MAKALAH TAFSIR AYAT AYAT AL QURAN TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL
MAKALAH
TAFSIR AYAT AYAT AL QURAN TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL
Mata kuliah : Tafsir Sains dan Teknologi
Dosen pembimbing : Ali Mahfudz M.S,I
Disusun oleh :
MONIKA RUSTIANA PUTRI (1631038)
Fakultas Ushuludin (IQT / V)
Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Kebumen
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al Quran adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW , dengan perantara Malaikat Jibril AS secara berangsur angsur yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas atas petunjuk tersebut serta sebgai pembeda atas haq dan bathil agar bias membebaskan manusia dari kesesatan menuju jalan yang lurus. Maka, atas dasar tersebut, saya mencoba membahas tentang tanggung jawab social yang terdapat pula dalam ayat ayat al quran diantaranya ada QS.Adz-dzariyyat ayat 19 dan ada pula ayat yang lainnya.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang saya masukan dalam makalah saya ini antara lain :
1. Apa kandungan yang terdapat dalam Al Quran Adz-Dzariyyat ayat 19?
2. Apa isi kandungan dalam Al Quran surat Al Maarij ayat 24-25?
Tujuan Penulisan
Ada beberapa tujuan yang saya tulis dalam makalah ini diantaranya :
1. Untuk mengetahui pengertian tanggung jawab social?
2. Untuk mengetahui isi kandungan dalam QS. Adz Dzariyyat ayat 19?
3. Untuk mengetahui isi kandungan dalam QS. Al Maarij ayat 24-25 ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tanggung Jawab Sosial
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Tanggung Jawab Sosial adlah keadaan wajib yang menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya ) yang berhubungan dengan manuisa sebagai makhluk yang social.
B. Tafsir QS. Adz Dzariyyat ayat 19
وفي امولهم حق اللسا ءل والمحرم
Artinya : Dan pada harta harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.
Asbabun nuzul
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Al Hasan bin Muhammad bin Hanafiyah bahwa suatu ketika Rasulullah SAW mengetus sekelompok pasukan. Pasukan tersebut berhasil meraih kemenangan dan mendapatkan banyak harta rampasan. (Ketika akan dilangsungkan pembagian ) dating sekelompok orang untuk meminta bagian dari harta tersebut. Tidak lama kemudian maka turunlah ayat ini .
Ibnu Jarir dan Ibnu Mardawiah meriwayatkan sebuah hadist dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi Muhammad SAW pernah menerangkan siapa yang tergolong orang miskin itu, dengan sabdanya :
“Bukanlah orang msikin itu yang dapat ditolak atau disuruh pulang dengan pemberian sebiji atau dua biji kurma atau sesuap atau dua suap makanan. Beliau ditanya “(jika demikian)” . Siapakah yang dinamakn orang miskin itu ?dan beliau menjawab, “Orang yang tidak mempunyai apa yang diperlukan dan apa yang tidak dikenal tempatnya sehingga tidak diberikan sedekah kepadanya.” itulah orang yang mahrum (tidak dapat bagian) . (H.R Ibnu Jarir dari Ibnu mardawaih dari Abu hurairah.)
C. Tafsir QS. Al Maarij Ayat 24-25
والذين في امولهم حق معلو م 24 اللسا ءىل والمحروم 25
Artinya : Dan orang orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu , bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa apa (yang tidak mau meminta) .
Sebelumnya Alloh juga menyebutkan “As-sa il wa al-mahrum “ dalam surat adz dzriyat ayat 19 orang orang yang dermawan ., menyediakan dan meluangkan waktunya serta harta yang diberikan alloh padanya berbagi dengan kaum du’afa . Jika mereka meminta dan kita tahu dia sangat membutuhkan bantuan, maka selayaknya kita membantunya. Sahabt Husen bin Ali RA meriwayatkan hadist Rasullullah SAW “Bagi seorang peminta hak (untuk ditolong) meskipun dia dating dengan mengendarai kuda .”( HR. Abu Dawud dari Sufyan Ats Tsaury) . Apalagi orang orang fakir yang kita tahu ia sangat perlu bantuan , meskipun tak mengucapkan satu kata pun. Kita sangat perlu dan wajib mengulurkan bantuan padanya.
D. Tafsir QS. Al baqarah ayat 195, dan 261
Qs Al-Baqoroh ayat 177
۞لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلۡكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۧنَ وَءَاتَى ٱلۡمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلۡمُوفُونَ بِعَهۡدِهِمۡ إِذَا عَٰهَدُواْۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِي ٱلۡبَأۡسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلۡبَأۡسِۗ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُتَّقُونَ ١٧٧
Artinya : Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Ayat ini mencakup sendi-sendi yang agung, kaidah-kaidah yang umum, dan aqidah yang lurus.Penafsiran ayat ini adalah, ketika pertama kali Allah swt.memerintahkan orang-orang mukmin menghadap Baitul Maqdis dan kemudian Dia mengalihkan ke Ka’bah, sebagian Ahlul Kitab dan kaum muslimin merasa keberatan. Maka Allah memberikan penjelasan mengenai hikmah pengalihan kiblat tersebut, yaitu bahwa ketaatan kepada Allah swt, patuh pada semua perintah-Nya, menghadap ke mana saja yang diperintahkan, dan mengikuti apa yang telah disyari’atkan, inilah yang disebut dengan kebaikan, ketakwaan, dan keimanan yang sempurna.
Menghadap ke arah timur ataupun barat tidak dihitung sebagai kebaikan dan ketaatan jika bukan karena perintah dan syari’at Allah. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: laisal birra an tuwalluu wujuuHakum bibalal masy-riqi wal maghribi wa laakinnal birra man aamana billaaHi wal yaumil aakhiri (“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian..”)
- QS. Al-Baqoroh Ayat 195
وَأَنفِقُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلۡقُواْ بِأَيۡدِيكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ وَأَحۡسِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٩٥
Artinya: Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
“Dalam ayat ini, Allah SWT memerintahkan para hamba-Nya agar berinfak (membelanjakan harta) di jalan Allah, yaitu mengeluarkan harta di jalan-jalan menuju Allah.Yakni setiap jalan kebaikan seperti bersedekah kepada si miskin, kerabat atau memberikan nafkah kepada orang yang menjadi tanggungan.
Yang paling agung dan hal pertama yang termasuk kategori itu adalah infak dalam jihad fi sabilillah. Sesungguhnya, berinfak dalam hal itu merupakan jihad dengan harta yang juga wajib, sama seperti jihad dengan badan. Infak tersebut banyak sekali mashlahatnya seperti membantu dalam memperkuat barisan kaum Muslimin, melemahkan syirik dan para pelakunya, mendirikan dienullah dan memperkuatnya.
Jadi, jihad fi sabilillah tidak akan terealisasi kecuali dengan adanya infak sebab infak ibarat roh (nyawa) baginya, yang tidak mungkin ada tanpanya. Dengan tidak berinfak di jalan Allah, itu artinya membatalkan jihad, memperkuat musuh dan menjadikan persekongkolan mereka semakin menjadi. Dengan begitu, firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” menjadi seperti alasan atas hal itu. “Menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan” (teks arabnya, al-Ilqaa’ bi al-Yad) kembali kepada dua hal: Pertama, meninggalkan apa yang seharusnya diperintahkan kepada seorang hamba, jika meninggalkannya itu mengandung konsekuensi -atau hampir mendekati- binasanya badan atau jiwa dan mengerjakan apa yang menjadi sebab kebinasaan jiwa atau roh. Termasuk juga ke dalam kategori ini beberapa hal pula, di antaranya: meninggalkan jihad fi sabilillah atau berinfak di jalannya di mana konsekuensinya adalah menjadikan musuh berkuasa, tipuan diri untuk berperang, bepergian yang mengandung resiko, ke tempat yang banyak binatang buas atau ularnya, memanjat pohon, bangunan yang berbahaya dan semisalnya. Ini dan semisalnya termasuk kategori orang yang menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan. Di antara hal lain yang termasuk ‘menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan’ adalah melakukan maksiat terhadap Allah SWT dan berputus asa untuk bertaubat.
Ke-dua, meninggalkan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan Allah di mana meninggalkannya merupakan bentuk kebinasaan bagi jiwa dan agama.
Manakala infak di jalan Allah tersebut merupakan salah satu jenis berbuat baik (Ihsan), maka Allah menyuruh berbuat baik secara umum.Dia berfirman, “Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” Ini mencakup semua jenis berbuat kebaikan sebab Dia tidak mengaitkannya dengan sesuatu tanpa harus adanya sesuatu yang lain, sehingga termasuk di dalamnya berbuat baik dengan harta seperti yang telah dikemukakan di atas.
Termasuk juga, berbuat baik dengan kehormatan diri berupa pemberian ‘syafa’at’ (pertolongan) dan sebagainya. Termasuk pula, beramar ma’ruf nahi munkar, mengajarkan ilmu yang bermanfa’at, membantu orang yang sedang dalam kesusahan, menjenguk orang sakit, melawat jenazah, menunjuki jalan kepada orang yang tersesat, membantu orang yang mengerjakan suatu pekerjaan, bekerja untuk orang yang tidak bisa melakukannya dan bentuk kebaikan lainnya yang diperintahkan Allah SWT. Termasuk juga berbuat baik (ihsan) dalam beribadah kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana yang disebutkan Rasulullah SAW dalam haditsnya mengenai apa itu ihsan, “Bahwa kamu menyembah Allah SWT seakan-akan kamu melihat-Nya, jika kamu tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Siapa saja yang memiliki sifat-sifat seperti di atas, maka ia termasuk orang yang Allah sebut, “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga).” (QS.Yunus:26) Allah SWT akan selalu bersamanya; memberikannya ketepatan (dalam tindakan dan perkataan), membimbingnya dan menolongnya dalam segala hal.” (Taysiir al-Kariim ar-Rahmaan Fi Tafsiir Kalaam al-Mannaan karya Syaikh Naashir as-Sa’idi berkenaan dengan ayat tersebut).
- QS. Al-Baqoroh Ayat 261
مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتۡ سَبۡعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنۢبُلَةٖ مِّاْئَةُ حَبَّةٖۗ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ ٢٦١
Artinya: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
(مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ) Dalam kitab tafsirnya, al-Thabari menyontohkan infak seperti di jalan Allah seperti jihad dengan nyawa dan hartanya. (كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّئَةُ حَبَّةٍ) Mereka yang berjihad diumpamakan seperti benih yang ditanam dan tumbuh setiap benihnya tujuh ratus cabang. Al-Thabari mengutip riwayat dari Musa ibn Burhan, dikatakan bahwa orang yang berinfak di jalan Allah akan dilipatgandakan pahalanya sebanyak tujuh ratus kali.
(وَاللّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ) Al-Thabari menjelaskan bahwa Allah akan melipatgandakan pahala hambanya setelah berinfak di jalanNya. Orang-orang yang berinfak demi mengharap keridhaan Allah, maka tidak akan pernah hartanya berkurang.
E. Tafsir QS. An-Nisa Ayat 36-37
۞وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا وَبِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡجَارِ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡجَارِ ٱلۡجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلۡجَنۢبِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخۡتَالٗا فَخُورًا ٣٦ ٱلَّذِينَ يَبۡخَلُونَ وَيَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبُخۡلِ وَيَكۡتُمُونَ مَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٗا مُّهِينٗا ٣٧
Artinya: Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.
Allah Ta'ala dalam ayat ini memerintahkan kita hanya menyembah kepada-Nya saja dan mengarahkan berbagai bentuk ibadah kepada-Nya, baik berdoa, meminta pertolongan dan perlindungan, ruku' dan sujud, berkurban, bertawakkal dsb.serta masuk ke dalam pengabdian kepada-Nya, tunduk kepada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan rasa cinta, takut dan harap serta berbuat ikhlas dalam semua ibadah baik yang nampak (ibadah lisan dan anggota badan) maupun yang tersembunyi (ibadah hati). Allah Ta'ala juga melarang berbuat syirk, baik syirk akbar (besar) maupun syirk asghar (kecil).
Syirk Akbar (besar) adalah syirk yang biasa terjadi dalam uluhiyyah maupun rububiyyah. Syirk dalam Uluhiyyah yaitu dengan mengarahkan ibadah kepada selain Allah Ta’ala, misalnya berdo’a dan meminta kepada selain Allah, ruku’ dan sujud kepada selain Allah, berkurban untuk selain Allah (seperti membuat sesaji untuk jin atau penghuni kubur), bertawakkal kepada selain Allah dan mengarahkan segala bentuk penyembahan/ibadah lainnya kepada selain Allah Ta’ala. Sedangkan syirk dalam rububiyyah yaitu menganggap bahwa di samping Allah ada juga yang ikut serta mengurus alam semesta. Syirk dalam uluhiyyah dan rububiyyah termasuk syirk akbar. Sedangkan Syirk Asghar (kecil) adalah perbuatan, ucapan atau niat yang dihukumi oleh agama Islam sebagai Syirk Asghar karena bisa mengarah kepada Syirk Akbar.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Tanggung Jawab Sosial Adalahkeadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya) yang berhubungan dengan manusia sebagai makhluk sosial.
QS. Adz-Dzariyat ayat 19 menjelaskan bahwa pada harta kita selaku manusia cipataan Allah yang beriman ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”.
QS Al-Ma’arij ayat 24-25 menjelaskan bahwa orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).
Sebelumnya Allah juga menyebut ”as-sâ`il wa al-mahrûm” dalam ayat 19, surat adz-Dzâriyât. Orang-orang yang dermawan, menyediakan dan meluangkan waktunya serta harta yang diberikan Allah padanya berbagi dengan kaum dhu’afa.Jika mereka meminta dan kita tahu dia sangat membutuhkan bantuan, maka selayaknya kita membantunya. Sahabat Husein bin Ali ra meriwayatka hadits Rasulullah saw,”Bagi seorang peminta hak (untuk ditolong) meskipun dia datang dengan mengendarai kuda” (HR. Abu Dawud dari Sufyan Ats-Tsaury). Apalagi orang-orang fakir yang kita tahu ia sangat perlu bantuan, meskipun lidahnya tak mengucapkan satu kata pun. Kita sangat perlu dan wajib mengulurkan bantuan padanya.
B. Saran
Untuk para pembaca hendaklah menyadari bahwa begitu pentingyan ilmu untuk kita dalam menjalankan hidup di dunia ini, karena itu rajin-rajinlah mencari dan terus mencari ilmu supaya dalam menjalani hidup untuk ibadah ini bisa lebih berkah guna mendapatkan ridha Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
http://kbbi.web.id/tanggung jawab
Abu Yahya Marwan bin Musa. Tafsir Hidayatul Insan. www.web.id. PDF
Post a Comment for "MAKALAH TAFSIR AYAT AYAT AL QURAN TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL"