MAKALAH ULUMUL HADITS HADITS MAUDHU’
MAKALAH ULUMUL HADITS
HADITS MAUDHU’
Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas kelompok pada semester II
Dosen Pembimbing :
Disusun Oleh :
Luthfi Rosyadi
NIM : 1631037
ILMU AL QUR’AN
DAN TAFSIR / II
FAKULTAS USHULUDDIN, DAKWAH, DAN SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
KEBUMEN
2016/2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah
puji syukur kehadirat Alloh SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga
penulis mampu menyelesaikan kewajiban penulis, yakni dalam rangka untuk
memenuhi salah satu syarat tugas individu. Sholawat serta salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada beliau Baginda Nabi Agung Muhammmad SAW yang telah
mengantarkan kita kepada jalan yang terang dan menjadikan jalan yang indah
berupa ajaran Agama Islam.
Ucapan terima
kasih kepada beliau .... selaku dosen pengampu pada mata kuliah ‘ulumul hadits
yang telah memberikan bimbingan serta arahan sehingga makalah yang berjudul “hadits
maudhu’’’ ini dapat diselesaikan tepat waktu. Seiring dengan usaha kerja keras
penulis, tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu, karena tanpa bimbingan dan dorongannya, penulis tidak akan menyelesaikan
makalah ini sampai selesai. Penulis pun menyadari bahwa dalam pembuatan makalah
ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaaan, oleh karena itu
penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dalam rangka perbaikan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan mempunyai tanggapan yang positif
serta dapat bermanfaat bagi pembaca semua. Amin Ya Rabbal
‘Alamin.
Kebumen,
24 Mei 2017
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan zaman yang semakin pesat, menyebabkan munculnya budaya-budaya
baru. Dimana budaya-budaya itu tidak hanya masuk pada bidang sosial budaya,
namun juga memasuki bidang agama. Sehingga memunculkan ibadah-ibadah yang
dipadukan dengan budaya, yang mana ibadah-ibadah tersebut belum diketahui
secara pasti dalil yang dijadikan dasar pelaksanaan ibadah tersebut.
Adapun dalil-dalil yang digunakan secara umum adalah al-Qur’an dan Hadits.
Meskipun begitu kebanyakan orang yang belum mengetahui cabang-cabang dari kedua
dalil umum tersebut, mereka hanya akan menerima begitu saja jika mereka sudah
disuguhi dalil yang berasal dari al-Qur’an ataupun Hadits. Sedangkan mungkin,
yang sebenarnya dalil tersebut tidak dapat dijadikan hujjah untuk melaksanakan
suatu ibadah.
Salah satu dari cabang dalil dari segi hadits adalah hadits maudhu’, dimana
hadits tersebut sebenarnya bukan hadits melainkan hanya ucapan dari seseorang
yang tidak bertanggungjawab, hanya saja karena disandarkan kepada Nabi SAW,
ucapan tersebut terlihat seperti hadits. Sehingga jika seperti itu, diperlukan
pengatahuan untuk dapat memilah-milah mana yang benar mana yang salah.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah pengertian dari Hadits maudhu’ ?
2.
Apa sajakah yang melatarbelakangi munculnya
hadits maudhu’ ?
3.
Bagaimanakah upaya untuk mengetahui bahwa
hadits itu maudhu’ atau bukan ?
4.
Bagaimanakah upaya untuk menyelamatkan hadits
?
C. TUJUAN MAKALAH
1.
Untuk mengetahui pengertian dari hadits
maudhu’.
2.
Untuk mengetahui latar belakang munculnya
hadits maudhu’.
3.
Untuk mengetahui upaya untuk menyelamatkan.hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN HADITS MAUDHU’
Secara etimologi, Al-maudhu berasal dari bahasa arab yang
merupakan isim maf’ul dari kata وضع يضع وضعا yang
mempunyai arti al-isqath (meletakkan, atau menyimpan), al-iftira’ wa
al-ikhtilaq (mengada-ada, membuat-buat) dan al-tarku (ditinggal). Secara
istilah pengertian hadits maudhu’ adalah :
مَا نُسِبَ اِلَى الرَّسُوْلِ ص.م. اِخْتِلَاقًا وَكَذِبًا
مِمَّا لَمْ يَقُلْهُ أَوْ يَفْعَلْهُ أَوْ يُقِرُّهُ
“hadits
yang disandarkan kepada Rasululloh SAW secara dibuat-buat dan dusta, padahal
beliau tidak mengatakan, berbuat ataupun menetapkan”.[1]
B.
MUNCULNYA HADITS MAUDHU’
Para ulama berbeda pendapat
mengenai waktu munculnya hadits maudhu’.
1.
Menurut Ahmad Amin, hadits
maudhu’ sudah ada sejak Nabi SAW masih hidup, berdasarkan hadits Nabi SAW :
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ
النَّارِ
“barang siapa dengan sengaja berdusta kepadaku, maka hendaklah ia
bersiap-siap menempati tempatnya di dalam neraka”[2]
2.
Menurut jumhur al-muhadditsin
bahwa pemalsual hadits itu terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi
Thalib[3],
mereka beralasan bahwa keadaan hadits sejak Nabi SAW hingga sebelum terjadinya
pertentangan Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abi Sofyan (w. 60 H/680 M)
masih terhindar dari pemalsuan-pemalsuan. Pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib
telah terjadi perpecahan politik antara golongan Ali dan golongan Mu’awiyah.
Upaya ishlah melalui Tahkim tidak mampu meleraikan pertentangan
mereka, bahkan semakin ruwet dengan munculnya kelompok Khawarij (keluar dari
golongan Ali). Masing-masing golongan, selain berusaha saling mengalahkan
lawan-lawannya, juga berupaya mempengaruhi orang-orang yang tidak berada dalam
perpecahan. Salah satu cara yang mereka tempuh adalah dengan membuat hadits
palsu. Dalam sejarah dikatakan bahwa yang pertama-tama membuat hadits palsu
adalah golongan syi’ah.
3.
Shalah al-Din al-Adlabi
mengatakan bahwa pemalsuan hadits dalam masalah keduniaan sudah ada sejak Nabi
SAW, alasannya hadits yang diriwayatkan al-Thahawi (w. 321H/933M) dan
al-Thabrani (w. 360H/971M). Dikisahkan didalamnya, ada seorang yang telah
membuat berita bohong yang mengatasnamakan Nabi SAW. Orang itu mengaku telah
diberi wewenang oleh Nabi SAW untk menyelesaikan masalah disuatu daerah di
Madinah. Kemudian orang tersebut melamar seorang gadis dari masyarakat tersebut
namun ditolak. Masyarakat tersebut lalu mengutus orang untuk mengkorfirmasikan
berita yang dimaksud. Ternyata Nabi SAW tidak pernah menyuruh orang tersebut
yang mengatasnamakan diri beliau. Kemudian Nabi SAW memerintahkan sahabat untuk
mencari orang tersebut dan membunuhnya, dan juga membakar mayatnya.[4]
C.
LATAR BELAKANG MUNCULNYA HADITS MAUDHU’
Berdasarkan data sejarah,
pemalsuan hadits bukan hanya dilakukan oleh orang-orang islam, akan tetapi juga
dilakukan oleh orang non-Islam. Ada beberapa motif sebab yang mendorong mereka
membuat hadits palsu.
1.
Pertentangan politik.
Perpecahan umat islam yang diakibatkan politik yang
terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, mendorong masing-masing
golongan untuk saling mengalahkan lawan dan mempengaruhi orang-orang. Pada
akhirnya masing-masing golongan mencari dalilnya ke dalam Al-Qur’an dan Hadits,
dan jika tidak menemukan, mereka mulai membuat pernyataan-pernyataan yang
disandarkan kepada Nabi SAW. Dari sinilah mulai berkembang hadits palsu. Materi
hadits yang pertama memngangkat keunggulan seseorang dan kelompoknya.[5]
Ibnu al-Mubarak mengatakan :
اَلدِّيْنُ
لِأَهْلِ الْحَدِيْثِ وَالْكَلَامُ وَالْحِيَلُ لِأَهْلِ الرَّأْيِ وَالْكَذِبُ
لِلرَّفِضَةُ
“Agama
adalah milik ahli hadits, kalam dan hilah adalah milik ahli al-ra’y, dan
kedustaan adalah milik kaum rafidhah”.
Hammad bin Salamah pernah meriwayatkan bahwa ada salah
seorang tokoh Rafidah berkata ,“ sekiranya kami pandang baik baik, segera
kami jadikan hadits”.
Contoh hadits palsu yang dibuat oleh kaum Syi’ah antara
lain :
يَا عَلِيُّ إِنَّ اللهَ غَفَرَ لَكَ وَلَذُرِّيَتِكَ وَلِوَالِدَيْكَ
وَلِاَهْلِكَ وَلِشِيْعَتِكَ وَلِمُحِبِّيْ شِيْعَتِكَ
“Wahai
‘Ali sesungguhnya Alloh SWT telah mengampunimu, keturunanmu, kedua orang tuamu,
keluargamu, (golongan) syi’ahmu, dan orang yang mencintai (golongan) syi’ahmu”.
Golongan Mu’awiyah juga membuat hadits palsu, sebagai
contoh dapat dikemukakan :
أَلْأُمَنَاءُ ثَلَاثَةٌ : أَنَا وَجِبْرِيْلُ وَمُعَاوِيَةُ أَنْتَ مِنِّى
يَا مُعَاوِيَةُ وَأَنَا مِنْكَ
“tiga
golongan yang dapat dipercaya, yaitu saya (Rasul), Jibril, dan Mu’awiyah. Kamu
termasuk golonganku dan Aku bagian dari kamu”.[6]
2.
Usaha Kaum Zindiq
Kaum Zindiq adalah golongan yang membenci islam baik
sebagai agama maupun sebagai pemerintahan. Maka cara yang palin tepat adalah
dengan membuat hadits palsu denga tujuan untuk menghancurkan agama islam. ‘Abd
al-Karim ibn ‘Auja’ yang dihukum mati oleh Muhammad bin Sulaiman bin ‘Ali, wali
di basrah, ketika hukuman akan dilaksanakan dia mengatakan “Demi Allah, saya
telah membuat hadits palsu sebanyak 4.000 hadist”. Seorang zindiq mengaku dihadapan
khalifah al-Mahdi bahwa dirinya telah membuat ratusan hadits palsu. Hammad bin
Zaid mengatakan “hadits yang dibuat kaum Zindiq ini berjumlah 12.000 hadits.
Contoh dari haditsnya, adalah :
أَلنَّظْرُ إِلَى الْوَجْهِ الْجَمِيْلِ عِبَادَةٌ
“melihat
wajah cantik termasuk shadaqah”.[7]
3.
Fanatik Terhadap Bangsa, Suku, Negeri, Bahasa, Dan
Pimpinan
Mereka membuat hadits palsu karen didorong oleh sikap ego
dan fanatik buta serta ingin menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok atau yang
lainnya. Golongan al-Syu’ubiyah yang fanatik terhadap bahasa Persi mengatakan :
إِنَّ اللهَ إِذَا غَضِبَ أَنْزَلَ الْوَحْيَى بِالْعَرَبِيَّةِ وَإِذَا
رَضِيَ أَنْزَلَ الْوَحْيَى بِالْفَرِسِيَّةِ
“Apabila Allah murka, maka Dia menurunkan wahyu dengan
bahasa Arab, dan apabila senang maka akan menurunkannya dengan bahasa Persi”.
Dan sebaliknya para orang arab yang juga fanatik terhadap
bahasanya, membalikkan hadits diatas.
Golongan yang fanatik terhadap madzhab hanafi juga pernah
membuat hadits palsu:
.سَيَكُوْنُ رَجُلٌ فِيْ أُمَّتِيْ
يُقَالُ اَبُوْ حَنِيْفَةَ النُّعْمَانَ هُوَ سِرَاجٌ أُمَّتِيْ
“akan ada
seorang laki-laki dari umatku yang bernama Abu Hanifah An-Nu’man. Ia ibarat
obor bagi umatku”
سَيَكُوْنُ رَجُلٌ فِيْ أُمَّتِيْ يُقَالُ مُحَمَّدُ بْنُ
إِدْرِيْسَ هُوَ أَضَرُّ عَلَى أُمَّتِيْ مِنْ إِبْلِيْسَ
“akan ada seorang laki-laki dari umatku yang bernama
Muhammad bin Idris. Ia akan lebih menimbulkan mudharat kepada umatku daripada
iblis”.
4.
Membuat Cerita Dan Nasihat
Mereka melakukan pemalsuan hadits ini guna memeroleh
simpatik dari pendengarnya dan agar mereka kegum melihat kemampuannya. Sebagai contoh,
adalah hadits sebagai berikut :
مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ خَلَقَ اللهُ مِنْ كُلِّ كَلِمَةٍ طَيْرًا
مِنْقَارُهُ مِنْ ذَهَبٍ وَرِيْشَتُهُ مِنْ مَرْجَانٍ
“barang
siapa yang mengucapkan kalimat Allah akan menciptakan seekor burung (sebagai
balasan tiap-tiap kalimat) yang paruhnya terdiri dari emas dan bulunya dari
marjan”.
5.
Perselisihan Madzhab Dan Ilmu Kalam
Munculnya hadits-hadits palsu dalam masalah fiqih dan
ilmu kalam, berasal dari para pengikut madzhab.[8] Di
antara hadits-hadits palsu tentang masalah ini adalah :
a.
Siapa yang mengangkat tangannya
dalam shalat, maka shalatnya tidak sah.
b.
Jibril menjadi imamku dalam
shalat di Ka’bah, ia (jibril) membacakan basmalah dengan nyaring
c.
Yang junub wajib berkumur dan menghisap air tiga kali.
d.
Semua yang ada dibumi dan
langit serta di antara keduanya adalah makhluk, kecuali Allah dan al-Qur’an.
6.
Membangkikan Gairah Beribadat, Tanpa Mengerti Apa
Yang Dilakukan.
Banyak di antara ulama yang membuat hadits palsu dengan tujuan pendekatan
diri kepada Allah dan bahkan mereka mengira usaha mereka itu benar. Nuh bin Abi
Maryam telah membuat hadits berkenaan dengan fadhilah membaca surat-surat
tertentu dalam Al-Qur’an. Ghulam al-Khail membuat hadits tentang keutamaan
wirid dengan maksud memperhalus kalbu manusia.
7.
Menjilat Penguasa
Diantara
contohnya adalah yang dikemukakan oleh Ghiyats bin Ibrahim ketika berhadapan
dengan khalifah Al-Mahdi (775-785 M), salah seorang khalifah bani Abbasiyah.
Karena mengetahui sang khalifah gemar mengadu merpati Ghiyats menyampaikan
hadits Nabi SAW dengan menambahi kata yang berhubungan dengan kegemaran
khalifah :
عَنْ أِبِيْ هُرَيْرِةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م قَالَ : لَا سَبَقَ إِلَّا
فِيْ خَفٍ أَوْ حَافِرٍ أَوْ نَصَلٍ أَوْ جَنَاحٍ
“tidak
ada perlombaan kecuali permainan panah, anggar, pacuan kuda, atau menerbangkan
burung”.
Ghiyats
menambahi kata أَوْ
جَنَاحٍ di akhir hadits tersebut, dengan maksud agar diberi hadiah.
Setelah mendengar hadits tersebut, al-Mahdi memberikan hadiah 10 ribu dirham,
namun ketika Ghiyats membalik akan pergi, al-Mahdi menegurnya dengan berkata
“aku yakin itu sebenarnya merupakan dusta atas nama Rasululloh SAW”. Dan saat
itu juga merpati milik Ghiyats disembelih.
D.
KAIDAH UNTUK MENGETAHUI
HADITS MAUDHU’
Ada beberapa
patokan yang bisa digunakan untuk
mengetahui hadits maudhu’, diantaranya :
1.
Dalam sanad
a.
Atas dasar pengakuan para pembuat hadits palsu,
sebagaimana pengakuan Abu ‘Ishmah Nuh bin Abi Maryam bahwa ia telah membuat
hadits tentang fadhilah membaca Al-Qur’an, surat demi surat.
b.
Adanya qarinah (dalil) yang menunjukkan kebohongannya,
misal pengakuannya ia meriwayatkan dari seorang syekh, tapi ternyata ia belum
pernah bertemu langsung, atau syekh tersebut diketahu telah meninggal saat ia
masih kecil. Atau juga pernah menerima hadits dari suatu daerah namun ia belum
pernah ke daerah itu.
c.
Meriwayatkan hadits sendirian, sementara diri rawi
dikenal sebagai pembohong.
2.
Dalam matan
a.
Buruknya redaksi hadits, padahal Nabi SAW adalah seorang yang
sangat fasih dalam berbahasa.
b.
Maknanya rusak. Ibnu Hajar menjelaskan bahwa lafadz ini
dititikberatkan pada kerusakan arti, sebab dalam sejarah tercatat “periwayatan
hadits tidak hanya bi lafdzi tapi
juga ada yang bil ma’nawi”.
c.
Matannya bertentangan dengan al-Qur’an atau hadits yang
lebih kuat
d.
Matannya menyebutkan janji yang sangat besar atas
perbuatan yang kecil atau ancaman yang besar atas perkara yang kecil.
e.
Hadits yang bertentangan dengan sejarah Nabi SAW.
f.
Hadits yang terlalu melebih-lebihkan salah satu sahabat.[9]
E.
UPAYA PENYELAMATAN HADITS
Untuk
menyelamatkan hadits Nabi SAW, ulama hadits menyusun berbagai kaidah hadits, di
antaranya yaitu :
1.
Meneliti penyandaran hadits. Para sahabat dan tabi’in
tidak sembarangan mengambil hadits dari seseorang.
2.
Memilih perawi-perawi hadits yang terpecaya. Para ulama
menanyakan hadits-hadits yang dipandang kabur atau tidak jelas asal-usulnya.
3.
Studi kritik rawi, yang tampaknya lebih dikonsentrasikan
pada sifat kejujuran atau kebohongannya.
4.
Menyusun kaidah-kaidah umum untuk meneliti hadits-hadits
tersebut.[10]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
uraian-uraian yang telah dipaparkan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa :
1.
Hadits maudhu’ pada hakekatnya bukanlah sebuah hadits,
melainkan hanyalah ucapan orang yang tidak bertanggungjawab yang menyandarkan
ucapannya kepada Nabi SAW.
2.
Hadits maudhu’ tidak dapat dijadikan sebagai hujah untuk
melakukan sebuah amalan meski hadits maudhu’ tersebut berisi amalan-amalan
baik.
3.
Tidak semua yang disandarkan kepada Nabi SAW merupakan
hadits yang shahih, melainkan membutuhkan penelitian untuk membuktikan keshahihan
hadits tersebut.
B.
SARAN
Berdasarkan
pada kesimpulan-kesimpulan diatas, dapat diambil beberapa saran, diantaranya :
1.
Jangan langsung mempercayai hadits yang baru saja
didengar.
2.
Telitilah dalam menggunakan hadits, pastikan hadits yang
akan digunakan sebagai hujjah adalah memang benar-benar hadits shahih, atau
setidaknya dipastikan ada dalam kitab-kitab hadits seperti kitab shahih bukhori
atau shahih muslim.
3.
Memilah-milah hadits, apabila akan disampaikan dalam
acara besar, misalnya, jangan sampai dalam penyampaian menggunakan hadits yang
masih diragukan keshahihannya.
4.
Telitilah dengan sungguh-sungguh, meskipun berisi
amalan-amalan baik, tidak boleh keliru, karena hadits palsu tidak dapat
dijadikan dalil, meskipun berisi isian yang indah.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al-Khatib, Ajjaj. 1981, Ushul al-Hadits, Ulumuhu wa
Mushthalahuh. Beriut: Dar Al-Fikr
2.
Al-Siba’i, Mustafa. 1985. Al-Sunnah wa Makanatuha fi
al_tasyri’ al-Islami. Beirut : al-Maktab al-Islami.
3.
Zarkasih. 2012. Pengantar Studi Hadits. Yogyakarta
: Aswaja Pressindo
[1] Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits,
Ulumuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1981), Cet. Ke-4, hlm. 275.
[2] Hadis ini mutawatir yang diriwayatkan
lebih dari 60 sahabat, bahkan ada yang mengatakan lebih dari 200 sahabat.
[3] Ajjaj al-Khatib, op.cit., hlm.
416-417 dan Subhi al-Shalih, op.cit., hlm. 266-267.
[4] Suhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Hadits,
Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1988), hlm. 92-93.
[5] Musthafa al-Siba’i, op.cit., hlm.
79.
[6] Musthafa al-Siba’i, op.cit., hlm.
86-87.
[7] Musthafa al-Siba’i, op.cit., hlm.
86-87.
[8] Musthafa al-Siba’i, op.cit., hlm.
215
[9] ‘Ajjaj al-Khatib, op.cit., hlm.432-436
[10] Musthafa al-Siba’i, op.cit., hlm.
91-95.
Post a Comment for "MAKALAH ULUMUL HADITS HADITS MAUDHU’ "