2. Persamaan dan Perbedaan ar-
Riwayah dan as-Syahadah
Para ulama berpendapar
bahwa persamaan ar-riwayah dengan as-syahadah terdapat pada empat
hal, yaitu harus dilakukan oleh orang-orang yang beragama Islam , telah mukalaf
(baligh dan berakal), bersifat adil dan dhabith.
Keempat hal itu berkaitan langsung dengan syarat sahnya periwayat dan saksi.
Adapun perbedaan antara
periwayatan dan kesaksian jumlahnya cukup banyak. Menurut al Ghazali, enam
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Periwayatan boleh dilakukan oleh
hamba sahaya, sedangkankesaksian harus dilakukan oleh rang yang merdeka.
2. Periwayat syah saja dilakukan oleh
laki-laki ataupun wanita, sedangkan kesaksian lebih diutamakan laki-laki.
3. Periwayat asalkan pendengarannya
baik, syah dilakukan oleh orang yang buta, sedangkan saksi tidak diperkenankan
dari seorang buta.
4. Periwayat boleh memiliki hubungan
kekerabatan dengan orang yang dijelaskan dalam riwayat yang dikemukakannya,
sedangkan kesaksian tidak boleh dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan
kekerabatannya dengan orang yang memberikan kesaksian perkaranya.
5. Bilangan periwayat tidak menjadi
persyaratan syahnya periwayatan, sedangkan kesaksian untuk peristiwa-peristiwa
tertentu haruslah lebih dari satu orang.
6. Periwayat dapat mempunyai hubungan
permusuhan dengan orang yang disinggung dalam berita yang diriwayatkannya,
sedangkan kesaksian tidak boleh dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan
permusuhan dengan orang yang disaksikan perkaranya.
Jadi, selama as-syahadah
memiliki pengertian kesaksian seseorang terhadap hadis Nabi dan bukan terbatas
pada kesaksian perkara maka ia sama dengan ar-riwayah. Sebaliknya, jika ar-riwayah
berarti cerita seseorang tentang kesaksiannya terhadap suatu hal yang tidak
hanya terbatas hanya terbatas pada hadis Nabi maka ia sama dengan as-syahadah.
Ini karena ar-riwayah dan as-syahadah memiliki persamaan dan perbedaan seperti
tersebut diatas.
PEMBAHASAN
A. Syarat-syarat Penerimaan dan
Penyampaian Hadits
Syarat penerimaan dan penyampaian
hadis telah ditetapkan oleh para ahli hadis semata-mata bertujuan untuk
memelihara hadis dari tindakan pemalsuan. Penetapan syarat-syarat penerimaan
dan penyampaian (periwayatan) hadis ditetapkan oleh para ulama sesudah generasi
sahabat, terutama saat hadis dihimpunkan
dalam kitab-kitab hadis.
Menurut para ulama, secara umum,
terdapat perbedaan antara syarat-syarat penerimaan dan syarat-syarat
periwayatan hadis. Mereka pada umumnya memperbolehkan penerimaan hadis
dilakukan oleh orang kafir dan anak-anak, asalkan ketika meriwayatkannyaia
telah masuk Islamdan mukalaf.
Sedangkan syarat-syarat yang telah ditetapkan untuk periwayatan hadis adalah
sebagai berikut: (1) Islam,(2) baligh, (3) berakal, (4) tidak fasik, (5)
terhindar dari tingkah laku yang mengurangi danmenghilangkan kehormatan (muru’ah)
(6) mampu menyampaikan hadis yang telah dihapalnya, (7) jika periwayat into
memiliki catatan maka catatannya ini dapat dipercaya, dan (8) sangat mengetahui
hal-hal yang merusakmaksud hadis yang diriwaatkannya secara makna.
Kedelapan syarat itu, menurut ibnu Al-Asir Al-Jazari, tercakup kedalam
Islam,mukalaf, adil, dan dhabith.
Sedangkan menurut syuhudi Ismail, kedelapan syarat tadi tercakup didalam dua
karakteristik dasar, yakni adail dan dhabith..
Tampak
bahwa syarat-syarat yang ditetapkan ulama teradap periwayata yang melakukan
kegiatan periwayatan haditslebih ketat daripada persyaratan ketika menerima
hadits. Namun demikian, menurut Syuhudi Ismail, orang yang menerima hadis
paling tidak harus memenuhi dau syarat, yaitu: (1) sehat akal pikirannya, (2)
secara fisik dan mental tersebutmampu memahami dengan baikriwayat hadis yang
diterimanya.
B. Metode Periwayatan Hadits Nabi
Menurut istilah ilmu hadis, yang dilakukan periwayatan ialah
kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis serta menyadarkannya kepada rangkaian
para periwayat hadis itu dengan bentuk-bentuk tertentu. Dalam hal ini, ada tiga
unsure yang harus dipenuhi dalam meriwayatkan hadis, yaitu: (1) kegiatan
menerima hadis dari periwayatannya;(2) kegiatan menyampaikan hadis kepada orang
lain,dan (3) ketika hadis ini disampaikan kepada orang lain, disebutkan susunan
rangkaian periwayatannya.
Di dalam menyebutkan rangkaian para periwayat hadis yang
disampaikan kepada orang lain itu, terdapat kata-kata atau huruf yang dipakai
para periwayat hadis dalam rangkaian periwayat hadis yang ia riwayatkan
sekaligus menetapkan metode penerimaan dan penyampaian hadis yang terekan di
dalam kata-kata itu. Kata-kata atau huruf yang telah mereka identifikasi itu
bisa dibagi ke dalam beberapa kelompok, yakni:
Kelompok pertama adalah kata-kata: (a) sami’tu
(b) hadatsana (c) haddatsaniy (d) akhbarana (e) qala
lana dan (f) dzakara lana. Para ulama hadits telah menetapkan bahwa
apabila satu dari kata-kata tersebut dipakai oleh para periwayat dalam
rangkaian para periwayat hadis yang ia riwayatkan maka metode penerimaan dan
periwayatan hadis tersebut adalah al-sama’, yaitu seorang periwayat
menerima hadits dengan cara mendengar langsung lafal hadis dari guru hadis.
Seorang guru hadis meriwayatkan hadisnya kapada penerimanya (murid) dengan cara
mendiktekan atau memperdengarkan ucapan
hadis yang dihafail atau hadis yang telah dicatatnya.
Kelompok kedua adalah kata-kata: (a) qara’tu
‘ala fulanin (b) qara’tu ‘ala fulanin wa ana asma’u fa aqqrabahu. Para
ulama sepakat bahwa pemakaian kata-kata
ini telah menggambarkan caraperiwayatan hadis dengan metode qira’ahi,
yaitu periwayat menghadapkan riwayat hadis kepada guru dengan cara periwayat itu sendirmembacanya
atau orang lain yang membacanya dan memperdengarkan. Riwayat hadis yang
dibacakan itu dapat saja berasal dari catatan atau dafi hafalannya. Guru hadis
aktif memperdengarkan bacaan hadis yang disodorkannya itu dengan teliti dan
cermat melalui hafalan sendiri atau catatan yang dianggap peling benar. Metode
demikian, menurut ‘ajjaj al-Khatib
disebut ‘ard al-qira’ah (mendemonstrasikan bacaan).
Kelompok ketiga adalah kata-kata: (a) haddatsana
ijazatan (b) akhbarana ijazatan. Kata-kata ini menggambarkan suatu
metode penerimaan dan periwayatan hadis dengan metode ijazah, yaitu
pemberian izin oleh seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan sebuah kitab
hadis tanpa membaca hadis tersebut satu per satu.
Kelompok keempat adalah kata-kata (a) haddatsana
munawalatan wa ‘aradhan (b) iakhbarana munawalatan yang merekam suatu
penerimaan dan periwayattan hadis dengan munawalah, yaitu seorang guru
memberikan sebuah materi tertulis kepada seorang untuk meriwayatkannya.
Kelompok kelima adalah kata-kata (a) kataba ila
fulanin (b) akhbarani mukatabatan (c) akhbarana bihi kitabatan yang
melukiskan metode mukatabah, yaitu seorang ulama hadis menuliskan hadis
atau menyuruh orang lain untuk menulisknannya , kemudian memberikan kepada
orang lain yang ada dihadapannya atau tidak berada di hadapannya.
Kata akhbarana
I’lamam dipakai periwayat hadis karena menunjukan pengertian bahwa metode
yang dipakai dalam kegiatan menerima dan meriwayatkan hadis itu adalah i’lam.i’lam
berarti bahwa seorang guru memberitahukan kepada muridnya bahwa dirinya
telah menerima hadis tertentu dari periwayatnya dengan metode tertentu, namun
pemberitahuan itu tanpa disertai pernyataaan agar muridnya itu meriwayatkan
hadis yang beru diberitahukan sang guru tadi. Kata ausha ila fulanin melukiskan
pengertian kepada meted ketujuh, yaitu metode yaitu metode al-washiyah. Yakni,
seorang periwayat hadis mewasiatkan kitab hadis kepada seseorang. Wasiat itu
berupa penegasannya bahwa seorang yang diberi wasiat itu boleh meriwayatkan
hadis yang termuat dalam kitab itu. Kata wajadtu fi kitai fulanin atau qra’tu
bi- khaththi fulanin ‘an fulanin. Kata ini menunjukan bahwa metode
penerimaan dan periwayatan hadis yang ditempuh seorang hadis adalah wijadah,
yaitu seseorang seseorang menemukan
hadis atau kitab hadis yang ditulis oleh
guruhadis yang dikenal tanpa melaluias-sama’, ijazah, dan munawalah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa metode periwayatan hadis itu ialah:
(a) as-sama’, (b) qiraah (c) ijazah, (d) munawalah, (e)
mukatabah, (f) I’lam, (g) washiyah, dan (h) wijadah.
Dapat dipahami bahwa
ketika periwayat hadis melakukan kegiatan penerimaan hadis dari seorang seorang
guru hadis, sesungguhnya guru hadis itu telah melakukan periwayatan hadis. Saat
itu dai dapat saja menempuh meted qira’ah, ia sendiri membacakan atau
mendiktekan hadis, ijazah, munawalah, mukatabah, I’lam, washiyah dan sama’ (guru hadis mendengarkan bacaan
murudnya, lalu mengesahkan atau mengoreksi). Sedang satu metode yang tidak
mungkin dilakukan guru adalah wijadah. Metode ini hanya mungkin
dilakukan ooleh penerima hadis saja.
C. Bentuk Riwayat yang Disampaikan
dengan Lafal dan Makna
Bila disepakati bahwa kategori hadis
yang meliputi (1) sifat-sifat Nabi, (2) perbuatan dan akhlak akhlak Nabi, (3)
perbuatan sahabat yang didiamkan/ditolak Nabi, (4) pendapat Nabi terhadap masalah yang dihadapi sahabat,
(5) sabda Nabi yang berkenaan dengan do’a-do’a dalam ibadah , (6) hadis qudsi,
dan (7) surat-surat Nabi yang dikirimkan
kepada penguasa dan sebagainya. Maka, tampak empat point pertama diriwayatkan
dalam bentuk makna(ar-riwayah bi al-ma’na), sedang tiga point terakhir
diriwayatkan dengan lafal (ar-riwayah bi al-lafdzi).
Riwayah bi al-lafzhi adalah meriwayatkan hadis dengan
redaksi matan yang telah didengar tanpa perubahan, penambahan, dan pengurangan.
Redaksi matan itu bila diteliti sesuai dengan yang keluar daei ucapan Nabi
Muhammad. Ulama yang berpegang teguh dengan hadis Nabi: naddhara allahu
imra’am samia minna haditsan fabalaghahu kama sami’a minna fainnahu rubba muballighin
huwa au’a lahu min sami’in rawah abu dawud wa at-tirmidzi.
Disamping hadis diatas, para ulama
pendukung riwayat hadis dengan lafal juga berpegang pada dalil kisah al-bara yang menyatakan
bahwa dirinya ketika mengganti bacaan do’a tidur dengan ucapan wa nibika
dari asalnya wa rasulika didengar oleh rasulullah maka beliau
mengingatkannya. Sejak saat itu, al-bara tidak berani lagi mengulangi. Para
ulama mewajibkan periwayatan hadis dengan lafal, dan secara mutlak, mereka
tidak memenarkan riwayat dengan makna. Jadi, bila secara kukuh memegangi
pendapat itu maka periwayatan hadis hanya dapat dilakukan terhadap hadis-hadis
Nabi yang sifatnya qaulan(ucapan) saja, sedangkan hadis yang lain (misalnya fi’l dan taqrir)
tidak mungkin dapat diriwayatkan.
Karena itu, kebanyakan
ulama hadis memperbolehkan periwayatan hadis dengan makna(ar-riwayah bi
al-ma’na) dengan beberapa ketentuan sebagai berikut: (1) periwayat
benar-benar memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam, (2) periwayatan
secara makna dilakukan karena terpaksa, misalnya lupa susunan lafalnya, (3)
bukan sabda Nabi tentang bentuk bacaan ibadah, misalnya dzikir, do’a, adzan,
takbir, dan syahadat serta bukan sabda Nabi dalam bentuk jawami’ al-kalim,
(4)periwayatannya it atau yang lupa susunan lafalnya hendaknya ditambah kata aw
kama qala atau aw nahwa dzalika atau yang semakna dengan itu, (5)
diperbolehkan riwayah bi al-ma’na seperti ini hanya terbatas pada masa
sebelum dibukukannya hadis-hadis Nabi secara resmi. Sesudah masa-masa
kodifikasi hadis-hadis Nabi, periwayatan harus dilakukan secara lafzhi (lafal)
.
D. Upaya Sosialisasi Hadis
Penyabaran hadis, dalam sejarahnya, bersamaan dengan al-Qur’an
yang telah dimulai sejak awal-awal dakwah Islam yang dilakukan oleh Nabi.
Penyebaran hadis Nabi merupakan perilaku Nabi sendiri yang direkan oleh para
sahabat, kemudian dipraktikan dan
disosialisasikan di tengah-tengah kehidupan masyarakat sehari-hari. Upaya
sosialisasi hadis ini “sangat dekat” dengan beberapa hal, yaitu: pertama,
upaya Nabi menyiarkan Islam, baik secara rahasia di Dar al-Arqam bin Abdi Manaf
atau secara terang-terangan di tengah jama’ah. Keduanya, pertanyaan-pertanyaan
sahabat dalam upaya memahami dan mengamalkan Islam dimana jawaban Nabi atas
pertanyaan mereka segera tersosialisasi dalam kehidupan kaum muslimin.
Ketiga, kegiatan para sahabat yang sangat serius dalam menerima dan
menyabarkan ilmu pengetahuan dan ajaran Islam. Keempat, keberadaan
istri-istri Nabi yang secara khusus
lebih banyak dari jumlah istri yang diperbiolehkan untuk orang-orang biasa
adalah menjadi mediator tersosialisasinya hadis-hadis Nabi. Kelima, para
delegasi yang dikirim oleh rasulullah menyiarkan dan membimbing umat Islam di
daerah atau wilayah yang terpencil. Keenaam, para delegasi yang datang
kepada Nabi dari daerah-daerah tertentu dan membawa masalh-masalh tertentu.
Ketika pulang, mereka membawa hadis yang disampaikan Nabi. Ketujuh,,
penaklukan-penaklukan Nabi dan umat Islam setelahnyaterhadap kota-kota
atau wilayah kekuasaan di luar Islam. Kedelapan,
tulisan-tulisan yang mencakup hadis itu sendiri, fikih, teologi, tafsir,
dan sebagainya yang telah dilakukan dan digalakan sejak abad ke-2 hijriyah oleh
para ulama.
E. Perbedaan Pendapat dan Tanggapan
1. Sekitar Penerimaan dan Periwayatan
Hadis
Perbedaan pendapat uang
muncul diantaranya berkaitan dengan syah atau tidaknya anak-anak menerima hadis
serta jumlah periwayatannya. Menurut Ibnu al-Asir al-Jazari, periwayatan hadis
dari anak-anak sama sekali tidak syah karena dan kewajiban terhadapnya saja
belum bisa ditetapkan dan kebenaran pengakuannya bisa diterima? Akan tetapi,
apabila ana-anak hanya melakukan kegiatan penerimaan hadis maka syah saja
penerimaaan itu dengan ketentuan di saat meriwayatkannya ia sudah baligh dan mumayyis.
Ibnu al-‘Asir al-Jazari tidak menetapkan
batas minimal usia anak-anak yang syah menerima dan meriwayatkan hadis. Ia
hanya berpedoman pada kebolehan Ibnu Abbas,Ibnu Zubair, Abi Thufail, Mahmud Bin
Rabi’, dan sebagainya, menerima hadis pada masa masih anak-anak. Ulama SYam
menetapkan bahwa kegiatan penerimaan hadis (sima’) hanya syah bagi yang
sudah berusia 30 tahun,sedangkan ulama kufah menetapkan syahnya penerimaan
gahis bagi yang sudah berusia 20 tahun.
Tanggapan yang
mungkindapat diberikan adalah meskipun al-‘Asir tampak tidak menetapkan batas
minimal usia penerimaan hadis, akan tetapi bila dicermati hadis yang
menjelaskan kebolehan anak-anak sesungguhnya menjelaskan batas minimalnya,
yaitu umur 5 tahun. Disamping itu, pemberian ’sertifikat’ pada kegiatan as-sima’
oleh guru-guru hadis telah diklasifikasikan secara jelas antara hadhara(pesrta
yang hadir) dan as-sami’ (pendengar yang syah). Kategori yang pertama
adalah bagi hadirin yang berusia 5 tahun lebih. Ulama Syam dan Kufah yang telah
menetapkan batas minimal seperti tersebut diatas adalh berdasarkan kebiasaan
yang berlaku di daerahnya masing-masing bahwa anak-anak yang mereka tidak
keluar dari kampung mencari hadis sebelum sempurna berumur 20 atau 30 tahun.
Jadi, alasan demikian tidak bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan bahwa syahnya
menerima hadis itu bagi yang sudah berusia 20 atau 30.
Sebagian ulama
mensyaratkan bahwa periwayat hadis itu harus berjumlah dua orang, kemudian dari
dua orang ini harus diriwayatkan lagi oleh masing-masing dua orang, dan
seterusnya. Sementara sebagian ulama lagi mensyaratkanbagi periwayat hadis itu
harus empat orang. Kepada ulama pertama dapat diberikan tanggapan bahwa
bila pendapatnya di sepakati maka siring berjalannya waktu,
jumlah periwayat itu terus membengkak tanpa batas, dan pada akhirnya kesulitan
yang akan timbul adalah kesulitan menetapkan keaslian hadis, sebab tidak semua
orang ‘adil, dan dhabith. Tanggapan kepada pendapat kedua adalah
bahwa pada esensinya pendapa ini bertujuan memelihara keaslian hadis. Jadi,
tidaklah salah kalau misalnya sudah diketahui bahwa periwayat sangat ‘adil dan
dhabith meriwayatkan hadis meskipun seorang diri.
2. Sekitar Metode Periwayatan Hadis
Sebenarnya hamper semua
metode periwayatan hadis mendapat sorotan para ulama. Sorotan itu berkisar pada
masalah kemungkinan-kemungkinan jaminan yang diberikan masing-masing metode itu
terhadap upaya pemeliharaan hadis dari pemalsuan-pemalsuan. Metode yang
dipandang mampu mengeliminir kesalahan-kesalahan atau ketidakakuratan
penerimaan dan periwayatan hadis menduduki peringkat pertama dan seterusnya
urutan dapat ditetapkan berdasarkan tingkat kemampuan metode itu menjamin
terpeliharanya hadis dari kesalahan-kesalahan. Karenanya, sama pentingnya
dengan penelitian terhadap sanad, matan dan rawi hadis adalah penelitian terhadap
metode penerimaan dan periwayatan hadis(kayfiyatu tahammul al-hadits).
PENUTUP
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, atas
berkat rahmat allah yang maha kuasa saya dapat menyelesaikan karya tulis ini
guna memenuhi tugas Bahasa Indonesia yang diampu oleh Nur Istiqomah,S.Pdi tanpa
ada halangan suatu apapun.
Masih sangat banyak kemungkinan
materi system periwayatan hadis Nabi yang tidak termuat dalam bab ini.
Karenanya, pemikiran-pemikiran yang bersifat konstruktif dari pembaca
sangat diharapkan untuk perbaikan dan
pengembangan selanjutnya.
Semoga dengan adanya karya tulis yang
jauh dari sempurna dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan luas bagi
pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Post a Comment for "SISTEM PERIWAYATAN HADITS"