Dalam disertasi doctor-nya,
J.J.G Jansen membagi kategori madzhab tafsir ilmiah yang berkembang di Mesir
menjadi 3 macam, yaitu:
1. Tafsir
‘Ilmi, yaitu penafsiran al-Qur’an yang dipengaruhi oleh pengadopsian
temuan-temuan ilmiah yang mutahir. Adapun pengertian tafsir ‘Ilmi menurut
Jansen ialah sebagai usaha memahami al-Qur’an dengan menjadikan
penemuan-penemuan sanis modern sebagai alat bantunya. Ayat-ayat al-Qur’an
disini lebih diorientasikan kepada teks yang secara khusus membicarakan tentang
fenomena kealaman atau biasa dikenal sebagai al-ayat al-Kauniyah.[5]
Diantara tafsirannya adalah Fakhruddin ar-Razi (Mafatih al-Ghaib), an-Nasyaburi
(Ghara’ib al-Qur’an wa Ragha’ib al-Furqan), al-Baidawi (Anwar at-Tanzil wa
Asrat at-Ta’wil), al-Alusi (Ruh al-Ma’ani fa Tafsir al-Qur’an al-Adzim wa
Sab’al-Matsani).
2. Tafsir
Linguistik dan filologis, yaitu penafsiran al-Qur’an yang di dalamnya
menggunakan analisis linguistic (studi ilmiah terhadap bahasa) dan pendekatan
filologi (studi perkembangan kronologis dari bahasa). Diantara tokoh-tokoh
mufassirnya ialah para sahabat, yaitu 4 orang khulfa’urrasyidin, Abdullah bin
Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa
al-Asya’ri, dan Abdullah bin Zubair.[6]
3. Tafsir
Praktis, yaitu penasiran al-Qur’an yang banyak berkaitan dengan persoalan
keseharian umat. Yang dimaksud adalah manusia sebagai satu kesatuan yang tak
bias hidup sendirian akan muncul perselisihan dan silang pendapat ketika
bermasyarakat. Maka, maka disini peran al-Qur’an diperlukan unutk mesnyelesaikan
problem-problem yang tejadi.
Pembagian semacam ini, juga bukanlah
merupakan suatu pembagian penafsiran yang berdasarkan kronologi waktu,
melainkan didasarkan pada kecenderungan penafsiran (ittijahatut tafsir) yang
dilakukan oleh para mufasir di Mesir. Lagi pula, Jensen hanya mengakomodir
tafsir yang berkembang di Mesir saja, sehingga melupakan tafsir-tafsir lain
yang tidak berkembang di Mesir. Kalau demikian, berarti ia tidak jauh berbeda
dengan Ignaz Goldziher yang membagi madzhab tafsir berdasarkan kecenderungannya.
Jika dikategorisasi Jansen ditarik dalam kontes sekarang, bagaiman dengan
tafsir-tafsir feminis yang berkembang sekarang ini. Lalu akan dimasukan kemama
model tafsir feminis tersebut?
C. Model
Muhammad Husain adz-Dzahabi
Kategorisasi model Muhammad Huasin
adz-Dzahabi dapat dilihat dari kitabnya, at-Tafsi
wal Mufassirun. Ia tampaknya cenderung untuk membuat kategorisasi tafsir
berdasarkan kronologi waktunya. Menurutnya, ada 4 periodesasi tafsir, yaitu:[7]
1. Tafsir
pada masa Nabi Muhammad Saw. Dan Sahabat.
Karakteristik
umum tafsir pada masa ini adalah:
a. Tidak
manafsirkan seluruh al-Qur’an.
b. Tidak
banyak perbedaaan pendapat dalam penafsirannya.
c. Penafsirannya
bersifat ijmali (global, tidak merinci secara detail).
d.
Cenderung hanya
menafsirkan dari aspek makna bahasa, seperti manafsirkan kata Ghairu mutajanifin li itsmi, yang
ditafsirkan dengan Ghairu muta’arridin
lima’shiyyatin.
e. Jarang
melakukan istibat hukum secara ilmiah terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang
ditafsirkan.
f. Tidak
bersifat sectarian.
g. Belum
terkodifikasi secara utuh, sebab kodifikasi tafsir baru ada pada abad ke-2
hijriah, sehingga penafsiran tersebut masih tersebar dalam berbagai riwayat
hadits.
h. Banyak
menggunakan yang disampaikan secara oral atau lisan.
i.
Cenderung
bersifat mistis (penafsiran itu diterima begitu saja, nyaris tanpa kritik).[8]
Yang termasuk dalam kategori tafsir ini
adalah tafsir Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, dan Ali bin Abi Tahalib.
2. Tafsir
Pada Masa Tabi’in
Adapaun karakteristik tafsir pada masa
ini anatar lain adalah:
a. Pada
masa Tabi’in tafsir juga belum dikodifikasikan secara tersendiri.
b. Tradisi
tafsir masih bersifat hafakan dan periwayatan.
c. Tafsir
sudah dimasuki oleh kisah-kisah israiliyat, karean adanya keinginan sebagian
Tabi’in unutk mencari penjelasan secara detail cerita berita dalam al-Qur’an.
d.
Sudah muncul
benih-benih perbedaaan pendapat antar penafsiran para Tabi’in dengan para
Sahabat.[9]
Diantara
tokoh-tokohnya adalah Mujahid bin Jabir, Sa’id bin Jubair, “Atha’ bin Abi
Rabah, “Ikrimah pembantu Ibnu Abbas, Zaid bin Aslam, dan lain sebagainya.
3. Tafsir
Pada Masa Kodifikasi
Kodifikasi
tafsir diperkirakan muncul pada akhir pemerintahan Bani Umayyah, awal
pemerintahan Bani Abbasiyyah. Pada masa ini sudah berkembang pula tafsir-tafsir
dengan berbagai corak dan madzhabnya, seperti tafsir madzhab Mu’tazilah, Syiah,
Khawarij, dan berbagai corak tafsir, semisal tafsir dengan corak Sufistik,
Linguistik, Fiqh, Fiosofis, Teologis, Adabi Ijtimai dan lain sebagainya.
Diantara tokoh-tokohnya adalah Yazib bin Harun as-Sulami (w 117), Syu’bah bin
al-Hajjaj (w 160), Waki’ bin Jarrah (w 197), Sufyan bin ‘Uyainah (w 189), dan
lain sebagainya.[10]
Kelemahan
kategorisasi yang dilakukan adz-Dzahabi ini antara lain, bahwa ia tidak melihat
secara lebih rinci mengenai tafsri-tafsir yang berkembang setelah masa
kodifikasi. Padahal seyogyanya tafsir-tafsir yang berkembang setelah lama
kodifikasi masih dapat dipetakan secara lebih detail.
Kategorisasi
adz-Dzahabi tampaknya menggunakan standar ganda. Di satu sisi, ia berdasarkan
kronologi waktunya, tetapi kemudian, disisi lain ia menggunakan kategorisasi
berdasarkan kodifikasi. Maka pertanyaanya yang muncul adalah mengapa
adz-Dzahabi tidak memetakan madzhab tafsir menjadi dua saja, yaitu:
pra-kodifiaksi dan pasca kodifikasi?.
4. Kategorisasi
Madzhab Tafsir Model Amina Wadud
Dalam membuat kategorisasi tafsir, Amina
Wadud melihat dari perspektif gerakan feminism yang memfokuskan pada isu-isu
gender. Menurut Amina Wadud, penafsiran-penafsiran al-Qur’an mengenai isu-isu
gender selama ini dikategorisasikan menjadi
3 corak, yaitu:
1. Tafsir
Tradsirional
2. Tafsir
Reaktif
3. Tafsir
Holistik
Untuk lebih memahami secara rinci,
berikut penulis uraikan mengenai 3 kategori tersebut, yaitu:
1. Tafsir
Tradisional, yaitu tafsir yang menggunakan pokok bahasan tertentu sesuai dengan
minat dan kemampuan mufassirnya, seperti hokum, nahwu, sharaf, sejarah,
tasawuf, dan lain sebagainya. Model tafsir semacam ini lebih bersifat
anomistik. Artinya, penafsiran itu dilakukan ayat per ayat dan tidak tematik,
sehingga pembahasannya menjadi persial, dan tidak ada upaya untuk mendiskusikan
tema-tema tertentu menurut al-Qur’an itu sendiri.[11]
Mungkin saja ada pembahasan mengenai hubungan ayat satu dengan ayat yang lain.
Namun ketiadaan penerapan hermeutika
atau metodologi yang menghubungkan antara ide, struktur sintaksis
(prinsip dan peraturan membuat kalimat), atau tema yang berupaya membuat
pembacaanya gagal menangkap weltanchauung
al-Qur’an. Termasuk dalam kategori tafsir semacam ini, adalah seluruh produk
tafsir tradisional yang menggunakan metode tahlili yang bersifat atomistic
(memisahkan sesuatu dengan bagian yang lain), seperti tafsir karya ath-Thabari,
al-Alusi, ar-Razi, az-Zamakhsyari, tafsir Jalalain, dan sebagainya.
lebih
lanjut menurut Amina Wadud, tafsir model tradisional ini terkesan eksklusif,
ditulis hanya oleh kaum laki-laki saja. Tidaklah mengherankan jika hanya kesadaran dan pengalaman kaum pria
saja yang diakomodasikan di dalamnya. Padahal mestinya pengalaman, visi dan
perspektif kaum perempuan harus masuk di dalamnya, sehingga tidak terjadi bias
patriakhi yang bias memicu dan memacu ketidakadilan gender dalam kehidupan
keluarga maupun masyarakat.[12]
2. Tafsir
Reaktif, yaitu tafsir yang berisi reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah
hambatan yang dialami perempuan yang dianggap berasal dari al-Qur’an. Persoalan
yang dibahas dan metode yang digunakan seringkali berasal dari gagasan kaum
feminism dan rasionalis, tapi tanpa dibarengi dengan analisis yang komprehensif
terhadap ayat-ayat yang bersangkutan. Dengan demikian, meskipun semangat yang
dibawa adalah pembebasan (liberation), namun tidak terlihat hubungannya dengan
sumber ideology dan teologi Islam, yakni al-Qur’an.
3. Tafsir
Holistik, yaitu tafsir yang menggunakan seluruh metode penafsiran dan
mengaitkan dengan berbagai persoalan sosial, moral ekonomi, polotik, termasuk
isu-sisu perempuan yang muncul di era modern. Disinilah posisi Amina Wadud
dalam upaya menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Model semacam ini menurut penulis
mirip dengan apa yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman dan al-Farmawi.
Dalam
hal ini, Fazlur Rahman berpendapat bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan
pada masa tertentu dalam kurun waktu sejarah beserta keadaan umum dan khusus
yang menyertainya menggunakan ungkapan yang relative sesuai dengan situasi yang
mengelilinya. Karena ia tidak dapat direduksi atau dibatasi oleh situasi
historis pada saat ia diwahyukan.
Dengan
semboyan itulah, Amina Wadud berpendapat bahwa dalam usaha menjaga relevansi
al-Qur’an dengan perkembangan kehidupan manusia, al-Qur’an harus terus menerus
ditafsirkan ulang. Ide semcam ini adalah senada dengan apa yang dinyatakan oleh
Muhammad Syiria dalam karyanya, al-Kitab
wal Qur’an Qira’ah Mu’ashirah. Sikap semacam ini sesungguhnya merupakan
satu kensekuensi logis dari dictum yang menyatakn bahwa al-Qur’an itu shalih li kulli zaman wa makan.[13]
Oleh sebab itu, hasil penafsiran al-Qur’an mestinya selalu terbuka untuk
dikritis setiap saat. Jangan sampai meminjam istilah Muhammad Arkoun, “ada taqdis al-afkar ad-diniy yah
(pensyakralan pemikiran keagamaan)”.
BAB III
Kesimpulan
Secara etimologis merupakan idhafah yang
terdiri dari dua kata, Madzahabit dan Tafsir. Madzahib jamak dari madzhab, yang
berarti aliran pemikiran dan Tafsir yang berarti pemahaman atau penjelasan.
Jadi, Madzahibut Tafsir berarti aliran-aliran tafsir atau madzhab dalam
menafsirkan al-Qur’an.
Istilah Madzahibut Tafsir pertama kali
muncul digunakan oleh Ignaz Goldziher dalam bukunya Die Ricthungen der Islamichen Koranauslegung yang kemudian
diterjemahkan oleh Dr. Ali Hasan Abdul Qadir dengan judul Madzahibut Tafsir al-Islami (1995).
Adapun mengenai kategorisasi
aliran-aliran tafsir itu tergantung pada “kacamata” yang diapakai untuk
memetakan aliran-aliran penafsiran tersebut. Seperti Muhammad Husain
adz-Dzahabi yang memetakan nya menjadi 3, yaitu: tafsir pada masa Nabi dan
Sahabat, pada masa Tabi’in dan pada masa Kodifikasi. Ada yang membagi
berdasarkan periodesasinya atau kronologi waktunya, sehinga menjadi madzhab
tafsir periode klasik, pertengahan, dan modern/kontemporer. Ada yang
berdasarkan kecenderungannya, sehingga muncul istialh tafsir Sunni, Syi’ah,
Mu’tazilah, dan lain sebagainya. Ada pula yang melihat dari perspektif atau
pendekatan yang dipakai, sehingga muncul istilah tafsir Sufi, falsafah, ‘Ilmi,
Fiqh, Adabi Ijtima’i dan lain sebagainya. Bahkan ada pula yang melihat dari
perkembangan pemikiran manusia, sehingga dapat dipetakan menjadi tafsir periode
mistik, ideologis, dan ilmiah
DAFTAR
PUSTKA:
Mustakim.
Abdul, 2003, Madzahibut Tafsir, Yogyakarta: Nun Pustaka Yogyakarta
journal.ipmafa.ac.id>article>download
[1]
Muhammad Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun…., I: hlm.3, dalam http://yudhistirasenangberkarya.blogspot.com/2013/07/tinjauan-umum-madzahibut-tafsir_5241.html?m=1
[2]
Abdul Mustakin, Madzahibut Tafsir,
(Yogyakarta: Nun Pustaka Yogyakarta, 2003), hlm. 23-25
[3]
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir
al-Qur’an, (Yogyakarta: Adab Press, 2014), hlm 121. Dalam https://santriadvn.blogspot.com/2017/10/bab-pendahuluan-latar-belakang-al.html?m=1
[4]
J.J.G Jansen Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, (Yogyakarta: Tiara Wacana.
1997), hlm. 8-9
[5]
Muhammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy
Memahami al-Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern, (Yogyakarta: Menara
Kudus, 2004), hlm. 127. Dalam https://nurulhusnayusuf-makalahku.blogspot.com/2011/04/tfasir-ilmi.html?m=1
[6]
Abdullah Mu’afa, Pendekatan Linguistik
dalam Penafsiran al-Qur’an, hlm. 230. Dalam
journal.ipmafa.ac.id>article>download.
[7]
Abdul Mustakin, Madzahibut Tafsir,
(Yogyakarta: Nun Pustaka Yogyakarta, 2003), hlm. 27-29
[8]
Muhammad Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir
wal Mufassirun juz I (Beirut Dar al-Fikr 1976), hlm. 97-98
[9]
J.J.G Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an
Modern, (Yogyakarta: Tiara Wacana. 1997), hlm. 130
[10]
Rian Konaya, Tafsir Pada Masa Kodifikasi,
dalam https://rinakonaya.blogspot.com/2014/06/tafsir-pada-masa-kodifikasi.html?m=1
[11]
Amina Wadud Muhsin, “Qur’an and Woman”
dalam Charles Kurzman, Liberal Islam, (New York: Oxford University Press,
1998), hlm. 128. Dalam Abdul Mustakin, Madzahibut
Tafsir, (Yogyakarta: Nun Pustaka Yogyakarta, 2003), hlm. 30.
[12]Abdul
Mustakim, Loc.Cit. hlm. 31.
[13]
Muhammad Syahrur, al-Kitab wal al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, (Damaskus:
al-Ahali wa ath-Thiba’ah wa an-Nasyr 1992), hlm. 19
Post a Comment for "MAKALAH KATEGORISASI MADZAHIBUT TAFSIR"