MAKALAH TAFSIR RUH AL-MA’ANI KARYA AL-ALUSI
MAKALAH
TAFSIR RUH AL-MA’ANI KARYA AL-ALUSI
Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Studi Tafsir Modern pada semester V
Dosen Pembimbing:Ali Mahfudz, M.S.I.
Disusun oleh:
Muhammad Mu’tiq Rosyadi (1631049)
FAKULTAS USHULUDIN SYARIAH DAN DAKWAH
PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA KEBUMEN
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
al-Quran merupakan salah satu sumber hukum yang utama bagi umat Islam. al-Quran dapatlah dipahami jika terdapat ragam metode untuk menafsirkannya.Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran, para ulama menggunakan metode yang berbeda-beda. Ada yang menafsirkan al-Quran secara rinci kata perkata, ayat per ayat, ada juga yang menafsirkan al-Quran secara garis besarnya saja tanpa terperinci, dan ada juga yang menafsirkan al-Quran berdasarkan suatu tema tertentu.
Para mufassir di dalam menafsirkan al-Quran sesuai dengan kapasitas keilmuan yang dimilikinya. Misalkan saja, seorang mufassir yang mendalami ilmu-ilmu fiqih maka apabila menafsirkan al-Quran akan menghasilkan sebuah karya tafsir yang bercorak fiqih (di dalamnya banyak terdapat pembahasan berkaitan dengan hukum-hukum Islam). Begitu pula jika seorang mufassir yang menguasai dalam bidang tasawuf maka apabila menafsirkan al-Quran akan menghasilkan karya tafsir yang bercorak sufi (tasawuf).
Salah satu karya besar dunia Islam dalam bidang tafsir adalah kitab Ruh al-Ma’ani karya Imam al-Alusi. Beliau menafsirkan al-Quran dengan bercorak sufisme, dikarenakan sejak kecil beliau belajar mendalami ilmu-ilmu tasawuf pada guru-gurunya. Untuk pemaparan tentang kitab Ruh al-Ma’ani karya Imam al-Alusi akan kami sampaikan kemudian.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi dari Imam al-Alusi?
2. Bagaimana sejarah penulisan tafsirRuh al-Ma’ani?
3. Bagaimana karakteristik dan metode tafsirRuh al-Ma’ani?
4. Bagaimana contoh penafsiran dalam tafsirRuh al-Ma’ani?
5. Bagaimana penilaian ulama terhadap tafsirRuh al-Ma’ani?
6. Bagaimana kelebihan dan kekurangan tafsir Ruh al-Ma’ani?
C. Tujuan
1. Memahami biografi dari Imam al-Alusi.
2. Mengetahui sejarah penulisan tafsirRuh al-Ma’ani.
3. Mengetahui karakteristik dan metodetafsirRuh al-Ma’ani.
4. Memahami contoh penafsirah di dalam tafsirRuh al-Ma’ani.
5. Mengetahui penilaian ulama terhadap tafsirRuh al-Ma’ani.
6. Mengetahui kelebihan dan kekurangan tafsir Ruh al-Ma’ani.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Biografi Imam al-Alusi
Nama lengkap al-Alusi adalah Abu al-Tsana’ Syihabuddin as-Sayyid Mahmud Afandi al-Alusi al-Baghdadi. Beliau adalah keturunan Imam al-Husain dari ayahnya dan keturunan imam al-Hasan (Ibnu Ali bin Abi Thalib) dari ibunya. Beliau dilahirkan kota Kurkh, Baghdad pada Jum’at 15 Sya’ban 1217 Hijriyah.[1] Ia dikenal dengan nama al-Alusi, yaitu nama yang dinisbatkan kepada kampung yang bernama Alus, yaitu suatu pulau yang terletak di tepi barat sungai Efrat antara Syam dan Baghdad.
Sudah menjadi keharusan ulama terdahulu dan kebiasaan masyarakat Arab Islam, bahwa setiap anak diharuskan untuk mulai belajar membaca dan menghafal al-Qur’an. Alusi pun mulai menghafal al-Quran semenjak ia berumur lima tahun dibawah bimbingan syekh al-Mala Husain al-Jaburi. Sejalan dengan bertambah umurnya, ia pun terus belajar dan membaca teks-teks warisan ulama sebelumnya di bawah bimbingan ayahnya, sehingga sebelum mencapai umur sepuluh tahun, ia telah mempelajari beberapa cabang ilmu pengetahuan, fiqh syafi’iyah dan hanafiyah, mantiq, dan hadits.
Pada usia muda beliau dibimbing oleh orang tuanya sendiri. Beliau juga belajar kepada ulama-ulama besar pada masa itu yaitu diantaranya Syaikh As-Suwaidi dan Syaikh khulaid An-Naqsyabandi. Beliau menjadi mufti madzhab Hanafi di tahun 1248 H/ 1832 M. Ia menghayati dan mengetahui perbedaan madzhab serta berbagai corak pemikiran dan aliran aqidah.[2]
Imam al-Alusi tidak hanya mengambil ilmu pengetahuan dibawah bimbingan orang tuanya, tetapi ia juga berguru kepada ulama-ulama terkenal di masanya. Di antara guru yang sangat dikaguminya adalah Syaikh ‘Alâuddin Afandi al-Maushili, sampai-sampai ia bersama gurunya tersebut dalam waktu yang cukup lama.
Sebelum Imam al-Alusi mencapai umur 20 tahun, ia telah mulai mendalami kajian tafsir al-Quran. Kemudian ketika berumur 21 tahun, ia diberi kepercayaan oleh gurunya, syekh ‘Alauddin untuk mengajar di madrasah al-Khotuniyah. Di samping itu juga, ia diminta oleh Haji Nu’man al-Bajah untuk mengajar di madrasah yang dipimpinnya, hanyasaja Alusi tidak bertahan lama, dikarenakan banyak yang tidak setujudengan dirinya.
Ketika Kurkh berada dibawah tangan Haji Amin al-Bajah, Imam al-Alusi diminta untuk memimpin madrasah dan sekaligus menjadi imam masjid. Disamping Imam al-Alusi mengajar di madrasah, juga mengajar dimasjid-masjid, yaitu masjid Haji al-Mala ‘Abdul Fattah, masjid al-Qomariyah, masjid Sayyidah Nafisah, dan masjid al-Marjaniyah. Sehingga jadwal mengajarnya dalam sehari (di madrasah dan masjid) mencapai 24 jadwal mengajar. Akan tetapi ketika ia mulai menulis tafsir al-Quran (Ruhal-Ma’ani) dan diberi kepercayaan untuk menjadi mufti, maka jadwal mengajarnya berkurang menjadi 13 jadwal saja.
Kehidupan politik pada masa kehidupan al-Alusi tidaklah stabil, karena pada masa ini terjadi perebutan kekuasaan, perang saudara dan pergantian raja-rajanya. Selama al-Alusi hidup, ia menyaksikan banyak pergantian kepemimpinan di Irak, mulai dari pemimpin-pemimpin yang memimpin Irak cukup lama, seperti Daud Basya (1188 H/1774 M), Ali Ridha Basya (1247 H/1831 M), Muhammad Najib Basya (1258 H/1842 M), sampai pemimpin-pemimpin yang memimpin hanya sebentar, seperti Abdi Basya (1265 H/1849 M), Muhammad Wajih Basya (1267 H/1851 M),Muhammad Rasyid Basya (1268 H/1852 M), dan pada tahun yang sama ia digantikan oleh Basya al-Kabir (1268 H/1852 M-1269 H/1853).[3]
Meskipun politik negara tidak setabil, kegiatan ilmiah di Irak tetap berjalan. Pada masa itu banyak bermunculan ulama-ulama dalam berbagai bidang ilmu, fiqh, hadis, tafsir, dan sastra (adab). Diantara ulama dan sastrawan yang terkenal pada masa itu banyak yang berasal dari keluarga al-Suwaidi, keluarga al-Rawi, al-Syawaf, al-Madras, al-Umari, al-Alusi, al-Zahawi. Hal ini juga tidak terlepas dari dukungan penguasa, seperti yang dilakukan oleh Daud Basya. Ia mendirikan sekolah-sekolah sebagai pendukung berkembangnya ilmu pengetahuan.
Setelah ayahnya meninggal dunia (1268 H/1830 M), Ia meninggalkan Kurkh dan tinggal di samping mesjid syekh Abdul Qadir al-Jili. Dari sinilah, kecerdasan, keutamaan dan ilmu Imam al-Alusi banyak diketahui oleh orang banyak. Ketika Baghdad terjangkiti penyakit Thaun, Daud Basya turun dari kepemimpinannya dan digantikan oleh Ali Ridha Basya. Pada masa Ali Ridha Basya ini, al-Alusi bersembunyi dan mengasingkan diri dikarenakan banyak orang yang tidak menyenanginya dan telah memfitnahnya. Ketika Abdul Ghani Affandi al-Jamil ditunjuk sebagai mufti di Baghdad, Imam al-Alusi menemuinya dan tinggal bersamanya sampai mendapatkan kepercayaan dan pengampunan dari Ali Ridha Basya atas fitnah yang dituduhkan kepadanya. Kemudian al-Alusi diberi kepercayaan untuk dimintai fatwa dan pengajar di madrasah al-Qadiriyah.
Pada masa Ali Ridha ini, al-Alusi menuliskan sebuah buku “syarhal-Burhan fi Itha’at al-Sulthan” yang dihadiahkan untuk Ali Ridha Basya,yang kemudian ia diberi kepercayaan untuk menjadi Imam dan Khatib masjid al-Marjan, yang tidak diberikan kecuali kepada orang yang dianggappaling alim. Pada tahun yang sama, ia ditunjuk sebagai mufti di Baghdah. Ketika Ali Ridha Basya digantikan oleh Muhammad Najib Basya,jabatan mufti dan kepemimpinan al-Alusi di masjid Marjan dicopot, dikarenakan adanya kesalah fahaman antara dirinya dengan menteri Muhammad Najib Basya. Sehingga kehidupan dunia al-Alusi berbalik 180 derajat. Untuk mengungkapkan kesusahan hidupnya, sampai-sampai dikatakan bahwa al-Alusi hampir memakan tikar yang digunakan sebagai tikar masjid. Pada tahun 1267 H/1850 M, Imam al-Alusi melakukan perjalanan menuju Istanbul. Ketika ia sampai di Maushil, ia singgah di rumah Mahmud Afandi al-Umari yang dikenal sebagai seorang filosofis. Ketika di Maushilinilah al-Alusi menunjukkan dan membacakan tafsir al-Qur’an (Ruh al-Ma’ani) yang ditulis sebelumnya dalam suatu majlis yang dihadiri oleh para ulama Maushil, dan Mereka pun merasa ta’jub dan kagum. Selama perjalanannya ke Istanbul, al-Alusi selalu singgah dan tinggal di tempat-tempat yang dilewatinya selama 2 hari untuk melakukan diskusi dengan ulama-ulama setempat. Sesampainya di Istanbul pun, tidakada yang dilakukannya kecuali diskusi dengan ulama-ulama setempat. Darihasil perjalanannya, ia mendapatkan berbagai pengalaman dan pengetahuan yang belum pernah diperoleh sebelumnya, sehingga keilmuan dan keutamaannya banyak dikagumi oleh banyak orang. Dalam perjalanan pulangnya dari Istanbul menuju Baghdad mulai sering sakit, dan terus menurus dari waktu ke waktu. Pada tanggal 25 Dzulqa’dah 1270 H/1854 M al-Alusi meninggal dunia dalam usia 53 tahun.
Sebelum Imam al-Alusi menjadi mufti madzhab Hanafi, Ia memegang bidang wakaf Marjaniyah, yaitu sebuah yayasan pendidikan yang mensyaratkan penanggung jawabnya seorang tokoh ilmuan. Lalu Iaberhenti di bulan Syawal 1263 H setelah menyusun tafsirnya hingga menyempurnakannya. Kemudian ia mengembara ke kota Konstantinopel (sekarang Istanbul, Turki) pada tahun 1267 H, di sana ia mengajukan tafsirnya kepada Raja Abdul Majid Khan. Imam al-Alusi Rahimahullah wafat di hari Jum’at tanggal 25 Dzul Qa’dah 1270 H.Al-Alusi merupakan seorang ulama di Irak yang pernah menjadi mufti Baghdad, pemikir dan ahli polemik, ia juga memiliki pengetahuan yang luas, sehingga ia dikenal dengan ‘Allamah yaitu seorang ulama besarbaik dalam ilmu naqli (al-Qur’an dan al-Hadits) maupun dalam ilmu aqli (berdasarkan akal) yang mengetahui setiap cabang dan dasar dari kedua bidang ilmu tersebut.
Sejak usia muda ia sudah giat mengajar dan mengarang, ia mengajar di berbagai perguruan, selain di negeri tempat ia mengajar, murid-muridnya juga berasal dari negeri yang jauh. Banyak anak didiknya yang menjadi tokoh di negerinya sendiri dan ia ditunjuk sebagai penanggungjawab wakaf Madrasah Marjaniyah, sebuah yayasan pendidikan yangmensyaratkan penanggung jawabnya seorang tokoh ilmuan di negeri itu.
Al-Alusi dikenal sebagai pendidik yang sangat memperhatikan sandang, pangan dan perumahan para muridnya. Ia memberi mereka pemondokan yang lebih baik dari tempat tinggalnya sendiri, sehingga orang semakin menaruh perhatian pada ilmu pengetahuan.[4]
2. Sejarah Penulisan Tafsir Ruh al-Ma’ani
Salah satu karya yang ditinggalkan Imam al-Alusi kepada kita sampai saat sekarang ini adalah kitab tafsir yang diberi nama Ruh al-Ma’anifî Tafsr al-Quran al-‘Adzim wa as-Sab’ al-Matsani (semangat makna dalam tafsir al-Qur’an yang agung dan al-Fatihah). Setelah ia meninggal, kitab itu disempurnakan oleh anaknya, as-Sayyid Nu’man al-Alusi.
Disebutkan bahwa nama kitab tafsir tersebut diberikan oleh perdana menteri Ridha Pasya setelah al-Alusi mempertimbangkan judulnya. Kitab tafsir Ruh al-Ma’ani ini merupakan karya Imam al-Alusi yang terbesar, karena kitab ini berisi pandangan dari kalangan ulama salaf maupun khalaf dan juga mengandung kesimpulan kitab-kitab tafsir sebelumnya seperti tafsir Ibnu Athiah, tafsir Ibnu Hiban, Abu Hayyan, al-Kasysyaf, Abu al-Sa`ud, al-Baidlawi dan al-Razi.[5]
Imam al-Alusi berusaha bersikap netral dan adil ketika menukilkan tafsir-tafsir tersebut dan selanjutnya mengemukakan komentar dan pendapatnya sendiri secara merdeka tanpa terpengaruh pada salah satu tafsir tersebut. Ketika menukilkan tafsir-tafsir terdahulu, Imam al-Alusi menggunakan beberapa istilah antara lain “qala syaikh al-Islam” bila menukilkan dari tafsir Abu al-Sa`ud, “qala al-qadli” bila dari tafsir al-Baidlawi, dan “qala al-imam” bila menukilkan dari tafsir al-Razi.
Latar belakang penulisan kitab tafsir Rûh al-Ma’ani terkesan agak mistik. Beliau menulis terdorong oleh suatu mimpi, meskipun sebelumnya telah ada ide untuk menulis tafsir tersebut. Al-Alusi memang ingin sekali menyusun sebuah kitab tafsir yang dapat mencakup persoalan-persoalan yang dianggap urgen bagi masyarakat waktu itu. Namun rupanya beliau senantiasa dihinggapi keragu-raguan untuk merealisasikan ide tersebut. Akhirnya, pada suatu malam, tepatnya pada malam jum'at bulan Rajab tahun 1252 H, beliau bermimpi disuruh Allah Swt untuk melipat langit dan bumi, kemudian disuruh untuk memperbaiki kerusakan kerusakan yang ada padanya. Dalam mimpinya, beliau seolah-olah mengangkat salah satu tangannya ke langit dan yang tangan lainnya ke tempat air. Namun kemudian beliau terbangun dari tidurnya. Mimpi tersebut lalu ditakwilkan dan ternyata beliau menemukan jawabannya dalam sebuah kitab bahwa mimpi itu merupakan isyarat untuk menyusun kitab tafsir.
3. Karakteristik dan Metode Tafsir Ruh al-Ma’ani
Kitab tafsir Ruh al-Ma’ani di dalamnya terdiri dari 16 jilid dengan rincian:jilid 1 (635 halaman), jilid 2 (272 halaman), jilid 3 (416 halaman), jilid 4 (319 halaman), jilid 5 (270 halaman), jilid 6 (238 halaman), jilid 7 (399 halaman), jilid 8 (395 halaman), jilid 9 (431 halaman), jilid 10 (380 halaman), jilid 11 (251 halaman), jilid 12 (347 halaman), jilid 13 (206 halaman), jilid 14 (300 halaman), jilid 15 (248 halaman), dan jilid 16 (523 halaman). Diterbitkan Beirut dengan penerbit Dar al Kutub al Ilmiyah.
Apabila dilihat dari berbagai macam cara mufassir dalam menafsirkan al-Quran, maka dalam penafsirannya terhadap ayat-ayat al-Quran Imam al-Alusi menggunakan metode tahlili (analisis) dalam tafsirnya, dimana beliau memberikan penafsiran secara terperinci, yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai segi yang terkandung dalam ayat-ayat yang ditafsirkan secara berurutan sesuai dengan mushhaf Utsmani yakni dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas.Penafsiran yang mengandung metode tahlili salah satunya pada penafsiran Beliau dalam surat al-Kahfi: 60-70.
Sedangkan apabila ditinjau dari segi sumber, kitab Tafsir Ruh al-Ma’ani ini menggunakan pendekatan tafsir bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yis ekaligus, atau dengan kata lain menggabungkan antara riwayah dan dirayah, yakni pengambilan sumber panafsirannya berasal dari ayat al-Quran itu sendiri, hadis Nabi Saw, pendapat para sahabat dan tabi’in, serta tidak meninggalkan ra’yu-nya sendiri. Dalam penafsirannya, Imam al-Alusi jarang menggunakan ra’yunya sendiri, namun beliau lebih banyak menggunakan hadits dan pendapat ulama-ulama lain dalam penafsirannya. Misalnya dalam penafsiran surat al-Baqarah: 282.
Imam al-alusi juga menggunakan metode muqarin (perbandingan). Hal ini terlihat karena dalam memberikan penjelasan, Imam al-Alusi banyak mengutip pendapat para ahli yang berkompeten. Seringkali ia juga memiliki pendapat sendiri yang berbeda dengan pendapat yang dikutip. Bahkan ia kadang-kadang juga mengomentari dan terkadang juga menganggap kurang tepat diantara pendapat-pendapat yang disebutkannya. Melihat cara menjelaskan, tafsir Ruh al Ma’ani digolongkan ke dalam kelompok tafsir Muqarin/Komparatif (perbandingan). Hal ini terlihat ketika menafsirkan potongan ayat yang terdapat pada surat Ali Imran ayat 74. Selain itu juga Imam al-Alusi juga menggunakan metode ijmali (global). Hal ini terbukti dalam penafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an secara umum dan tidak memperincinya atau memberikan penjelasan yang singkat, satu contoh di antaranya adalah ketika menafsirkan surat Ali Imran ayat 73.
4. Contoh Penafsiran
Salah satu contoh yang membuktikan bahwa dalam menjelaskan makna suatu ayat Imam al-Alusi menggunakan hadis Nabi, hal ini dapat dilihat ketika menafsirkan kalimatورافعكمتوفعكyang terdapat pada surat ali Imranayat 55 yang artinya:
“(ingatlah), ketika Allah berfirman: "Hai Isa, Sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari kiamat. Kemudian Hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan diantaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya”.
Dalam satu riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Qatadah, ia berkata: “ redaksi ayat ini dapat dipahami bahwa ada yang di dahulukan dan ada yang dikemudiankan. Yakni : susunan kalimat itu adalah “Rafi’uka ilayya wa mutawaffika”. Inilah salah satu bentuk penta’wilan dalam menjelaskan (maksud) ayat itu, sesuai dengan petunjuk ayat pada tempat yang lain”.[6]
Dalam hal ini Rasulullah Saw., bersabda: “ Sesungguhnya Nabi Isaa.s belum mati dan bahwasanya ia akan kembali kepada kalian sebelumdatangnya hari kiamat”.
Kemudian yang dimaksud dengan “al-wafat” di sini adalah “alnaum” (tidur), karena kedua kata itu memiliki pengertian yang identik, sesuai dengan konteksnya dengan kata lain yang mengiringinya. Diriwayatkan dari al-Rabi’ bahwasanya Allah Swt., telah mengangkat Isa a.s. ke langit dan dia dalam keadaan tidur sebagai pertolongannya.
Contoh penafsiran lainnya dalam Q.S. Al-Kahfi ayat 60, yang artinya: Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.
al-Alusi menyangkal pendapat Ahli Kitab, sebagian ahli hadis dan ahli sejarah, yang mengatakan bahwa Musa yang terdapat dalam ayat tersebut adalah Musa ibn Afrasim ibn Yusuf, yaitu Musa yang diangkat sebagai Nabi sebelum Musa ibn Imran.
Menurut al-Alusi Musa yang terdapat dalam ayat tersebut adalah Musa ibn Imran, seorang Nabi dari Bani Israil. Pendapatnya ini didasarkan atas sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas yang menceritakan pengakuan Musa sebagai orang yang paling alim di depan Bani Israil, namun kemudian dikecam oleh Allah karena nanti dia akan dipertemukan dengan seseorang yang lebih pandai di Majma’ al-Bahrain.4.
Majma’ al-Bahrain adalah lokasi yang diyakini sebagai tempat bertemunya Nabi Musa dengan Nabi Khidir. Menurut al-Alusi, untuk mengetahui di mana letak Majma’ al-Bahrain, maka harus dilakukan penelusuran terhadap riwayat-riwayat yang shahih, di antaranya: Pertama,riwayat dari Mujahid, Qatadah, dan yang mengatakan bahwa Majma’al-Bahrain laut Persi dan Romawi. Kedua, Abu Hayyan berpendapat berdasarkan pendapat dari ibn Athiyyah bahwa Majma’ al-Bahrain itu berada di dekat Syam. Ketiga, Muhammad ibn Ka’ab berpendapat bahwa Majma’ al-Bahrain berada di Tanjah, yaitu pertemuan antara Laut Tengah dengan Laut Atlantik di Selat Gibraltar. Di antara ketiga riwayat yang dikemukakan tersebut, Al-Alûsî cenderung mengikuti pendapat yang pertama yang dinilai lebih shahih.
5. Penilaian Ulama tehadap Tafsir Ruh al-Ma’ani
Tafsir Ruh al-Ma’ani dinilai oleh sebagian ulama sebagai tafsir yang bercorak isyari (tafsir yang mencoba menguak dimensi makna batin berdasar isyarat atau ilham dan ta'wil sufi) sebagaimana tafsir al-Nisaburi. Namun anggapan ini dibantah oleh al-Dzahabi dengan menyatakan bahwa tafsir Ruh al-Ma’ani bukan untuk tujuan tafsir isyari, maka tidak dapat dikategorikan sebagai tafsir isyari. Al-Dzahabi memasukkan tafsir al-Alusike dalam tafsir bi al-ra’yi al-mahmud (tafsir berdasar ijtihad yang terpuji).
Ada ulama sependapat dengan al-Dzahabi, sebab memang maksud utama dari penulisan tafsir bukan untuk menafsirkan al-Quran berdasarkan isyarat isyarat, melainkan menafsirkan al-Quran berdasarkan apa yangdimaksud oleh lahirnya ayat dengan tanpa mengabaikan riwayat yang sahih. Meskipun tidak dapat diingkari, bahwa beliau juga memberikan penafsiran secara isyari, tetapi porsinya relatif lebih sedikit dibanding yang bukan isyari. Menentukan corak suatu tafsir mesti berdasarkan kecenderungan yang paling menonjol dari sekian kecenderungan.
Imam Ali al-Shabuni sendiri juga menyatakan bahwa Imam al-Alusi memang memberi perhatian kepada tafsir isyari, segi-segi balaghah dan bayan dengan apresiasi yang baik dan beliau lalu mengatakan bahwa tafsir al-Alusi dapat dianggap sebagai tafsir yang paling baik untuk dijadikan rujukan dalam kajian tafsir bi al-riwayah, bi al-dirayah dan isyarah.
Menurut al-Dzahabi dan Abu Syuhbah, tafsir Ruh al-Ma’ani merupakan kitab tafsir yang dapat menghimpun sebagian besar pendapat para mufassir dengan disertai kritik yang tajam dan pentarjih terhadap pendapat-pendapat yang beliau kutip. Di samping itu, sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab, Rasyid Ridha juga menilai bahwa Imam al-Alusi sebagai mufassir yang terbaik di kalangan ulama muta'akhkhirin karena keluasan pengetahuannya menyangkut pendapat-pendapat muta’akhkhirin dan mutaqaddimin. Namun, Imam al-Alusi tidak luput dari kritikan. Seperti tuduhan sebagai penjiplak pendapat ulama-ulama sebelumnya, karena tidak merubah redaksi-redaksi yang dikutipnya.
6. Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir Ruh Al-Ma’ani
Setelah menerangkan masalah metode penafsiran sebagaimana disebut di atas, ada beberapa kelebihan yang terdapat dalam kitab tafsir ini diantaranya :
· Imam al-Alusi dalam menafsirkan ayat-ayat sangat memperihatikan ilmu-ilmu tafsir atau ulum al-Quran seperti ilmu nahwu, balaghah,qira’at, asbab al-nuzul, munasabah dan sebagainya.
· Al-Alusi bersikap tegas terhadap riwayat-riwayat isra’iliiyat. Sebagaimana ketika menafsirkan surat Hud ayat 38, dalam menjelaskan lafal “al-fulk” meriwatkan khabar israiliyat dengan menyebutkan jenis kayu untuk membuat kapal, panjangnya, lebarnya,tingginya dan juga tempat pembuatan kapal dan seterusnya kemudian berkomentar, “keadaan sebenarnya dari kapal yang dikabarkan, aku rasa tidak dapat berlayar dengannya karena tidak bebas dari aib dan kekurangan, maka lebih afdhal mengimaninya bahwa Nabi Nuh membuat kapal sebagaimana yang telah dikisahkan oleh Allah dalam al-Qur’an, tanpa mengetahui jenis kayunya, pangjangnya, lebarnya,tingginya, dan lama pekerjaannya dan lain sebagainya, karena itu tidak diterangkan oleh al-Qur’an dan hadis yang shahih.[7]
· Menurut al-Shabuni tafsir al-Alusi adalah bahan rujukan yang terbaik dalam bidang ilmu tafsir riwayah, dirayah dan isyarah, serta meliputi ulama salaf maupun khalaf dan ahli-ahli ilmu.
· Dalam menjelaskan ayat-ayat hukum tidak ada kecenderungan untuk memihak kepada suatu mazhab tertentu setelah menyebutkan beberapa pendapat mazhab fiqih yang ada.
Disamping mempunyai beberapa kelebihan tafsir al-Alusi juga mempunyai kekurangan antara lain :
· Dalam membahas masalah ketata bahasaan, terkadang al-Alusi memberikan penjelasan secara luas. Sehingga melampaui kapasitasnya sebagai seorang mufassir.
· Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran, al-Alusi banyak menggunakan pendapat dari para ulama lainnya.
· Dalam pencantuman hadits, terkadang al-Alusi tidak menjelaskan tentang kualitas hadis.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nama lengkap al-Alusi adalah Abu al-Tsana’ Syihabuddin as-Sayyid Mahmud Afandi al-Alusi al-Baghdadi. Beliau adalah keturunan Imam al-Husain dari ayahnya dan keturunan imam al-Hasan (Ibnu Ali bin Abi Thalib) dari ibunya. Beliau dilahirkan kota Kurkh, Baghdad pada Jum’at 15 Sya’ban 1217 Hijriyah. Ia dikenal dengan nama al-Alusi, yaitu nama yang dinisbatkan kepada kampung yang bernama Alus, yaitu suatu pulau yang terletak di tepi barat sungai Efrat antara Syam dan Baghdad.
Salah satu karya yang ditinggalkan Imam al-Alusi kepada kita sampai saat sekarang ini adalah kitab tafsir yang diberi nama Ruh al-Ma’anifî Tafsr al-Quran al-‘Adzim wa as-Sab’ al-Matsani (semangat makna dalam tafsir al-Qur’an yang agung dan al-Fatihah). SetelahIia meninggal, kitab itu disempurnakan oleh anaknya, as-Sayyid Nu’man al-Alusi.
Kitab tafsir Ruh al-Ma’ani di dalamnya terdiri dari 16 jilid. Apabila dilihat dari berbagai macam cara mufassir dalammenafsirkan al-Quran, maka dalam penafsirannya terhadap ayat-ayat al-Quran Imam al-Alusi menggunakan metode tahlili (analisis) dalamtafsirnya,apabila ditinjau dari segi sumber, kitab Tafsir Ruh al-Ma’ani ini menggunakan pendekatan tafsir bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yisekaligus.
Tafsir Ruh al-Ma’ani dinilai oleh sebagian ulama sebagai tafsir yang bercorak isyari (tafsir yang mencoba menguak dimensi makna batin berdasar isyarat atau ilham dan ta'wil sufi) sebagaimana tafsir al-Nisaburi. Namun anggapan ini dibantah oleh al-Dzahabi dengan menyatakan bahwa tafsir Ruh al-Ma’ani bukan untuk tujuan tafsir isyari, maka tidak dapat dikategorikan sebagai tafsir isyari. Al-Dzahabi memasukkan tafsir al-Alusi ke dalam tafsir bi al-ra’yi al-mahmud (tafsir berdasar ijtihad yang terpuji).
B. Kritik dan Saran
Demikian yang dapat penulis sajikan, mungkin banyak kesalahan atau kekeliruan dalam menulis karena ini semua jauh dari kesempurnaan penulis. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca agar penulis bisa memperbaiki makalah ini menjadi lebih baik. Dan semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Alusi, Abu al Sana Shihab al Din al Sayyid Mahmud al-, Ruh al Ma’ani Fi Tafsiral Qur’an al Azimwa al Sab’ al Matsani, jilid 2,Beirut: Dar al Kutub al‘Ilmiyah, 1994.
Dzahabi, Muhammad Husain al-, TafsirWa al-Mufassirūn, Juz 1, Kairo: Dar al-Hadits, 2005.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 1. Jakarta: IchtiarBaru Van Hoeve, 1993.
http://muhyi414.blogspot.com/2012/04/imam-al-alusi.html.Diakses 1 Oktober 2018
[1] Muhammad Husain adz-Dzahabiy, at-Tafsir wa al-Mufassirun (Qahirah: Dar al-Hadits,
1426), Juz. 1. hlm. 300.
[2] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 1 (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1993), hlm. 161.
[3] Ibid., hlm. 33.
[4] Ibid., hlm. 161
[5] Muhammad Husain adz-Dzahabiy, at-Tafsir wa al-Mufassirun(Qahirah: Dar al-Hadits,
1426), Juz. 1. hlm. 356.
[6] Al-Alusi. Jilid 2. hlm. 185.
[7] http://muhyi414.blogspot.com/2012/04/imam-al-alusi.html. Diakses 1 Oktober 2018
Post a Comment for "MAKALAH TAFSIR RUH AL-MA’ANI KARYA AL-ALUSI"