Rangkuman Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an.
Nama
: Luthfi Rosyadi
NIM
: 1631037
IQT
V
Rangkuman
Tradisi
Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an.
Orientalisme adalah tradisi kajian ketimuran dan keislaman di dunia
Barat yang telah berumur berabad-abad. Namun,karena subyek kajian ini umumnya adalah
manusia Barat maka bias ideologis, kultural dan religius tidak dapat dihindari.
Tradisi Orientalisme
Gerakan pengkajian ketimuran (oriental studies) diberi nama orientalisme
baru abad ke 18. Namun istilah orientalis muncul lebih dulu daripada istilah orientalisme.
A.J. Arberry (1905-1969) dalam kajiannya menyebutkan istilah orientalis muncul
tahun 1638, yang digunakan oleh seorang anggota gereja Timur (Yunani).
Menurutnya orientalis adalah “orang yang mendalami berbagai bahasa dan sastra
dunia timur.”
Dalam kaitannya dengan agama-agama pengertian ini dapat dipersempit
menjadi kegiatan penyelidikan para ahli ketimuran di Barat tentang agama-agama
di Timur. Sejarah ilmu orientalisme diwarnai milleu keagamaan, politik dan
keilmuan.
Motif keagamaan Barat yang di dominasi oleh Kristen memandang Islam
sebagai agama yang sejak awal menentang doktrin-doktrinnya. Thomas Wright,
penulis buku Early Christianity in Arabia, A Historical Essay 7 mensinyalir perseteruan antara Islam dan
Kristen terjadi sejak bala tentara Kristen pimpinan Abrahah menyerang Ka’bah
dua bulan sebelum Nabi lahir.
Selanjutnya, orientalisme lahir dari milleu politik dimana Islam dianggap
sebagai ancaman besar bagi kekuasaan politik dan agama mereka. Namun, di sisi
lain, meski Islam-Barat mengalami suasana perseturuan politik yang hebat, hubungan
keilmuan antara keduanya sangat erat.
Nama bidang kajian orientalisme baru diberikan pada abad ke 18. Oleh
sebab itu fase perkembangan orientalisme dibagi menjadi empat : Fase pertama,
dimulai pada abad ke enambelas (abad 16). Pada fase ini orientalisme dapat
dikatakan sebagai simbol gerakan anti-Islam yang dimotori oleh Yahudi dan
Kristen.
Fase kedua, orientalisme terjadi pada abad ke 17 dan 18 M. Fase kedua
ini adalah fase penting orientalisme, sebab ia merupakan gerakan yang bersamaan
dengan modernisasi Barat. Meskipun Barat memerlukan Islam, tapi api perseteruan
masih tetap membara. Maka dari itu selain mengumpulkan informasi tentang Timur
mereka juga menyebarkan informasi negatif tentang Timur kepada masyarakat
Barat.
Fase ketiga, orientalisme adalah abad ke 19 dan seperempat pertama
abad ke 20. Fase ini adalah fase orientalisme terpenting baik bagi Muslim
maupun bagi orientalis sendiri. Sebab pada fase ini Barat telah benar-benar
menguasai negara-negara Islam secara politik, militer, kultural dan ekonomi.
Fase keempat, orientalisme ditandai dengan adanya Perang Dunia ke
II. Khusus di Amerika, Islam dan ummat Islam menjadi obyek kajian yang populer.
Kajian itu bukan saja dilakukan untuk kepentingan akademis, tapi juga untuk
kepentingan kebijakan politik dan juga bisnis. Sekali lagi pada fase ini kajian
orientalisme berubah lagi, dari sentimen keagamaan yang vulgar menjadi lebih lembut.
Objektivitas Orientalis
Mulanya para orientalis itu hanyalah sebuah circle yang
memiliki semangat anti-Islam, dalam perkembangannya nuansa anti-Islamnya lalu
dikurangi dan diganti dengan pendekatan yang menggunakan logika, pengetahuan
dan argumentasi. Meskipun demikian tujuan orientalisme adalah tetap sama.
Jadi, kajian orientalis yang dianggap objektif dan ilmiah itu sangat
mungkin untuk terjerumus dalam kesalahan. Cara pandang mereka terhadap Nabi,
al-Qur’an dan Islam sebagai agama masih tidak bisa lepas bebas dari pengaruh
orientalis periode awal yang diwarnai permusuhan dan oleh pengalaman manusia
Barat. Artinya orientalisme sebagai ilmu itu tidak bebas nilai.
Framework Studi al-Qur’an Orientalis
Pengaruh worldview Barat terhadap framework kajian orientalis nampak
dalam kajian mereka terhadap al-Qur’an. Karena terpengaruh oleh worldview dan
nilai-nilai Barat, maka dalam mengkaji al-Qur’an para orientalis hanya
menggunakan pendekatan dan metode penelitian ilmu-ilmu sosial yang mereka miliki.
Sebagai konsekuensi dari pendekatan tersebut maka masalah-masalah yang mereka
jadikan topik bahasan disesuaikan dengan metode tersebut. Berikut ini
dipaparkan beberapa model kajian orientalis yang berdasarkan framework mereka
sendiri.
1.
Mengaitkan
dengan Teks terdahulu.
2.
Mengutamakan
Rasm dari Riwayah.
3.
Menyoal
Pembentukan Mushaf.
4.
Mempersoalkan
Kandungan al-Qur’an.
5.
Menggunakan
Metodologi Bibel.
5.
Penutup
Bahwa pemahaman orientalis terhadap Islam didorong oleh motif-motif
tertentu yang penuh dengan kepentingan Barat. Metodologi yang tidak sesuai untuk
mengkaji al-Qur’an akan menggiring kesimpulan yang justru bertentangan dengan
esensi al-Qur’an sendiri. Alasan lainnya alQur’an telah memiliki metodologi
tersendiri. Metodologi kajian alQur’an yang diwarisi dari para ulama itu adalah
‘ulum al-Qur’an. Jika metodologi Bibel diterapkan dalam kajian al-Qur’an sudah
tentu metode tafsir al-Qur’an juga dapat diterapkan dalam kajian Bibel. Jika
kajian al-Qur’an diterapkan ke dalam kajian teks Bible, tentu Bibel menjadi
tidak berarti apa-apa.
Jika teks Bibel bisa disamakan dengan teks-teks lain yang dikarang
oleh manusia, maka al-Qur’an tidak demikian, karena ia adalah tanzil yang tidak
bisa disamakan dengan teks karangan manusia. Bahkan anggapan sementara orang
bahwa al-Qur’an telah tercampur oleh perkataan Nabi Muhammad telah terbantah oleh
firman Allah SWT yang artinya: “Seandainya dia (Muhammad) mengadakan
sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan
kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya”. Allah
juga berfirman yang artinya : “Dan tiadalah yang diucapkannya itu
(al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan (kepadanya).”
Post a Comment for "Rangkuman Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an."