MAKALAH INGKARUS SUNNAH KLASIK DAN MODERN
MAKALAH
INGKARUS SUNNAH KLASIK
DAN MODERN
Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah
Metodologi
Penelitian Hadis
Disusun Oleh :
Muh. Amin (1631034)
PRODI ILMU AL QUR’AN
DAN TAFSIR IV
FAKULTAS USHULUDIN DAN
DAKWAH
IAINU KEBUMEN
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugrah
dari-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Inkarus Sunnah Klasik dan
Modern” Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar
kita, Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang
lurus berupa ajaran agama islam yang sempurna dan menjadi anugrah terbesar bagi
seluruh alam semesta.
Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang
menjadi tugas makul metodologi penelitian hadis tentang “Inkarus Sunnah Klasik
dan Modern”. Disamping itu, kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu kami selama pembuatan makalan ini berlangsung
sehingga dapat terealisasikanlah makalah ini.
Demikian
yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini agar
kedepannya dapat kami perbaiki. Karena kami sadar, makalah yang kami buat ini
masih banyak terdapat kekurangannya.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. 1
KATA PENGANTAR ............................................................................... 2
DAFTAR ISI .............................................................................................. 3
KATA PENGANTAR ............................................................................... 2
DAFTAR ISI .............................................................................................. 3
BAB I
PENDAHULUAN..........................................................................
4
A. Latar Belakang...................................................................................
4
B. Rumusan Masalah...............................................................................
4
C. Tujuan Penulisan.................................................................................
4
BAB II
PEMBAHASAN............................................................................
5
A.
Pengertian Ingkarus Sunnah..............................................................
5
B.
Sejarah Perkembangan Ingkarus Sunnah..........................................
5
C.
Gejala Awal Ingkarus Sunnah...........................................................
6
D.
Ingkarus Sunnah Klasik....................................................................
7
E.
Ingkarus sunnah Modern...................................................................
10
BAB III PENUTUP....................................................................................
13
A. Kesimpulan.........................................................................................
13
B. Saran .................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................
14
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama dan manusia memiliki hubungan yang sangat erat kaitannya,
karena agama sangat dibutuhkan oleh manusia agar manusia memiliki pegangan
hidup. Dengan ilmu kehidupan manusia akan bermutu, dengan agama kehidupan
manusia akan lebih bermakna, dengan ilmu dan agama kehidupan manusia akan
sempurna dan bahagia. Sebagai sebuah disiplin ilmu, Metodologi Penelitian Hadis
merupakan komponen ilmu yang dikaji pada setiap fakultas ilmu-ilmu keislaman.
Mempelajari mata kuliah Metodologi Penelitian Hadis, merupakan
salah satu kwajban mahasiswa fakultas Ushuluddin. Dengan tujuan memperdalam dan
meningkatkan keimanan serta ketaqwaan kepada Allah, sehingga terwujudlah
mahasiswa yang cerdas, beriman, bertaqwa berdasarkan nilai-nilai yang terkandung
di dalam Al Qur’an dan Al Hadits.
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan
dibahas dalam proses penyusunan makalah ini adalah :
1.
Gejala awal ingkarus sunnah
2.
Ingkarus sunnah klasik
3.
Ingkarus sunnah modern
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan
makalah ini adalah
1.
Untuk mengetahui awal perkembangan ingkarus
sunnah
2.
Untuk mengetahui hal yang berkaitan dengan
ingkarus sunnah klasik dan ingkarus sunnah modern
BAB II
PEMBAHASAN
INGKARUS SUNNAH KLASIK DAN MODERN
A.
Pengertian
Ingkarus Sunnah
Ingkarus
sunnah adalah sikap penolakan terhadap sunnnah Rasul, baik sebagian ataupun
keseluruhannya. Mereka membuat metodologi tertentu dalam menyikapi sunnah. Hal
ini mengakibatkan tertolaknya sunnah, baik sebagian maupun keseluruhannya.[1]
Ensiklopedi
Islam Indonesia mendefisinikan ingkarus sunnah sebagai “paham yang timbul dalam
masyarakat Islam yang menolak hadis atau sunnah sebagai sumber ajaran agama
Islam kedua setelah al-Qur’an.” Sedangkan Abdul Majid Khon mendefisinikan
ingkarus sunnah sebagai suatu paham yang timbul pada sebagian minoritas umat
Islam yang menolak dasar hukum dari sunnah shahihah baik sunah praktis maupun
yang secara formal dikodifikasikan para ulama, tanpa ada alasan yang dapat
diterima oleh para ulama.[2]
Sebagian
kelompok ingkarus sunnah menamakan dirinya al-Qur’aniyyun seperti yang terjadi
di India. Ada lagi kelompok Qur’ani atau al-Qur’an suci seperti yang terjadi di
Indonesia. Penamaan ini tampaknya berasal dari mereka untuk memberi kesan bahwa
mereka adalah orang-orang yang multazim atau berpegang teguh kepada al-Qur’an.
Dalam
prakteknya, ulama seperti Imam Syafi’i, member golongan yang mengingkari sunnah
menjadi tiga golongan:
1.
Golongan
yang menolak seluruh sunnah, baik yang mutawatir maupun ahad.
2.
Golongan
yang menolak sunnah kecuali sunnah tersebut memiliki kesamaan dengan petunjuk
al-Qur’an (as-sunnah al-mu’akkidah).
3.
Golongan
yang menolak sunnah yang berstatus sebagai ahad. Golongan ini hanya menerima
sunnah yang berstatus mutawatir.
B.
Sejarah
Perkembangan Ingkarus Sunnah
1.
Gejala
Awal Ingkarus Sunnah
Belum
ada atau tidak ditemukan bukti sejarah yang kuat yang menjelaskan bahwa bahwa
pada zaman Nabi ada dari kalangan umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah
satu sumber ajaran Islam. Dalam sejarah para sahabat tidak skeptic dalam
mendengar, meriwayatkan dan melaksanakan sunnah yang dating dari Nabi Saw. Di
masa hidup beliau, tidak ada sahabat yang mendustakannya, atau tidak
mempercayai sabda-sabdanya, atau berani berdusta atas nama beliau.[3]
Memang
, Ahmad Amin budayawan dan sejarawan Mesir lahir pada 1878 dan wafat pada 1954
memberikan analisis berbeda dengan realita sejarah terhadap hadis Nabi Saw:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ
النَّارِ
Menurutnya, hadis ini memberikan
gambaran bahwa kemungkinan besar pada masa Nabi Saw. Telah terjadi pemalsuan
hadis dan pendustaan kepada beliau. Dan sabab al-wurud hadis ini kemungkinan
besar dilator belakangi adanya pendustaan terhadap beliau. Hanya saja, pendapat
ini mengandung kelemahan baik dilihat dari segi bukti historis, sikap sahabat
terhadap segala yang berasal dari Nabi, serta tidak adanya dukungan data hadis
yang dibuat pada masa Nabi. Pendapatnya itu hanya didasarkan pada dugaan tersirat
(mafhum) hadis tersebut.[4]
Gejala
paling awal, menurut Mahmud Muhammad Mazru’ah, telah terjadi di zaman
Rasulullah sendiri. Beliau mengutip hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dan lain-lain dari sahabat
Zubair bin Awwam yang bertengkar dengan seorang laki-laki Anshar dalam masalah
pengairan kebun. Rasulullah memutuskan supaya Zubair mengairi kebunnnya
terlebih dahulu baru kemudian mengalirkan air tersebut ke kebun tetangganya
yang Anshar. Laki-laki Anshar tersebut memprotes keputusan Nabi seraya berkata
“Apakah karena dia itu anak bibiMu (sehingga engkau memutuskan seperti itu)?”.
Berubahlah wajah Rasulullah seketika itu (karena marah), lalu berkata sekali
lagi: “Airilah (wahai Zubair)! Kemudian tahan airnya sampai mata kaki”. Lalu
turunlah ayat al-Qur’an surat an-Nisa ayat 65. Zubair berkata”Demi Allah aku
tidak berpendapat bahwa ayat ini turun kecuali dalam peristiwa ini”.[5]
Kendati
demikian peristiwa tersebut tidak dianggap oleh sejarawan sebagai tindakan
mengingkari sunnah Rasulullah. Hal ini karena asing dan jarangnya kejadian
seperti itu, lagi pula pelakunya pun segera rujuk atau kembali kejalan yang
benar sehingga pengaruhnya juga tidak signifikan.
Riwayat
lain dikemukakan oleh Imam Hasan al-Bashri menuturkan bahwa ketika sahabat Nabi
Saw. Imran bin Hushain (w. 52 H) sedang mengajarkan hadis, tiba-tiba ada
seorang yang emoting pembicaraan beliau lalu bertanya: “Wahai Abu Nujaid”,
(nama panggilan “Imran), berilah kami pelajaran al-Qur’an saja.
Imran
bin Hushain lalu meminta agar orang tersebut maju ke depan. Setelah itu beliau
bertanya, “Bagaimana pendapatmu seandainya kamu dan kawan-kawanmu hanya memakai
al-Qur’an saja, apakah kamu dapat menemukan dalam al-Qur’an bahwa shalat zuhur
empat rakaat, salat ashar empat rakaat, dan shalat magrib tiga rakaat? Apabila
hanya memakai al-Qur’an saja, dari mana kamu tahu bahwa tawaf dan sa’i antara
Shafa dan Marwah itu tujuh kali?
Mendengar
jawaban itu orang tadi berkata, “Engkau telah menyadarkan aku, mudah-mudahan
Allah selalu menyadarkan engkau”. Akhirnya , kata al-Hasan al- Bashri- sebelum
wafat orang itu menjadi tokoh ahli fiqih.
Imam
Hasan al-Bashri tidak menyebutkan siapa nama orang yang tidak mau diberi
pelajaran hadis tadi. Namun kisah ini menunjukan bahwa pada masa yang sangat
dini sudah muncul gejala-gejala ketidakpedulian terhadap hadis di mana dalam
perkembangan selanjutnya hal ini menjadi ‘cikal-bakal’ munculnya paham yang
menolak hadis sebagai salah satu sumber syariat Islam, yang kemudian lazim
dikenal inkar-sunnah.[6]
2.
Ingkarus
Sunnah Klasik
Pada
awal masa Abasiyah (750-1258 M), barulah muncul secara jelas sekelompok kecil umat
Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Musthafa
al-Siba’I juga mengungkapkan bahwa abad kedua (hijriyah) belum berlalu, sunnah
telah diuji oleh mereka yang mengingkari kehujahannya sebagai salah satu sumber
hukum penetapan syariat Islam, baik yang mengingkarinya secara mutlak, maupun
yang mengingkari sunah yang tidak mutawattir, dan yang mengingkari al-sunnah
bal-ustaqillah- sunnah yang bukan merupakan penjelasan dan bukan pula
penguat al-Qur’an. Terhadap yang terakhir ini, sunah yang berdiri sendiri, Imam
Ibnu Qayyim menyatakan bahwa ini bukan berarrti mendahulukan sunnah dari
al-Qur’an, tetapi justru menaati perintah Allah supaya mengikuti RasulNya.
Kalau dalam hal ini Rasul tidak diikuti, maka tiada maknanya ketaatan kepadaNya,
dan gugurlah ketaatan kepada Rasul yang bersifat khusus (pada hal-hal yang
tidak dinyatakan al-Qur’an).[7]
Hal
tersebut dapat dipahami dari penjelasan Imam al-Syafi’I (Imam madzhab fikih w.
204 H) di dalam kitab Jima’ al-Ilmi yang merupakan bagian dari kitab al-Umm.
Di situ ia membuat fasal khusus yang memuat panjang lebar perdebatannya dengan
orang yang disebut sebagai “ ahli tentang mazhab kawan-kawannya’ yang menolak
sunnah secara keseluruhan. Di antara argument yang dikemukakan kelompok
ingkarus sunnah secara rinci sebagai berikut:[8]
a.
Al-Qur’an
turun sebagai penerang atas segala sesuatu, bukan yang diterangkan. Jadi
al-Qur’an tidak memerlukan keterangan dari sunnah.
b.
Al-Qur’an
bersifat qat’iy (pasti, absolute kebenarannya), sedang sunnah bersifat dzanniy
(bersifat relative kebenarannya) maka jika terjadi kontradiksi antara keduannya
sunnah tidak dapat berdiri sendiri sebagai produk hukum baru.
c.
Jika
di antara fungsi sunnah sebagai penguat (muakkidah) terhadap hukum di dalam
al-Qur’an, maka yang diikuti adalah al-Qur’an, bukan sunnah.
d.
Jika
sunnah merinci (tafshil) keglobalan ayat al-Qur’an, maka tidak mungkin
terjadi al-Qur’an yang bersifat qat’iy diterangkan dengan sunnah yang
bersifat dzanniy dan tidak kafir pengingkarannya.
e.
Sunnah
mutawatirah tidak dapat member kepastian (qat’iy) karena prosesnya
melalui ahad. Boleh jadi, di dalamnya terdapat kebohongan.
Semua
argumentasi yang dikemukakan orang tersebut dapat ditangkis dan dipatahkan oleh
Imam al-Syafi’iy dengan jawaban yang argumentative, ilmiah, dan rasional,
sehingga akhirnya ia mengakui dan menerima sunah Nabi sebagai hujjah.
Karenannya Imam Syafi’I diberi julukan sebagai nashir al-sunnah (pembela
sunnah).
Sementara
menjelang akhir abad kedua Hijriyah muncul kelompok yang menolak sunnah sebagai
salah satu sumber syariat Islam, di samping ada pula yang menolak sunnah yang
bukan mutawatir saja.[9] Di
antara kelompok tersebut adalah :
a.
Khawarij
dan Sunnah
Kata khawarij merupakan bentuk jamak dari kata kharij, yang berarti
‘sesuatu yang keluar’. Sementara menurut terminologis, khawarij adalah kelompok
atau golongan yang keluar dan tidak loyal kepada pimpinan yang sah. Dan yang
dimaksud dengan Khawarij di sini adalah golongan tertentu yang
memisahkan diri dari kepemimpinan Ali bin Abi Thalib r.a. Apakah khawarij
menolak Sunnah? Ada sebuah sumber yang menuturkan bahwa hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh sahabat sebelum kejadian fitnah (perang saudara antara Ali
bin Abu Thalib r.a. dan Muawiyah r.a.) diterima oleh kelompok khawarij.
Dengan alasan bahwa sebelum kejadian itu para sahabat dinilai sebagai
orang-orang yang adil. Namun setelah kejadian fitnah tersebut, kelompok Khawarij
menilai mayoritas sahabat Nabi Saw. Sudah keluar dari Islam. Akibatnya,
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat sesudah kejadian itu di tolak
kelompok Khawarij.[10]
b.
Syiah
dan Sunnah
Kata Syi’ah berarti para pengikut atau para pendukung. Secara
terminologis, Syi’ah sdalah golongan yang menganggap bahwa Ali bin Abu Tholib
r.a. lebih utama dari khalifah sebelumnya (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) dan
berpendapat bahwa Ahl-Bait (keluarga Nabi Saw.) lebih berhak menjadi
khalifah daripada yang lain.
Golongan syi’ah menganggap bahwa bahwa sepeninggal Nabi Saw.,
moyoritas para sahabat sudah murtad (keluar dari Islam), kecuali
beberapa orang saja yang menurut mereka masih tetap Muslim. Karena itu,
golongan Syi’ah menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh mayoritas para
sahabat tersebut. Syi’ah hanya menerima hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ahl
Al-Bait saja.[11]
c.
Mu’tazilah
dan Sunnah
Arti kebahasaan dari kata mu’tazilah adalah “sesuatu yang
mengasingkan diri”. Sementara yang dimaksud disini adalah golongan yang
mengasingkan diri dari mayoritas umat Islam karena mereka berpendapat bahwa
seorang Muslim yang fasiq (berbuat maksiat) tidak dapat disebut mukmin atau
kafir. Adapun golongan Ahl As-Sunnah berpendapat bahwa orang Muslim yang
berbuat maksiat tetap sebagai mukmin, meskipun ia berdosa. Pendapat Mu’tazilah
ini muncul pada masa Al-Hasan Al-Bashri, dan dipelopori oleh Washil Bin Ata (w.
131 H).[12]
Apakah Mu’tazilah menolak sunnah? Syeikh Muhammad al-Khudhari Beik
berpendapat bahwa Mu’tazilah menolak sunnah. Pendapat ini berdasarkan adanya
diskussi antara Imam Syafi’I (w. 204 H) dan kelompok yang mengingkari sunnah. Sementara
kelompok atau aliran yang ada pada waktu itu di Basrah Irak adalah Mu’tazilah.
Prof. Dr. al-Siba’I tampaknya sependapat dengan pendapat al-Khudari.
Ulama Mu’tazilah yang tampak menolak sunnah yaitu Abu Ishaq Ibrahim
bin Sajyar, yang popular dengan sebutan al-Nadhdham (w. 221-223 H). ia
mengingkari kemukjizatan al-Qur’an dari segi susunan bahasanya, mengingkari
mukjizat Nabi Muhammad Saw., dan mengingkari hadis yang tidak dapat memberikan
pengertian yang pasti untuk dijadikan sebagai sumber syari’at Islam.
3.
Ingkarus
Sunnah Modern
Sejak
abad ketiga sampai abad keempat belas Hijriyah, tidak ada catatan sejarah yang
menunjukan bahwa di kalangan umat Islam terdapat pemikiran-pemikiran untuk
menolak sunnah sebagai salah satu sumber syari’at Islam, baik secara
perseorangan maupun kelompok. Pemikiran untuk menolak sunnah yang muncul pada
abad I H (ingkarus sunnah klasik) sudah lenyap ditelan masa pada akhir abad III
H.[13]
Pada
abad keempat belas hijriyah, pemikiran seperti itu muncul kembali ke permukaan,
dan kali ini dengan bentuk dan penampilan yang berbeda dari ingkarus sunnah
klasik. Apabila ingkarus sunnah klasik muncul di Basrah, Irak akibat
ketidakahuan sementara orang terhadap fungsi dan kedudukan sunnah, ingkarus
sunnah modern muncul akibat pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin
melumpuhkan dunia Islam.[14]
Kapankah
aliran ingkarus sunnah modern itu lahir? Muhammad Mustafa Azami
menuturkan bahwa ingkarus sunnah modern lahir di Kairo Mesir pada masa
Syeikh Muhammad Abduh (1266-1323 H/ 1849-1905 M). Dengan kata lain, Syeikh
Muhammad Abduh adalah orang yang pertama kali melontarkan gagasan ingkarus
sunnah pada masa modern. Pendapat Azami ini masih di beri catatan, apabila
kesimpulan Abu Rayyah dalam kitab Adhwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyah itu
benar.
Abu
Rayyah menuturkan bahwa Syeikh Muhammad Abduh berkata, “ Umat Islam pada masa
sekarang ini tidak mempunyai imam (pimpinan) selain al-Qur’an, dan Islam yang
benar adalah Islam pada awal sebelumnya terjadi
fitnah (perpecahan)”. Beliau juga berkata, “Umat Islam sekarang
tidak mungkin bangkit selama kitab-kitab ini (maksudnya kitab-kitab yang
diajarkan di al-Azhar dan sejeninya) masih tetap diajarkan. Umat Islam tidak
mungkin maju tanpa ada semangat yang menjiwai umat Islam abad pertama, yaitu al-Qur’an. Semua
hal selain al-Qur’an akan menjadi kendala yang menghalangi antara al-Qur’an dan
ilmu serta amal.
Abu
Rayyah dalam menolak sunnah banyak merujuk pada pendapat Syeikh Muhammad Abduh
dan Sayyid Rasyid Ridha, sehingga kedua tokoh ini khususnya Muhammad Abduh
disebut-sebut sebagai pengingkar sunnah. Namun , benarkah Muhammad Abduh
mengingkari sunnah? Seperti dituturkan di atas, Azami masih belum memastikan
hal itu karena ia hanya menukil pendapat Abu Rayyah yang belum dipastikan
kebenarannya.
Pemikiran
Syeikh Muhammad Abduh dalam ‘menolak’ sunnah ini diikuti oleh Taufik Shidqi,
yang menulis dua buah artikel dalam majalah al-Manar nomor 7 dan 12 tahun IX
dengan judul “Islam adalah al-Qur’an itu sendiri”. Sambil mengutip ayat-ayat
al-Qur’an, Taufiq Shidqi mengatakan bahwa Islam tidak memerlukan sunnah.[15]
Sayyid
Rasyid Ridha tampaknya sangat mendukung pemikiran Taufiq Shidqi. Bahkan, ia
berpendapat bahwa hadis-hadis yang sampai kepada kita dengan riwayat mutawatir,
seperti jumlah rakaat shalat, puasa dan lain-lain, harus diterima dan hal itu
disebut aturan agama secara umum. Akan tetapi, hadis-hadis yang periwayatanya
tidak mutawatir disebut aturan agama secara khusus dimana kita tidak wajib
menerimanya.
Begitulah
pendapat dan pemikiran Sayyid Rasyid Ridha tentang hadis. Namun demikian,
belakangan ia mencabut pendapatnya itu, bahkan dikenal sebagai pembela hadis.
As-Siba’I menuturkan “ Pada awalnya Sayyid Rasyid Ridha terpengaruh dengan
pemikiran gurunya, Syeikh Muhammad Abduh”. Sesudah Syeikh Muhammad Abduh wafat
dan Sayyid Rasyid Ridha menerima tongkat estafet pembaharuan, ia banyak
mendalami imu-ilmu fiqih, hadis, dan lain-lain, sehingga ia menjadi tempat
bertanya umat Islam seluruh dunia. Karena itu, pengetahuan beliau tentang hadis
semakin dalam sehingga akhirnya ia menjadi pengibar panji-panji sunah di Mesir.
Babak
berikutnya, pada tahun 1929, Ahmad Amin menerbitkan bukunya Fajar al-Islam
yang mengulas masalah hadis dalam satu bahasan khusus (Bab VI Pasal 2).
Kemudian , pada tahun 1353 H (1933 M), Ismail Adham mempublikasikan bukunya
tentang sejarah hadis. Ia berkesimpulan bahwa hadis-hadis yang terdapat dalam
kitab sahih (antara lain Sahih al-Bukhari dan Shahih Muslim) tidak dapat
dipertanggungjawabkan sumbernya. Menurutnya, hadis-hadis itu secara umum
diragukan otentitasnya.[16]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Ingkarus
sunnah adalah paham yang timbul dalam
masyarakat Islam yang menolak hadis atau sunnah sebagai sumber ajaran agama
Islam kedua setelah al-Qur’an.
2.
Gejala
awal ingkarus sunnah, menurut Mahmud Muhammad Mazru’ah, telah terjadi di zaman
Rasulullah sendiri. Beliau mengutip hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dan lain-lain dari sahabat
Zubair bin Awwam yang bertengkar dengan seorang laki-laki Anshar dalam masalah
pengairan kebun.
3.
Ingkarus
sunnah klasik muncul awal masa Abasiyah (750-1258 M), diantaranya yaitu
golongan Khawarij, Syi’ah dan Mu’tazilah.
4.
Ingkarus
sunnah modern menurut Muhammad Mustafa Azami
lahir di Kairo Mesir pada masa Syeikh Muhammad Abduh (1266-1323 H/
1849-1905 M). Toko-tokohnya antara lain Muhammad Abduh, Abu Rayyah, Taufik
Sidqhi dan Ismail Adham.
B.
SARAN DAN KERITIK
Demikian makalah yang kami susun, semoga bermanfaat. Apabila
terdapat kesalahan kata dan penyusunan
kami memohon kritik dan saran serta permohonan maaf yang sebesar-besarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Zarkasih.
2012. Pengantar Studi Hadis. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
Solahudin,
Agus dan Suyudi, Agus. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
[1] .
Agus Solahuddin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2009), hlm. 207
[2] . Zarkasih,
Pengantar Studi Hadis, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), hlm. 119
[3] .
Zarkasih, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012),
hlm. 120
[4] .
Loc. Cit, hlm. 120
[5] .
Op. Cit, hlm, 121
[6] .
Zarkasih, Pengantar Studi Hadis,( Yogyakarta: Aswaja Ressindo, 2012),
hlm. 122
[7] .
Op. Cit, hlm. 124
[8] .
Ibid, hlm. 124
[9] .
Agus Sholahuddin, Agus Suydi, Ulumul Hadis (Bandung :Pustaka Setia,
2009) hlm. 210
[10] .
Ibid, hlm. 210
[11] .
Op. Cit, hlm. 212
[12] .
Op. Cit, hlm. 212
[13] .
Zarkasih, Pengantar Study Hadis,( Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012),
hlm.128
[14]
. Op. Cit, hlm. 129
[15] .
Op. Cit, hlm. 130
[16] .
Op. Cit, hlm. 131
Post a Comment for "MAKALAH INGKARUS SUNNAH KLASIK DAN MODERN"