MAKALAH INTERTEKSTUALITAS AL-QUR'AN
Intertekstualitas Al-Qur’an
Dosen Pembimbing : Wahyuni Shifaturrahma M.S.I
Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas idividual pada mata kuliah Antropologi Tafsir di Semester V
Disusun Oleh :
Muhamad Samsul Jamaludin
(1631048)
Fakultas Ushuludin Dakwah dan Syariah
Progam Studi Ilmu Alqur’an dan Tafsir
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
2018
KATA PENGANTAR
Alhamdulillaahhirobbil’alamiin. Puji syukur kamI ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memeberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami, sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul “ Intertekstualitas Al-Qur’an “ ini yang alhamdulillaah tepat pada waktunya. Dan tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Wahyuni Shifaturrohma M.S.I selaku dosen pembimbing mata kuliah Antropologi Tafsir Agama di IAINU Kebumen yang membimbing kami dalam mengerjakan makalah ini. Dan juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang membantu dalam hal mengumpulkan materi-materi yang ada dalam makalah ini. Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Penelitian Sosial Agama.
Dalam makalah ini, kami menjelaskan tentang isu isu yang ada dalam penelitian sosial agama menurut kementrian agama dan lembaga studi sosial. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, mohon kritik dan saran dari rekan-rekan maupun dosen demi tercapainya makalah yang sempurna.
Kebumen, 11 Desember 2018
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Kata Pengantar
Dalam perspektif sejarah, Islam bukanlah agama pertama yang berimplikasi bahwa mushaf al-Qur’an bukanlah mushaf kitab suci yang pertama. Al-Qur’an berada dalam lintasan pewahyuan Kitab Suci lainnya yang berada pada masa yang di sebut Angelica Neuwirth, Barbara Finster, dan penekun kajian historis kritis lainnya dengan masa late antiquity. Selain masa late antiquity, al-Qur’an juga berhubungan dengan kitab suci yang berada pada masa sebelumnya yakni “classical antiquity”. Late antiquity merupakan istilah yang dipakai oleh pakar sejarah dalam menentukan titik transisi periodesasi (frame time) dari masa akhir classical antiquity menuju permulaan masa middle age. Para pakar sejarah berbeda pendapat mengenai tahun pasti yang yang dapat dijadikan batasan masa late antiquity. Peter Brown berpendapat masa late antiquity terjadi pada antara abad kedua dan kedelapan masehi. Hal tersebut ia perjelas melalui karyanya The World of Late Antiquity : AD 150 – 750.
Dengan mengacu pada pembagian waktu ini, kajian terhadap al-Qur’an dapat dikaitkan dengan intertekstualiti studies. Studi tentang al-Qur’ann tidak hanya terbatas pada kritik internal dan eksternal al-Qur’an, namun menyeberanginya dengan melakukan komparasi atas kitab-kitab lainnya yang berada di luar tradisi Islam. Dengan kemungkinan studi intertekstualitas tersebut, upaya komparasi antara al-Qur’an tidak terbatas dengan kitab lainnya yang semasa. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini penulis berusaha memaparkan tentang Intertekstualitas Al-Qur’an, semoga bermanfaat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah Intertekstualitas Al-Qur’an?
2. Apa Pengertian Intertekstualitas Al-Qur’an?
3. Bagaimana Intertekstualitas Al-Quran dengan syair-syair jahiliy?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui sejarah Intertekstualitas Al-Qur’an
2. Untuk mengetahui Pengertian Intertekstualitas Al-Qur’an
3. Untuk mengetahui Intertekstualitas Al-Quran dengan syair-syair jahiliy
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Kajian Intertekstualitas Alquran
Pada kurun tahun 1980-an, kajian sarjana Barat terhadap al-Qur’an menemukan kekuatan baru daripada sebelumnya. Stefan Wild, Issa J. Boulatta, Jane Dammen Auckliffe dan Angelika Neuwirth mengubah tradisi kajian Sarjana Barat yang bersifat skeptis, apologetis, dan polemis menuju pola akademisdialogis. Menurut mereka, bukan saatnya sekarang kajian al-Qur’an hanya berkutat pada persoalan orisinalitas dan historisitas al-Qur’an. Karena itu, karya-karya mereka yang muncul menandai pergeseran paradigm sarjana Barat terhadap kajian al-Qur’an.
Angelika Neuwirth telah memperkenalkan pendekatan baru yang disebut intertektualitas (intertextuality). Kajian ini dikenalkan oleh Julia Kristeva sebagai pengembangan dari teori sastra dialogisme pendahulunya, yakni Mikhail Bakhtin, seorang pemikir Rusia.
Dalam praktiknya, intertekstualitas mewakili sudut pandang yang berbeda. Temuan terhadap sesuatu yang berbeda menjadi karakter menonjol dari penggunaan intertektualitas oleh Angelika Neuwirth. Meskipun, kajian al-Qur’an yang dilakukan oleh generasi sebelumnya justru melihat kesamaan bahkan dalam tingkat yang berlebihan dinyatakan sebagai memesis (tiruan) kitab sebelumnya. Meskipun semangatnya sama, intertekstualitas tidak diabdikan untuk mendemigrasikan kitab suci lain sebagai kalah oleh yang lain.
B. Pengertian Intertekstualitas Alquran
Umberto Eco (1979:7) mendefinisikan semiotika intertekstualitas sebagai kajian tentang segala sesuatu yang dianggap sebagai tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili atau menambah dimensi yang berbeda pada sesuatu yang lain, dengan segala macam yang dapat mengartikan sesuatu hal lainnya (Berger, 2000:1). Bahasa sebagai suatu tanda, karena ia mewakili sesuatu yang lain, misalnya kata “meja” merupakan tanda karena mewakili “suatu benda” yang ada di dalam realitas. Sesuatu yang diwakili itu tidak harus konkrit, dapat juga sesuatu yang abstrak, seperti keadilan, ketulusan, dan sebagainya. Dengan kata lain, intertekstualitas merupakan pelintasan tanda dari suatu sistem tanda ke sistem tanda yang lain.
Jadi arti intertekstualitas Al-quran ialah kajian tentang segala sesuatu yang berasal dari linguistic Al-quran yang dianggap sebagai tanda guna mewakili atau menambah dimensi yang berbeda pada sesuatu yang lain, dengan segala macam yang dapat mengartikan sesuatu hal lainnya yang bersumber dari teks Al-qur’an.
Di dalam perkembangan semiotika, intertekstualitas Al-quran tidak dapat dilepaskan dari dua paham (baca: filsafat) yang saling bertentangan, yaitu strukturalisme dan post-strukturalisme. Strukturalisme adalah suatu cara berpikir tentang dunia yang secara khusus memperhatikan persepsi dan deskripsi mengenai struktur (Hawkes, 2003: 6, Budiman, 1999:111-112). Strukturalisme menjadi terkemuka berkat adanya aplikasi linguistik Saussurean untuk mengkaji fenomena seperti mitos, ritual, relasi-relasi kekerabatan, dan sebagainya. Fenomena-fenomena ini dapat dipahami sebagai sistem penandaan, dan dengan begitu, terbuka dianalisis secara linguistik (Budiman, 1999: 112). Strukturalisme dapat diidentifikasi dengan beberapa prinsip salah satunya adalah prinsip imanensi (kehadiran), di mana seorang strukturalis menganalsis struktur di dalam sebuah sistem (Nöth, 1995:295). Sistem itu sangat tertutup dari dunia di sekitarnya. Dalam pengertian ini, teks sebagai suatu sistem hanya dikaji dengan menganalisis unsur-unsur (signifier-signified) di dalam sistem (teks) itu sendiri.
Hal inilah yang ditentang oleh paham post-strukturalisme (mengandung pengertian kritik maupun penyerapan. Menyerap berbagai aspek linguistik struktural sambil menjadikannya sebagai kritik yang dianggap mampu melampaui strukturalisme. Sigkatnya, post-strukturalisme menolak ide tentang struktur stabil yang melandasi makna melalui pasanan biner (hitam-putih, baik-buruk), yang salah satu pengikutnya ialah Julia Kristeva. Ia berpendapat bahwa tiap teks dan setiap bacaan tergantung pada kode-kode (yang ada di dalam teks-teks dan bacaan) sebelumnya (Chandler, 2002: 195). Suatu teks atau karya dibuat dalam ruang dan waktu yang konkrit. Oleh sebab itu mesti ada relasi-relasi antara suatu teks atau karya dengan teks atau karya lainnya dalam ruang, dan dengan teks dan karya lain sebelumnya dalam suatu garis waktu. Dengan demikian, suatu teks atau karya tidak berdiri sendiri (otonom). Ide Kristeva ini dikenal dengan teori “intertekstualitas” (Piliang, 2003, 133).
Teori ini sebenarnya merupakan pengembangan Kristeva dari teori sastra “dialogisme” yang dicetuskan Mikhail Bakhtin, seorang pemikir berkebangsaan Rusia. Ia mengatakan bahwa teks sastra merupakan mosaik kutipan dari banyak teks, membentuk struktur dialogis serta struktur yang beragam suara (makna) (Nöth, 1995:323). Walau ia hidup di awal abad ke-20, namun pemikiran-pemikirannya sangat mempengaruhi filsafat post-strukturalisme, terutama yang berkaitan dengan produksi teks (Piliang, 2003, 133). Dalam pandangan Kristeva, intertektualitas merupakan proses linguistik dan proses diskursif. Dengan kata lain intertektualitas merupakan pelintasan dari suatu sistem tanda ke sistem tanda lainnya. Kristeva menggunakan istilah “transposisi” untuk menjelaskan pelintansan ini, yang di sepanjang pelintasan tersebut satu ata beberapa sistem tanda digunakan untuk merusak satu atau beberapa sistem tanda sebelumnya. Perusakan ini misalnya dapat berupa penghapusan bagian dari sistem tanda yang menjadi referensi, dan menggantinya dengan sistem tanda baru. Perusakan ini bisa juga semata, mencoret, menyilang, bagian dari sistem tanda teks referensi. Atau bisa juga hanya mengubah, mendistorsi atau mempermainkan tanda dengan tujuan kritis sinisme, atau sekedar lelucon (Piliang, 2003, 136)..
Dalam proses transposisi menuju sistem pertandaan baru, menurut Kristeva, sistem pertandaan referensi dan sistem pertandaan baru bisa saja menggunakan material yang sama; atau di lain pihak material tersebut dapat dipinjam dari sumber-sumber yang berbeda. Sebagai contoh karya tulis dapat meminjam material dari kisah dongeng (Piliang, 2003, 136).
C. Al-Qur’an dan syair jahili dalam perspektif Intertekstualitas
Al-Qur’an, turun dalam situasi di mana bahasa dan sastra Arab (jahiliyah) mencapai puncak kejayaan. Al-Qur’an tampil dengan berbahasa Arab, agar dapat dipahami oleh manusia pada waktu itu (Q.S. Yusuf:2).
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& $ºRºuäöè% $wÎ/ttã öNä3¯=yè©9 cqè=É)÷ès? ÇËÈ
2. Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.
Para penyair ketika itu memiliki kedudukan yang sangat terhormat pada setiap kabilah, karena mereka dianggap sebagai penjaga martabat serta kehormatan kabilahnya. Dengan begitu mereka disanjung-sanjung setinggi langit oleh kabilahnya (Farukh, 1997: I: 75-76).
Perang pena antara penyair antar kabilah, telah membawa mereka kepada sebuah kompertisi syair yang di selenggarakan di suatu pasar yang disebut Ukazh (al-Iskandari & ‘Inaniy, tth: 12). Dari perang pena yang terjadi di Ukazh, lahirlah karya-karya sastra luhung yang lebih dikenal dengan sebutan “mu’allaqat”. Disebut mu’allaqat, karena syair yang terpilih menjadi yang terbaik – konon katanya – akan digantungkan di dinding ka’bah dan ditulis dengan tinta mas (Farukh, 1997: I: 75).
Syair jahiliy berkembang di masyarakat pedalaman (badiyah) Arab. Dengan begitu syair-syairnya merupakan gambaran kehidupan masyarakat pedalaman (al-hayat al-badawiyyah), yaitu hanya berbicara sekitar unta dan puing-puing. Sedikit sekali yang menggambarkan susana kekotaan (hadhar), seperti al-A’sya dan Nabighah yang pernah mengunjungi negeri Persia, Iraq dan Syam (Farukh, 1997: I: 76). Ada beberapa tujuan yang terkandung dalam syair-syair jahiliy, yaitu, nasib (Penggambaran perempuan dengan segala keindahannya), washf (pelukisan sesuatu), madah (pujian), Ratsa (ratapan), hija (cemoohan atau ejekan), i’tidzar (Pledoi), matsal dan hikmah (Kata-kata bijak dan Pribahasa) (al-Iskandari & ‘Inaniy, tth: 46-50).
Pada abad berikutnya, tepatnya pada masa dinasti Umayah, seorang ulama Basrah yang mencoba merumuskan irama musik (wazan) syair Arab, termasuk syair jahili ke dalam notasi-notasi (taf’ilah) yang kemudian disebut dengan ilmu “Arudh dan Qawafiy”(Wajdiy, tth: III: 781).
Rumusan al-Farahidy inilah yang sampai sekarang dijadikan ciri pembeda antara syair jahiliy dengan yang lainnya termasuk Al-Qur’an, dari segi irama. Kaidah-kaidah itu disajikan dengan sangat ketat. Sehingga seseorang dengan kaidah-kaidah tersebut dapat mengetahui mana syair yang benar dan mana yang salah. Kaidah-kaidah ini membawa syair-syair Arab kepada suatu definisi yang diberikan oleh para kritikus sastra terhadap yaitu perkataan yang berwazan dan berqafiyah. (Hamid, 1995: 192). Demikian karakteristik syair Arab jahiliyah secara umum, baik dari segi isi maupun bentuk.
Al-Qur’an tentunya bukanlah syair jahiliy. Namun dari sisi irama (baca: gaya bahasa), barangkali ada beberapa ayat-ayat al-Qur’an yang mirip syair Arab jahili, sehingga banyak orang-orang pada waktu itu (terutama kafir Quraisy) menganggap al-Qur’an adalah syair dan menganggap Muhammad sebagai penyair (QS. Al-Anbiya:5)
ö@t/ (#þqä9$s% ß]»tóôÊr& ¥O»n=ômr& È@t/ çm1utIøù$# ö@t/ uqèd ÖÏã$x© $uZÏ?ù'uù=sù 7pt$t«Î/ !$yJ2 @Åöé& tbqä9¨rF{$# ÇÎÈ
5. bahkan mereka berkata (pula): "(Al Quran itu adalah) mimpi-mimpi yang kalut, malah diada-adakannya, bahkan Dia sendiri seorang penyair, Maka hendaknya ia mendatangkan kepada kita suatu mukjizat, sebagai-mana Rasul-rasul yang telah lalu di-utus".
Anggapan bahwa al-Qur’an adalah syair, barangkali bisa dipahami. Mereka masih menganggap bahwa al-Qur’an merupakan aforisme-aforisme yang memiliki daya magis tinggi yang dapat menggetarkan hati siapa saja yang mendengarnya, layaknya sebuah syair.
Bantahan terhadap hal itu datang dari salah seorang sarjana Barat yang sangat serius dalam kajian Al-Qur’an, yaitu Ricahard Bell. Ia mengemukakan hasil risetnya yang dikutif Montgomery Watt (1995: 109) sebagai berikut:
“Di dalam Al-Qur’an tidak terlihat upaya untuk menghasilkan gaya bersajak tersebut. Dalam syair Arab, setiap bait harus berujung dengan konsonan (huruf/bunyi mati) atau konsonan-konsonan yang dikelilingi oleh vokal (bunyi hidup) yang senada. Penukaran bunyi i ke u diperbolehkan, meski hal ini dianggap sebagai kelemahan. Bunyi nada vokal pendek yang mengikuti konsonan-rima lazimnya dipertahankan dan jika dipertahankan, maka akan dibunyikan panjang dipenghujung bait. Hanya dalam kasus-kasus yang luar biasa sajalah barangkali ditemukan jenis rima semacam ini (di dalam Al-Qur’an). Yang dapat ditemukan di dalam kitab suci ini lebih merupakan purwakanti , di mana perubahan nada vokal pendek pada penghujung suatu ayat dikesampingkan; dan unt uk sisanya , vokal-vokal –terutama panjangnya- serta jatuhnya aksen –yakni bentuk kata akhir ayat- lebih dipentingkan daripada konsonan-konsonan.”
Lebih lanjut, Bell menegaskan bahwa kebanyakan surat Al-Qur’an terbagi ke dalam bagian-bagian atau alinea-pendek pendek. Namun panjang bagian atau alinea ini tidak baku, dan tidak pula terlihat mengikuti suatu pola panjang. Panjangnya bagian atau alinea tidak ditentukan oleh pertimbangan bentuk apa pun, tetapi oleh pokok bahasan atau peristiwa. Dari segi isi, -jika asumsi di atas diterima-, apakah kandungan al-Qur’an sama dengan kandungan syair jahiliy? Ataukah berbeda sebagaimana bentuknya hasil penelitian Bell di atas? Di sini saya akan mencoba membandingkan al-Qur’an dan syair jahiliy dalam suatu tema yang sederhana, yaitu lembu dan unta. Dengan kata lain, bagaimana al-Qur’an dan syair jahiliy mendeskripsikan kedua tema tersebut? Tema ini diambil karena seperti telah dikemukakan di atas, banyak dijadikan objek estetika syair jahiliy, dan juga terdapat dalam al-Qur’an, yaitu yang pertama sebagai salah satu nama surat (al-baqarah) dan satu lagi hanya menjadi bahasan di dalam surat.
Dalam makalah ini penulis akan mengkaji kandungan al-Qur’an dengan dipertentangkan dengan teks syair jahiliy, dilihat dari teori intertekstualitas Kristeva yang berasumsi bahwa suatu teks tidak berdiri sendiri tetapi lahir dari teks-teks lain sebelumnya. Dan tema yang akan dibahas adalah tema yang ada dalam kedua teks tersebut yaitu tema tentang lembu dan unta.
!. Lembu
· Dalam syair jahiliy terdapat banyak syair yang berisi penggambaran binatang termasuk lembu. Salah seorang penyair jahiliy kawakan yang syairnya digantung di dinding Ka’bah (mu’allaqat), Lubaigd bin Rabi’ah telah menggambarkan lembu dalam syairnya sebagai berikut:
· Lembu liar itu telah menyia-nyiakan anaknya, sehingga ia diterkam binatang buas. Maka oleh karena itu ia sering berkeliling-keliling, mondar-mandir di tanah keras itu, dari ujung sana ke ujung sana, mencari-cari anaknya dengan lenguhannya yang parau.
· Lembu itu sungguh-sungguh mencari anaknya yang hilang itu. Maka ia menjatuhkan dirinya di atas tanah berguling-guling. Maka ketika itu, sekonyong-konyong datanglah serigala.
· Serigala itu langsung menerkamnya, karena lembu itu sedang lalai. Lalu lembu itu berkata: “Sesungguhnya anak-anak panah kematian tidak akan meleset dari bidikannya.”
· Lembu itu bermalam dalam guyuran huhjan yang lebat. Yang membuat pasir-pasir dapat menumbuhkan pepohonan.
· Sekujur badannya diguyur oleh hujan yang tak henti-hentinya, di malam yang bintang-bintangnya disaput awan.
· Ia berlindung di bawah batang-batang pohon dari dingin dan hujan. Yang mana sebetulnya batang-batang itu tak mampu mengusir hawa dingin yang yang menembus tulang sumsumnya, dan tidak pula dapat menahan dari hembusan pasir padanya.
· Lembu itu bercahaya di malam hari, laksana mutiara seorang pelaut yang baru dibuka dari kulit kerangnya.
· Sehingga tatkala kegelapan malam sirna dan mentari bersinar, ia bangkit dari tempat berlindungnya. Tapak-tapak kakinya masih membekas pada tanah karena guyuran hujan semalam.
· Ia sangat bersedih dan bingung, ke mana ia harus mencari anaknya. Tujuh hari-tujuh malam ia terus-menerus mencari anaknya itu (Zuzani, tth: 143-147).
Pada bait-bait di atas, tampak bahwa Lubaid sang penyair hanya menyajikan romantika kehidupan binatang yang saling memakan. Lalu dengan imajinasinya, ia melukiskan si induk binatang yang anaknya telah hilang diterkam binatang lain, bertingkah seperti manusia yang memiliki perasaan. Syair-syair di atas jelas merupakan pelukisan romantisme si penyair terhadap peristiwa-peristiwa yang menimpa lembu. Dalam batasan ini, si penyair hanya bermaksud melukiskan (washf) dan ratapan (ratsa) binatang lembu tersebut karena kehingan anaknya.
Berbeda dengan syair Arab di atas, penggambaran Al-Qur’an tentang lembu adalah sebagai berikut:
(Dan ingatlah, ketika Musa berkata kepada kaumnya:”Sesungguhnya Allah menyuruh kaum menyembelih seekor sapi betina”. Mereka berkata:”Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?” Musa menjawab:”Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil. Mereka menjawab:”Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan sapi betina apakah itu.” Musa menjawab:”Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Mereka berkata:”Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya”. Musa menjawab:”Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya. Mereka berkata:”Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu,
karena sesungguhnya sapi itu masih samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu. Musa berkata:”Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya.” Mereka berkata:”Sekarang barulah kami menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya”. Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu ) (Q.S. al-Baqarah:67-71).
Kutipan ayat-ayat di atas menggambarkan posisi sapi atau lembu itu dalam kehidupan manusia. Sapi itu ditampilkan, sebagai suruhan Allah untuk disembelih, agar mereka tidak menyembah lagi sapi. Ini menyiratkan suatu perintah untuk bertauhid dan tidak berbuat menyekutukan-Nya. Walau penggambaran secara detail tentang sifat-sifat sapi, itu hanya atas permintaan mereka (orang-orang Yahudi) supaya tentu spesifikasinya. Namun sikap tersebut dilarang, karena akan mencelakakan si penanya. Hal itu terbukti dengan apa yang menimpa pada kaum Yahudi selanjutnya.
Ayat-ayat di atas menyuguhkan nilai-nilai religius, yaitu ketauhidan dan etika. Bertauhid dengan tidak meyekutukan Allah dengan menyembah sapi, dan beretika dengan tidak banyak bertanya terhadap suatu perintah. Maka jika demikian, dalam pandangan intertekstualitas, teks syair jahiliy tentang lembu, sebagai teks refensi telah diubah secara total oleh teks al-Qur’an yang datang kemudian. Lembu yang tadinya berada dalam deskripsi imajinatif belaka dalam syair jahiliy, kemudian diubah oleh teks al-Qur’an posisinya ke deskripsi etika-religius kemanusiaan.
2. Unta
Mengenai penggambaran unta dalam syair Arab, Tharfah bin al-Abdi, yang termasuk penyair “mu’allaqat”, melukiskannya sebagai berikut:
· ….ia (unta betina) bertemu. Kadang-kadang ia nampak jelas, seperti tambalan-tambalan (diujung gamis untuk memanjangkannya) yang bolong di gamis (baju kurung) yang hampir sobek (karena usang).
· Lehernya panjang-pangjang jika ia berjalan naik ke atas. Seperti awak-awak kapal layar bushiy di sungai Dajlah yang sedang pasang.
· Ia memiliki batok kepala (yang keras) seperti landasan palu (dari besi). Seakan-akan ia yang senantiasa menjaga tempat bertemu laron-laron, hingga ujung kikir.
· Pipinya laksana kertas orang Syam. Dan bibirnya seperti kulit-kulit sapi yang telah disamak dengan daun akasia orang Yaman, yang potongannya tak rapih.
· Kedua matanya seperti perempuan, yang memerlukan tempat berlindung di gua Hajaj, di bawah batu besar. Yang mana di sana terdapat lubang (cekungan) tempat air menggenang.
· Kedua matanya banyak mengeluarkan kotoran. Tampak kedua matannya pakai celak (seperti) ketakutan atau (mirip) anak sapi liar.
· (Ia memiliki dua telinga) yang mendengar dengan jujur, pada waktu perjalanan malam. Bagi telinganya, tidak ada (gerakan) yang samar dan suara yang lantang.
· Pendengaran (kedua telinganya) setajam tusukan belati. Seperti kedua pendengaran banteng liar yang sedang menyendiri di Haumal.
· (Ia memiliki hati) yang takut (karena kecerdasannya yang tinggi), sangat lincah, sangat keras (teguh), bagai batu besar dan keras, yang dapat memecahkan batu-batu keras lainnya, pada bebatuan (tulang rusuk) yang kokoh dan terhampar luas.
· (Ia memiliki) bibir atas yang robek (sumbing) dan hidung yang elastis (lembek) dan bolong. Hal yang menakjubkan itu ketika ia melempar tanah dengan hidungnya. Sedang kepalanya mengangguk-angguk.
· Ia tunduk dan jinak. Jika kau mau, kau dapat menjalankannya dengan cepat. Dan jika kau mau, ia dapat berjalan dengan lambat, karena takut pada cambuk kulit bagus yang dililit (anyam).
· Jika kau mau, kau dapat membuat kepalanya sejajar dengan tengah-tengah pelananya (di tempat tinggi). (Seakan-akan) ia berjalan jauh dengan kedua lengan (kaki) atasnya. Untuk mempercepat jalannya itu, (seperti) memaksa orang yang teraniaya.
· Aku melewati seperti unta betina ini di beberapa perjalananku. Temanku bertanya: “Alangkah inginnya aku menebusmu dan melepaskan beban yang beratimu. Maka (dengan demikian) aku telah menebus diri sendiri.”
· Jiwanya (hatinya) telah lenyap, karena rasa takut yang berlebihan. Ia menduga ahwa dirinya telah binasa. Walau pun aku memasuki waktu sore tidak dengan jalan ini (Zuzani, tth: 73-77)
Dalam bait-bait di atas, terlihat si penyair sangat apik dalam pelukisan (washf) pelik-pelik postur tubuh unta mulai pipi sampai kotoran mata. Kemudian untuk lebih memperjelas -dengan imajinasinya yang cukup tinggi- ia mengiaskan semua bagian-bagian tubuh tersebut dengan hal-hal yang ada di sekelilingnya seperti gamis, kertas orang Syam, sampai perempuan. Ia memuji-muji (madah) kelebihan yang dimiliki unta tersebut, seperti jinak, lincah, hingga kecerdasan yang tinggi.Pelukisan si penyair terhadapa unta tersebut memang luar biasa. Seakan-akan ia ingin memberitahukan kepada orang lain segala tentang unta, baik lahir maupun batinnya. Jika orang yang membaca syair di atas, sedang dia belum pernah melihat binatang yang disebut unta, maka penulis kira dengan penggambaran yang sejelas itu, ia akan langsung dapat membayangkannya.
Namun untuk apakah kira-kira gunanya pelukisan tersebut bagi pembaca? Apalagi bagi orang Arab yang setiap saat menemuinya? Penulis melihat penyair hanya melakukan pelukisan (washf) dan puji-pujian (madah) semata-mata, tidak atas tujuan lain. Ia hanya melukiskan berdasarkan rasa “kesenangan” (pleasure) saja, tidak berdasarkan “realitas sosial”. Ia hanya melihat unta dari sudut pandang unta, tidak dari sudut manusia. Bahkan dengan “kesenangannya” itu, terkesan ia bermaksud “memanusiakan” unta, dengan majaznya.
Walau demikian, ada penyair lain, yaitu Lubaid bin Rabi’ah, menggambarkan unta dari segi fungsinya, namun lagi-lagi, ia pun –dalam penggambarannya- lebih tidak menekankan pada aspek unta yang memiliki manfaat bagi manusia, tetapi lebih pada sensualitas wanita yang muncul karena melihat unta. Dengan kata lain, ia lebih mengutamakan “kesenangan” daripada realitas.
· Unta itu membangkitkan rindumu terhadap wanita-wanita kabilah, ketika beberapa kelompok dari mereka masuk haudah dari katun.
· Wanita-wanita itu diangkut oleh unta, bagaikan lembu betina liar di atas unta tersebut.
Sedang Al-Qur’an melukisakan unta dalam beberapa konteks:
1. Konteks hukum, seperti ayat berikut:
z`ÏBur È@Î/M}$# Èû÷üuZøO$# ÆÏBur Ìs)t7ø9$# Èû÷üuZøO$# 3 ö@è% Èûøït2©%!!#uä tP§ym ÏQr& Èû÷üusVRW{$# $¨Br& ôMn=yJtGô©$# Ïmøn=tã ãP%tnör& Èû÷üusVRW{$# ( ÷Pr& óOçGYà2 uä!#ypkà øÎ) ãNà68¢¹ur ª!$# #x»ygÎ/ 4 ô`yJsù ÞOn=øßr& Ç`£JÏB 3utIøù$# n?tã «!$# $\/É2 ¨@ÅÒãÏj9 }¨$¨Z9$# ÎötóÎ/ AOù=Ïæ 3 ¨bÎ) ©!$# w Ïöku tPöqs)ø9$# úüÏJÎ=»©à9$# ÇÊÍÍÈ
(Dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu. Katakanlah:”Apakah dua yang jantan yang diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya. Apakah kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan ini bagimu? Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang berbuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?”. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim).(Q.S. al-an’am:144)
2. Konteks penciptaan, seperti ayat berikut:
xsùr& tbrãÝàYt n<Î) È@Î/M}$# y#ø2 ôMs)Î=äz ÇÊÐÈ n<Î)ur Ïä!$uK¡¡9$# y#ø2 ôMyèÏùâ ÇÊÑÈ n<Î)ur ÉA$t6Ågø:$# y#øx. ôMt6ÅÁçR ÇÊÒÈ n<Î)ur ÇÚöF{$# y#øx. ôMysÏÜß ÇËÉÈ
(Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan?). (Q.S. al-Ghasyiyah: 17-20)
3. Konteks ancaman bagi para pendusta ayat-ayat Allah dan sombong atasnya.
¨bÎ) úïÉ©9$# (#qç/¤x. $uZÏG»t$t«Î/ (#rçy9õ3tFó$#ur $pk÷]tã w ßxGxÿè? öNçlm; Ü>ºuqö/r& Ïä!$uK¡¡9$# wur tbqè=äzôt sp¨Yyfø9$# 4Ó®Lym ykÎ=t ã@yJpgø:$# Îû ÉdOy ÅÞ$uÏø:$# 4 Ï9ºx2ur ÌøgwU tûüÏBÌôfßJø9$# ÇÍÉÈ
(Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke dala lobang jarum. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan). (al-A’rf:40)
Dari ketiga konteks di atas, nampak jelas, bahwa Al-Qur’an dalam melukisakan fenomena unta dalam tataran “realitas” sosial religius. Tak ragu lagi ketiga konteks di atas lahir dari pertimbangan akal sehat, bukan nafsu dan kesenangan. Dalam ayat pertama (konteks hukum), Allah tidak menurunkan hukum kepada manusia dengan aturan-aturan yang sulit, tetapi memberikan kemudahan dan keleluasaan. Aturan yang dipermudah itu dilandaskan pada pertimbangan akal sehat manusia agar dapat diterima dengan baik. Pemilihan baik dan buruk bukan dengan hawa nafsu, karena nafsu hanya akan membawa kepada kesesatan dan kejahatan.
Dalam ayat kedua (konteks penciptaan), Allah menyuruh untuk merenungkan proses dan sumber penciptaan unta. Ini menunjukan bahwa Allah lewat Qur’an mengajak manusia menggunakan akalnya untuk memikirkan realitas di sekitarnya, kendati hal yang dianggap sepele dan biasa seperti unta. Konteks ketiga (ancaman), Allah menggambarkan unta dalam perumpamaan yang berfungsi sebagai ancaman bagi umat-Nya yang mendustakan ayat-ayat-Nya dan bersikap sombong atasnya. Perumpamaan yang dibuat tidak sekedar perumpamaan biasa tetapi memiliki fungsi yang sangat kuat dalam menggambarkan ancaman. Jadi antara teks syair jahiliy dan al-Qur’an tentang unta, tak jauh beda dengan uraian tentang lembu di atas. Teks al-Qur’an mencoba merubah teks syair jahiliy, dengan mengubah posisi unta dari pandangan sekedar hewan kesenangan, menjadi hewan yang memiliki fungsi sosial-religuis bagi manusia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Intertekstualitas Al-quran adalah kajian tentang segala sesuatu yang berasal dari linguistic Al-quran yang dianggap sebagai tanda guna mewakili atau menambah dimensi yang berbeda pada sesuatu yang lain, dengan segala macam yang dapat mengartikan sesuatu hal lainnya yang bersumber dari teks Al-qur’an. Teks Al-Qur’an melakukan pengubahan terhadap teks syair jahiliy secara isi, dengan menawarkan nilai-nilai etika dan estika baru untuk menuju kehidupan manusia yang lebih baik.
Daftar Pustaka
https://id4n.wordpress.com/2009/08/07/al-qur%E2%80%99an-dan-sastra-arab-jahiliyah-sebuah-kajian-intertekstualitas-antara-kandungan-teks-al-qur%E2%80%99an-dan-syair-jahiliyah/#more-3 diakses pada tanggal 11 Desember 2018.
Abdul Baqi, Muhammad Fuad, tth, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazhi Al-Qur’ani al-Karimi, Maktabah Dahlan, Indonesia.
Al-Iskandari, Ahmad & ‘Inaniy, Musthafa, tth, Al-Wasith fi al-Adab al’Arabiy wa Tarikhihi, Dar al-Ma’arif, Mesir.
Berger, Arthur Asa, 2000, Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Budiman, Kris, 1999, Kosa Semiotika, LkiS, Yogyakarta.
Chandler, Daniel, 2002, Semiotics: The Basics, Routledge, London.
Eco, Umberto, 1979, A Theory of Semiotics, Indiana University Press, Bloomington.
Farukh, Umar, 1997, Tarikh al-Adab al-‘Arabiy (al-Adab al-Qadim min Mathla’ al-Jahiliyyah Ila Suquth al-Daulah al-Umawiyyah, Dar al-Ilmi Lilmalayin, juz I, Beirut.
Hamid, Mas’an, 1995, Ilmu Arudh dan Qawafi, Al-Ikhlas, Surabaya.
Hawkes, Terence, 2003, Structuralism and Semiotics, Routledge, London and New York.
North, Winfried, 1995, Handbook of Semiotics, Indiana University Press, Bloomington.
Piliang, Yasraf Amir, 2003, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta.
Soenardjo, dkk., tth, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ al-Malik Fahd Li Thiba’at alMush-haf asy-Syarif, Madinah Munawwarah.
Wajdiy, Muhammad Farid, tth, Dairah Ma’arif al-Qarni al-‘Isyrin, Dar al-Fikr juz III, Mesir.
Watt, Montgomery, 1995, Pengantar Studi Al-Qur’an (diterjemahkan oleh Taufiq Adnan Amal dari Bell’s Introduction to the Qur’an), Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Zuzaniy, tth, Syarh al-Mu’allaqat al-Sab’i, Darul Jail, Beirut.
Post a Comment for "MAKALAH INTERTEKSTUALITAS AL-QUR'AN"