MAKALAH GHARAIB DALAM AL-QUR’AN
MAKALAH
GHARAIB DALAM
AL-QUR’AN
Makalah
ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an III
pada
semester III
Dosen
Pembimbing : Nihayatul Husna M.S.I
Disusun oleh:
Muhammad Mu’tiq Rosyadi (1631049)
FAKULTAS USHULUDIN SYARIAH DAN DAKWAH
PRODI ILMU
AL-QUR’AN DAN TAFSIR
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
KEBUMEN
2017
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa pelajaran dari Allah yang dikemas
dengan berbagai model yang unik dan indah bahkan ada yang sangking uniknya
manusia tidak dapat memahaminya secara langsung tapi harus melalui proses yang
sangat panjang dan ketelitian yang tajam, sebagai contoh ayat Gharaib
Al-Qur’an.
Gharaib Al-Qur’an bukanlah ayat yang biasa digunakan dalam Al-Qur’an, bukan
lafadznya melainkan makna yang terkandung dalam sebuah ayat tersebut. Hal ini
mengakibatkan munculnya rasa penasaran bagi orang Islam (khususnya) dan non
muslim (umumnya). Seakan-akan di dalam Al-Qur’an terdapat kerancuan makna dan
kata yang tidak cocok bila digabungkan dengan kalimat yang lain, padahal
Al-Qur’an adalah pedoman dan tuntunan hidup bagi seluruh makhluk-Nya.
Rasa penasaran dan kehausan ilmu ini digunakan sebagai senjata yang ampuh
oleh Al-Qur’an, sebab tabi’at manusia menyukai suatu hal yang baru dan unik. Sifat
ini dimanfaatkan oleh penyebaran agama Islam dengan menampilkan sebuah ayat
yang sulit dipahami dan unik agar lebih seksama dalam memahami Al-Qur’an.
Mengkaji Al-Qur’an secara ilmiah dan mendalam sangatlah perlu dan penting
dengan tujuan agar terhindar dari pemahaman yang keliru. Kondisi
ayat yang Gharaib
mengundang perhatian bagi ulama tafsir kuno di masanya. Mereka menafsirkannya
dengan seksama dengan cara riwayat dari sahabat ini dan dari sahabat ini dan
dikumpulkan dalam bentuk sebuah buku. Namun sanyangnya buku tersebut kebanyakan
bukan membahas bagaimana cara menafsirkan ayat yang Gharaib tapi mereka
hanya menafsirkan ayat tersebut saja, bukan membahasnya.
Terdapat hadits Nabi
dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al
Baihaqi
اَعْـرِبُوا
القـُرْآنَ وَ الـْتـَمِـسُـوْا غـَرَائِـبَـهُ
“Terangkanlah makna-makna yang
terkandung di dalam al qur’an dan carilah pengertian kata-kata yang sukar”
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
pengertian Gharaib dalam Al-Qur’an?
2. Bagaimana cara
menafsirkan ayat yang Gharaib?
3. Bagaimana
contoh Gharaib dalam Al-Qur’an?
4. Apa saja
hikmah mempelajari Gharaib?
3.
Tujuan
1. Mengetahui
pengertian Gharaib dalam Al-Qur’an.
2. Mengetahui
cara menafsirkan ayat yang Gharaib.
3. Mengetahui
contoh Gharaib dalam Al-Qur’an.
4. Mengetahui
hikmah dari mempelajari Gharaib.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Gharaib dalam Al-Qur’an
Lafadz gharaib berasal dari bahasa arab, yakni
bentuk jamak dari Gharibah yang berarti asing atau sulit pengertiannya. Apabila
dihubungkan dengan Al-Qur’an
maka yang dimaksud adalah ayat-ayat Al-Qur’an
yang sukar pemahamannya sehingga hampir-hampir tidak dapat dimengerti seperti
kata أباdalam ayat 31 dari
surat ‘Abasa (وفاكهة و أبا).
Hal ini bukanlah hal yang baru, pernah terjadi pada masa Nabi SAW dengan periwayatan
dari Anas sesungguhnya Umar bin Khattab RA membaca ayatوفاكهة
و أباdiatas mimbar, lalu beliau
berkata “Adapun buah (fakihah) telah kita ketahui, sedang apa yang
dimaksud dengan al abba?” lalu beliau berfikir, kemudian beliau mengembalikan
pada dirinya sendiri dan ada yang berkata “hal ini terlalu berberat diri wahai
Umar”. Beliau tidak mengetahui makna dari kata “al abba”, padahal beliau adalah
orang arab yang ahli dalam bidang sastra arab dan yang memiliki bahasa yang
paling fasih serta Al-Qur’an diturunkan kepada manusia dengan menggunakan
bahasanya.
Dari peristiwa diatas dapat kita ketahui bahwa GharibAl-Qur’an bukanlah hal
yang baru, dan memang suatu hal yang sangat sulit dipahami langsung, bahkan
Ulama tedahulu tidak mau memberi makna apalagi menafsiri ayat yang sulit
dipahami mereka lebih memilih untuk memauqufkannya dan tidak berpendapat
sedikitpun, karena keterhati-hatiannya. Seperti ungkapannya shahabat Abu Bakar
RA saat ditanya tentang firman Allah yang berbunyi وفاكهة
و أبا, beliau berkata “ di langit mana aku berteduh dan di bumi mana
aku tinggal, jika aku berkata sesuatu di dalam al qur’an yang aku tidak
mengetahuinya”.
Menurut Abu Sulaiman al
Khatthabi : GharibAl-Qur’anadalah suatu hal yang samar dan
jauh dari kepahaman. Beliau membagi GharibAl-Qur’an menjadi dua, yang pertama adalah hal yang jauh
makananya serta samar, yang hanya dapat dipahami setelah melalui proses
pemikiran yang dalam. Yang kedua adalah perkataan seseorang yang rumahnya jauh
dari kabilah arab sehingga jika kalimat tersebut diungkapkan kepada kita (orang
arab) maka otomatis kita langsung menganggapnya aneh.
Sedangkan menurut Muchotob HamzahGharibAl-Qur’an adalah Ilmu Al-Qur’an yang
membahas mengenai arti kata dari kata-kata yang ganjil dalam Al-Qur’an yang
tidak biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Dari ketiga definisi, dapat kita simpulkan bahwa GharibAl-Qur’an adalah
ilmu yang membahas suatu makna kata dari ayat Al-Qur’an yang dianggap aneh
(tidak cocok) dan sulit dipahami.
Orang yang pertama kali
membahas GharibAl-Qur’anadalah
Abdullah bin Abbas sebelum terjadi perang dunia ke-2. Pendapat ini bertendensi
pada naskah yang ditemukan di berlin, namun pendapat ini dibantah oleh Dr.
Husain Nashar: buku ini adalah kumpulan pendapat yang dilontarkan oleh Abdullah
bin Abbas bukan beliau yang membukukannya tapi para muridnyalah yang
membukukannya,sebagai landasan pendapat ini ada salah seorang dari
penerjemahnya Abdullah bin Abbas tidak menisbatkan kitab seperti ini kepada
beliau.
2.
Cara
menafsirkan ayat yang Gharaib
Permasalahan ini
menjadi persoalan yang sangat rumit, khususnya setelah Nabi SAW. wafat, sebab
saat beliau masih hidup semua permasalahan yang timbul langsung ditanyakan
kepadanya. Tentu tidak semua persoalan sosial dan kemasyarakatan serta
keagamaan muncul saat beliau masih hidup karena umur beliau relatif singkat,
sementara pesoalan kemasyarakatan tersebut berkembang sejalan dengan
perkembangan masyarakat itu sendiri.
Namun Rasulullah
sebelum wafat telah meninggalkan dua pusaka yang sangat ampuh dan mujarab serta
berharga, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul. Nabi menjamin barang siapa yang
berpedoman kepada keduanya niscaya dia tidak akan sesat selama-lamanya.
تـَرَكـْتُ
فِـيْكُـمْ شَـيْـئَـيْـنِ لَنْ تـَضِـلُّـوْا بـَعْـدَهُـمَا كِـتـَابَ اللهِ وَ
سُـنَّـتِى
“Aku meninggalkan dua perkara pada diri
kalian yang kalian tidak akan tersesat setelahnya yaitu Kitab Allah dan
Sunnahku”.
Hadits ini dikuatkan
oleh firman Allah yang tertera pada surat An Nisaayat 59:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil
Amri (pemimpin) di antara kamu. Kemudian
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah persoalan
tersebut kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Secara teoritis kembali kepada Al-Qur’an dan hadits boleh dikatakan tidak ada masalah,
tetapi problema muncul lagi dan terasa memberatkan pikiran ketika teori itu
diterapkan untuk memecahkan berbagai kasus yang terjadi di masyarakat. Oleh
karena hal itu cara yang digunakan oleh Ulama dalam memahami Gharib Al-Qur’an (dan
ini disebut juga “Ahsana Al Thuruq” oleh sebagian Ulama) adalah sebagi
berikut :
a.
Menafsirkan Al-Qur’andengan Al-Qur’an.
Contoh surat Al An’am ayat 82,Kata ظلمdalam ayat tersebut jika diartikan secara tekstual maka
terasa membawa pemahaman yang asing dan tidak cocok dengan kenyataan sebab
hampir tidak ditemukan orang-orang yang beriman yang tidak pernah melakukan
perbuatan dzalim sama sekali. Jika begitu maka tidak ada orang
mukmin yang hidupnya tentram dan tidak akan mendapat petunjuk.
Oleh karena itu sahabat bertanya kepada Rasulullah, lalu Rasul menafsirkan
kata dzulmun dengan syirik berdasarkan pada surat Luqman ayat 13,
“Dan
(Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar".
Dari penjelasan Nabi
diatas dapat diketahui bahwa kata dzulmun
dalam surat Al
An’am berarti syirk bukan kedzaliman biasa, dengan penjelasan itu selesailah
persoalannya. Dan berdasarkan penjelasan Nabi itulah maka surat Al An’am ayat 82 diterjemahkan sebagai
berikut “orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kedzaliman (syirik) mereka itulah yang mendapatkan keamanan dan mereka adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk”.
b. Menafsirkan
Al-Qur’andengan Sunnah Rasul.
As-Sunnah adalah penjelas dari Al-Qur’an, dimana Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa semua
hukum (ketetapan) Rasulullah berasal dari Allah. Oleh karena itu Rasulullah
bersabda
أَلاَ إنِّي أُوْتِيْتُ القُرآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ يَعْنِي السُنَّة
“Ketahuilah bahwa telah diberikan
kepadaku Al-Qur’an
dan
bersamanya pula sesuatu yang serupa dengannya” yaitu Sunnah.
c.
Jika tidak ditemukan di dalam hadits
maka dicari dalam atsar (pendapat) sahabat.
Pendapat para sahabat
lebih akurat dari pada lainnya dikarenakan mereka telah berkumpul dengan
Rasulullah dan mereka telah meminum air pertolongan beliau yang bersih. Mereka
menyaksikan wahyu dan turunnya, mereka tahu asbabun nuzul dari sebuah ayat
maupun surat dari Al-Qur’an,
mereka mempunyai kesucian jiwa, keselamatan fitrah dan keunggulan dalam hal
memahami secara benar dan selamat terhadap kalam Allah SWTbahkan menjadikan
mereka mampu menemukan rahasia-rahasia al qur’an lebih banyak dibanding
siapapun orangnya.
d. Jika masih belum didapati pemecahannya maka sebagian
ulama memeriksa pendapat tabi’in.
Diantara tabi’In ada yang menerima seluruh penafsiran dari sahabat, namun
tidak jarang mereka juga berbicara tentang tafsir ini dengan istinbat
(penyimpulan) dan istidlal (penalaran dalil) sendiri. Tetapi
yang harus menjadi pegangan dalam hal ini adalah penukilan yang shohih.
e.
Melalui sya’ir.
Walaupun sebagian besar ulama nahwu mengingkari cara yang kelima ini dalam
menafsirkan ayat yang gharib namun cobalah kita melepaskan diri dari perbedaan
itu dan melihat penjelasan dari Abu Bakar Ibnu Anbari yang berkata “telah banyak
riwayat yang menyebutkan bahwa sahabat dan tabi’in berhujjah dengan sya’ir-sya’ir
dengan kata-kata yang asing bagi Al-Qur’andan yang musykil (yang sulit)”.
Sy’air-sya’ir itu bukanlah dijadikan sebagi dasar Al-Qur’anuntuk berhujjah
melainkan dijadikan sebagai penjelas dari huruf-huruf asing yang ada di Al-Qur’an,
karena Allah berfirman dalam surat Az -Zukhruf ayat 3:
“Sesungguhnya
Kami menjadikan al qur’an dalam bahasa arab”.
Sya’ir-sya’ir itu sebagai perbendaharaan bangsa Arab. Jika salah satu huruf dalam Al-Qur’antidak diketahui dalam bahsa arab
maka dikembalikan pada perbendaharaan mereka (bangsa Arab), dan dicari maknanya.
Ibnu Abbas berkata “ jika kalian bertanya kepadaku tentang sebuah kata
asing di dalam Al-Qur’anmaka carilah maknanya pada sya’ir-sya’ir. Sesungguhnya
syair-syair itu adalah perbendaharaan bangsa arab”.
Contoh: ketika
Ibnu Abbas sedang duduk-duduk di halaman ka’bah, dia dikelilingi oleh
sekelompok kaum dan bertanya kepadanya tentang penafsiran beberapa ayat,
diantaranya mereka bertanya tentang tafsir ayat وابتغو
اليه الوسيلةyang ada pada surat
Al Maidah ayat 35. Kata الوسيلة
diartikan oleh Ibnu Abbas dengan “kebutuhan” , kemudian dia mengambil dasar
dari sya’ir yang dikatakan oleh Antarah yang berbunyi:
ان
الرجال لهم اليك وسيلة ان يأخذوك تكحاي
و تخضبي
Sesungguhnya para laki-laki itu
membutuhkanmu. Jika
mereka hendak mengambilmu,
maka
pakailah celak dan semir.
3.
Contoh
Gharaib dalam Al-Qur’an
1. Lafadzفاطرdalam Surat Fathir ayat 1 dan Surat Al An’am ayat 14.
Ibnu Abbas RA berkata, ”Dahulu saya tidak mengerti makna (faathiru
al-samaawaati wa al-ardh), Hingga dua orang badui menemui saya dan keduanya
berselisih perihal sebuah sumur. Salah seorang berkata kepada temannya,“Ana
fathartuha”, yakni “Ana abtada’tuha hafraha (Aku yang memulai
menggali dan membuatnya)” Ibnu Abbas RA juga berkata faathiru al-samaawaati
wa al-ardhartinya badii’ual-samaawaati wa al-ardh (Pencipta pertama
langit dan bumi), atau dalam riwayat lain disebutkan khaliqu al-samawati wa
al-ardhi (Pencipta langit dan bumi dari suatu ketiaadaan).Di dalam tafsir
Al-Maraghi lafadzfaathir berasal dari faathara asy-syaian yakni
“mengadakan sesuatu tanpa contoh sebelumnya”.
Keghariban lafadz ini terletak pada maknanya, dalam pembicaraan sehari-hari,
fathara diartikandengan makna membelah,seperti pada ayat “idzaa
al-samaainfatharat”.Namun pada ayat ini kata fathara
mengandung arti menciptakan.
2. Lafadzحناناdi dalam surat Maryam ayat
13.
Lafadz ini asing dalam pembicaraan orang-orang Arab, Ibnu
Abbas RA tidak mengetahui apa maksud dari kata tersebut.
Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dari Sa’id bin Jubair,
sesungguhnya Ia ditanya tentang firman Allah: wa hanaanan min ladunna
maka ia menjawab, “Aku telah menanyakannya kepada Ibnu Abbas, namun Ia tidak
menjawab apapun.”
Dikeluarkan dari jalur Ikrimah dari Ibnu Abbas,Iia
berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu apa itu hanaanan.”
Diriwayatkan oleh al-Firyabi dari Isra’il dari Simak bin
Harbi dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, Ia berkata, “Aku mengetahui semua yang ada
dalam Al-Quran kecuali empat hal: ghislin, wa hanaanan, awwah, dan arraqiim.”
Keghariban lafadz ini terletak pada asingnya penggunaan
kata tersebut dalam pembicaraan orang Arab sehari-hari. Adapun
penafsiran para mufassir dalam mengartikan lafadzhanananadalah sebagai
berikut:
Dalam Tafsir Ath-Thabari sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu
Katsir dalam tafsir beliau, Ali bin Abi Thalhah menuturkan dari Ibnu Abbas, Ia
mengatakan, wa hanaanan min ladunna yakni rahmat dari sisi Kami.”
Dalam sebuah riwayat yang panjang, Nafi’ bin Azraq
menanyakan kepada Ibnu Abbas perihal lafadzhananan tersebut apakah dikenal
oleh bangsa Arab sebelumnya? Beliau menjawab, “Ya. Tidakkah kamu mendengar
Tharfah bin Abd berkata:
ابا مُنْذِرٍ
اَفْنَيْتَ فَاسْتَبْقِ بَعْضَنَا حَنَانَيْكَ
بَعْضُ الشَّرِّ اَهْوَنُ مِنْ بَعْض
Hai Abu Mundzir, kamu
telah menghabiskan! Sisakan sebagian untuk kami.
Dua kasih sayangmu,
sebagian kejahatan lebih ringan daripada yang lain.
Selain pengertian di atas, para mufassir juga menafsirkan
kata tersebut dengan makna lain, namun semuanya masih saling berdekatan.
Mujahid mengatakan maknanya adalah tha’attufan min
rabbihi‘alaihi (perlakuan lemah lembut dari Tuhannya).
Ibnu Zaid berkata maknanya adalah mahabbah‘alaihi
(rasa cinta terhadapnya).
Atha’ bin Abi
Rabah mengatakan maknanya adalah ta’zhiman min ladunna(kemuliaan dari
sisi kami).
4.
Hikmah
dari mempelajari Gharaib
Dari penjelasan di atas
dapatlah kita mengambil hikmah dan mengetahui faedahnya, diantaranya adalah:
·
Mengundang tumbuhnya penalaran ilmiyyah,
artinya
memahami ayat yang sulit pemahamannya akan melahirkan berbagi usaha untuk
memecahkannya dengan cara memperhatikan pemakaiannya dalam bahasa arab seperti
sya’ir dan sebagainya. Dalam hal ini tentu banyak membutuhkan
pemikiran yang rasional dari pada emosional.
·
Mengambil perhatian umat,
artinya sesuatu yang asing, aneh dan
tidak seperti biasanya akan selalu menjadi pusat perhatian. Seseorang akan
merasa penasaran dan ingin mengetahuinya, sebab manusia diciptakan dengan tabi’at senang terhadap hal-hal yang baru.
Ini adalah salah satu cara berdakwah, setelah tertarik maka dimaksukkan tujuan
bedakwah itu sendiri.
·
Memperoleh keyakinan terhadap eksistensi
Al-Qur’an sebagai kalam Allah.
Dengan
diketahui maksud yang terkandung dalam ayat-ayat gharib, maka akan diperoleh
suatu pemahaman yang mendalam dan terasa betapa tingginya bahasa yang dibawa
oleh Al-Qur’an, baik lafadz maupun maknanya.Dengan demikian
diketahui bahwa Al-Qur’an
bukanlah dari makhluk Allah, melainkan dzat yang menciptakannya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Gharib
Al-Qur’an adalah ilmu yang membahas suatu makna kata dari ayat Al-Qur’an yang
dianggap aneh (tidak cocok) dan sulit dipahami. Dalam Al-Qur’an terdapat
beberapa lafadz yang gharib. Hal itu terjadi karena betapa luasnya kosa kata
bahasa arab. Walaupun dari kalangan orang Arab asli, dan memiliki ilmu yang
mumpuni, terkadang juga tidak dapat memahani langsung arti secara tekstualis.
Untuk memahami lafadz-lafadz yang gharib, terdapat beberapa langkah-langkah
yang bisa ditempuh untuk menemukan makna, sesuai dengan pemaparan di atas.
Dari bebrapa
lafadz yang gharib, penulis mengambil dua contoh ayat. Yaitu lafadz فاطرdalam surat Fathir ayat 1dan lafadz حناناdalam surat Maryam ayat 13. Keduanya memiliki makna yang tidak lazim. Sehingga
kita perlu mencari makna yang dimaksud dari keduanya.
Adapun hikmah dari kita
mempelajari ilmu gharaib adalah kita mampu mengetahui ayat mana yang termasuk
gharib dan bagaimana cara untuk menentukan makna yang sesuai dengan konteks
ayat tersebut. Dengan kita memahami bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat
yang gharib, ini membuktikan akan keabsahan Al-Qur’an. Al-Qur’an memang
benar-benar diciptakan oleh Sang Khaliq. Dan kita sebagai makhluk dianjurkan
untuk belajar memahami kitab yang dijadikan sebagai penyempurna kitab
sebelumnya, serta dijadikan pedoman dalam hidup untuk mencapai kehidupan yang
bahagia baik di dunia maupun di akhirat, yaitu Al-Qur’an Al Karim.
B.
Kritik
dan Saran
Demikian yang dapat penulis sajikan, mungkin banyak kesalahan atau kekeliruan dalam
menulis karena ini semua jauh dari kesempurnaan penulis. Penulis mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca agar penulis bisa
memperbaiki makalah ini menjadi lebih baik. Dan semoga makalah ini bisa bermanfaat
bagi kita semua. Amiin.
DAFTAR
PUSTAKA
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan
fi Ulumi al-Quran. (Beirut: Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyyah, tt)
Ibnu Katsir, Shahih
Tafsir Ibnu Katsir terj. Tim Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta: Penerbit Ibnu
Katsir, 2011)
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir
al-Maraghi terj. Bahrun Abubakar dkk., (Semarang: PT. Karya Toha Putra,
1992)
Manna Khalil al Qattan, Mabahitsi fi Ulumil Qur’an, diterjemahkan
oleh Drs Mudzakir AS, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Bogor, PT Pustaka Litera
Antar Nusa,Cet. I, 1992)
Post a Comment for "MAKALAH GHARAIB DALAM AL-QUR’AN"