MAKALAH DISKURSUS TAFSIR AL-QUR’AN
MAKALAH
DISKURSUS TAFSIR AL-QUR’AN
Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Antropologi Tafsir pada semester V
Dosen Pembimbing: Wahyuni Shifatur Rohmah,S.Th.I,M.Si.
Disusun oleh:
Anas Masruri (1631041)
FAKULTAS USHULUDIN SYARIAH DAN DAKWAH
PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA KEBUMEN
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.LatarBelakang
Kitab suci, dalam suatu komunitas ummat beragama, telahmenjadi topik perbincangan secara akademik, baik oleh pemeluknyamaupun ummat lain yang menelaahnya. Kondisi ini juga menimpa umat Islam, di mana al-Qur’ân sebagai kitab suci kaum muslimin,dalam kodifikasinya merupakan hasil dari proses panjang melalui beberapa generasi, kemudian muncul teks standar sebagai pedoman pencetakan kitab suci ini. Proses stadarisasi teks al-Qur’ân seperti inikemudian dikenal dengan sejarah al-Qur’ân(târîkh al-Qur’ân).
Pembicaraan tentang sejarah teks ini melibatkan beberapa hal, yaitutentang susunan surat dalam ayat, serta pengkodifikasian teks al-Qur’ân menjadi m u s h a f u s m a n i y a n g d i s e r t a ipenyempurnaan tanda bacayang ada seperti mushhaf sekarang.
Sejarah teks al-Qur’ân yang menjadi objek kajian para sarjana Barat telah dimulai sejak abad ke-12 Mdan telah melahirkan banyak karya kesarjanaan. Secara umum, sasaran kritik Barat terhadap kemunculan m u s h a f Utsmân tertuju pada tiga fase. Pertama koleksi dan susunan teks dari lisan sampai tulisan. Kedua tentang perbedaancara baca dan beberapa kodeks shahabat. Ketiga proses pemantapanteks dan cara baca menjadi kanonik.Selanjutnya, para sarjana Barat selain meneliti tentang teks al-Qur’ân, mereka melakukan pengkajian pula terhadap penafsirankaum muslim terhadapteks al-Qur’ân(tafsîr).Dalam hal ini karya Ignaz Goldziher, Die Richtungen development Islamichen Koranauslegung (1920), telah berupaya mengungkapkan beberapamadzhab penafsiran yang ada semenjak munculnya tafsîr sampaiperiode Muhammad Abduh.
Tetapi penelitian ini dianggap kurang “sempurna” oleh Jansen karena tidak lengkapnya kepustakaan yangdigunakan oleh Barat. Hal ini telah mendorong Jansen untuk menelitibeberapa koleksi tafsîr al-Qur’ân, khususnya di Mesir
B.Rumusan masalah
1. Bagaimana orang barat dalam mengkaji al quran?
2. Pandangan orang baratterhadappenafsiran al qurankhususnyamesir?
C.Tujuan
1. Dapat memahami kajian kajian yang di lakukan orang barat
2. Mengetahui pandangan orang barat terhadap penafsiran al quran
BAB II
PEMBAHASAN
1.Ba rat dan Kajian al-Qur’ân
Di Barat, kajian al-Qur’ân menjadi salah satu alternatif kajian akademik yang menarik banyak perhatian, mulai dari sarjana muslim hingga non muslim. Kajian al-Qur’ân di Barat menyangkut berbagai aspek, mulai dari teks al-Qur’ân itu sendiri, penafsiran para sarjana muslim baik pada masa klasik hingga masa modern saat ini.S a l a h satu karya sarjana Barat yang memfokuskan pada karya-karya tafsîr adalah Ignaz Goldziher dalam masterpiece-nya. Die Ricchatungen der Islamischen Koranauslegung yang ditulis pada 1920. Dalam karya yang monumental ini, sang sarjana mampu menyajikan enam bilik diskursus terhadap dunia tafsîr.
Bilik pertama masalah keberadaan tafsîr pada masa awal. Tafsîr pada masa ini bernuansa teologis yang direpresentasikan dengan berbagai aliran. Aliran-aliran tersebut didasarkan pada faktor pembacaan teks mulai dari aspek oral hingga kesaksian sejarah. Juga disajikan reportasi perkembangan bacaan yang terjadi pada saat ini disusul dengan munculnya penyusunan gramatikal al-Qur’ân.
Bilik kedua menyajikan gaya dan corak pendekatan tafsîr. Hal ini diklasifikasikan menjadi dua; yaitu tafsîr bi al-ma’tsûr dan tafsîr bial-ra’yi beserta tokoh dan propagandisnya. Pada bilik ini semakin jelas metode, corak, dan madzhab yang digunakan oleh mufassir pada masa awal sebagai penguat ideologinya.
Bilik ketiga, tentang pengembangan tafsîr pasca periode awal, yaitu pasca teologis yang menghasilkan era post teologis. Era ini ditandai dengan perubahan teologi menjadi teologi rasional yang juga disertakan berbagai tokoh dan propagandisnya.
Bilik keempat menyajikan perkembangan tafsîr yang berangkat dari doktrin menuju rasional. Ketika mencapai titik kulminasi, akhirnya menghasilkan era kesadaran jiwa yang disimbulkan dengan karya-karya tafsîr yang bernuansa sufistik serta berbagai tokoh dan propagandis tafsîr sufi.
Bilik kelima memaparkan tafsîr dalam perspektif sekte keagamaan. Dalam bilik ini disajikan secara spesifik tafsîr sekte-sekte keagamaan dengan jelas. Dalam era ini sekte keagamaan yang semula dipandang sebagai sesuatu yang tidak umum, kini mulai dianggap lumrah keberadaannya.
Bilik keenam penulis menelaah tafsîr pada masa kebangkitan Islam. Pada era ini semakin terbuka diskursus tentang al-Qur’ân. Kalau pada era sebelumnya hanya dipetakan antar sekte, kini dalam sekte itu sendiri telah terjadi keterbukaan dan kejelasan madzhab masing-masing.
2. Pandangan Jansen tentang Tafsîr di Mesir Modern
Karya Jansen berjudul The Interpretation of The Koran in Modern Egypt adalah disertasi doktoralnya di Rijks universiteit Leide tahun 1972. Kajiannya memusatkan pada keseluruhan karya tafsîr di Mesir modern. Buku setebal 111 halaman yang diterbitkan oleh E.J. Brilltahun 1980, berisi beberapa bab, yaitu : bab pertama Introduction : The Koran and its Interpretation. Bab kedua Mohammad Abduh’s Koran Interpretations. Bab ketiga Koran Interpretation and Natural History. Bab keempat
Koran and Interpretation and Philology, dan bab kelima Practical Koran Interpretation
Beberapa alasan yang dikemukakan Jansen dalam memilih penelitian yang dikonsentrasikan di Wilayah Mesir. Pertama, modernisasi pemikiran Islam tidak bisa dipisahkan dari proposal pembaruan “Abduh” yang sekaligus melakukan renovasi besar-besaran terhadap kajian al-Qur’ân. Kedua,banyaknya koleksi termasuk di antaranya al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur’ân al-Karîm, satu-satunya tafsîr yang ditulis mufassir wanita, yakni ‘Aisyah Abd al-Rahmân yang dikenal dengan sebutan Bint al-Syâthi’.
Ketiga, mulai akhir dekade 60-an, Leiden mempunyai J. Brugman, spesialis budaya dalam sastra Timur
Tengah yang melahirkan doktor-doktor muda untuk spesialisasi wilayah Mesir dan sekitarnya, di mana Jansen merupakan salah satu di antaranya.
Jansen membagi karya tafsîr ke dalam tiga kelompok. Pertama, tafsîr yang mengadopsi ilmu pengetahuan modern yang tidak bertentangan dengan al-Qur’ân, disebut dengan tafsîr al-‘ilmî. Kedua, tafsîr yang diperuntukkan untuk membantu pembaca dalam memahami al-Qur’ân, yang disebut dalam kelompok tafsîr filologis (al-tafsîr al-lughawî). Ketiga, tafsîr yang bersinggungan dengan perbuatan umat Islam, yang disebut dengan tafsîr praktis (tafsîr al-Adabî al-Ijtimâ’i).
Karya Jansen menampilkan suatu deskripsi yang singkat namun memiliki cakupan luas yang bisa menjawab kekurangan-kekurangan karya-karya pendahulunya.
Hal ini tergambar dalam paparannya pada bab pertama : Introduction : The Koran and Interpretation, ia begitu banyak menjelaskan sejarah tafsîr, serta studi-studi orang Barat terhadap tafsîr yang berkembang di dunia Islam.Sehingga tidak begitu aneh bila ia benar-benar ingin menemukan sesuatu yang baru dari studi tafsîr yang belum dibahas dan luput dari pemahaman para pendahulunya.
Dalam upayanya ini, Jansen memberikan satu kritik awal dari perhatiannya kepada tafsîr, yaitu dengan memusatkan objek penelitian kepada tafsîr Abduh untuk kemudian dibandingkan dengan tafsîr-tafsîr lain yang dia anggap memenuhi persyaratan untuk masuk kepada pembagian yang diberikannya. Sebagai landasan argument Jansen terhadap upayanya dalam memfokuskan objek kajiannya terhadap karya Muhammad Abduh adalah sebagai berikut:
To quote Abduh: On The Last Day God will not question us on theopinions of the commentators and on how the understood the Koran, but hewill question us on his Book which he sent down to guide and instruct us. Abduh intended to explain the Koran in a practical manner to a public widerthan merely the professional theologians, and Egyptian public that –according to the modern Moslem apologists – lacked competent religiousleader, suffered from foreign (British) occupation, did not understand thetechnical science and among whom superstition and become predominant. Abduh tries to make his readers, laymen and theologians alike, realize thelimited relevance of the traditional commentaries that do not contribute tothe solution of the urgent problem of the day. He wishes to convince themthat them that they should allow the Koran to speak for it self, un obscured by subtle explanations and glosses.
Dalam pandangan Jansen, tidak ada tafsîr-tafsîr al-Qur’ân baru yang muncul di Mesir pada abad ke-19. Abduh dan Ridlâ, sejak itu, meratakan jalan bagi kemunculan sejumlah besar tafsîr abad ke-19. Dalam membangun kembali pentingnya penafsiran al-Qur’ân mereka juga menetapkan suatu garis antara al-Qur’ân dan masalah-masalah kehidupan manusia di dunia ini. Hal ini dilakukan Abduh dengan membuang bobot pengetahuan tafsîr klasik yang terlalu membebani para pembacanya. Ia mengisi ruang itu dengan memberikan nasihat-nasihat pendek yang praktis, bijaksana, arif dan mencerahkan bagi problem-problem masyarakat Mesir pada zamannya. Terutama sekali, ia menekankan kebutuhan akan pendidikan, karena hanya dengan pendidikan masyarakat Mesir bias meletakkan posisi mereka untuk mengusir penjajah asing.
Bila sebelumnya telah dijelaskan bahwa karakteristik tafsîr lebih menempatkan masalah akademis, yaitu tafsîr berisi penjelasan detail terhadap kata-kata teknis, tata istilah bahasa Arab, hukum dan dogma Muslim, sunnah Nabi dan para sahabatnya, dan biografi Nabi,lebih dari itu dalam tafsîr ini cenderung sebagai ensiklopedi dari ilmu-ilmu tersebut. Maka sosok Muhammad Abduh ingin menjelaskan bahwa sesungguhnya al-Qur’ân yang merupakan kitab petunjuk (hidâyah) perlu dipahami secara praktis. Pandangan inti didasarkan pada kondisi sosio-kultural penduduk Mesir yang“kering” akan nilai luhur akibat pandangan mereka yang masih mengikuti tradisi terhadap pemahaman al-Qur’ân. Oleh sebab itu Abduh ingin memberikan jawaban terhadap masalah-masalah dalam kehidupan dengan memahami al-Qur’ân secara praktis, sehingga al-Qur’ân benar-benar menjadi hidâyah.
Dalam pandangan Jansen, tafsîr Abduh merupakan sesuatu yang baru dan orisinil. Selain menampakkan pikiran-pikiran baru, juga penekanannya yang baru dalam melihat al-Qur’ân, yakni sebagai sumber, petunjuk keagamaan dan spiritual, bukan pada dogma Islam,atau suatu ajang kesempatan bagi para filolog untuk memamerkan kepintaran mereka. Abduh menilai al-Qur’ân sebagai kitab yang seharusnya umat Islam bisa merumuskan pemikiran-pemikiran mengenai dunia ini dan dunia yang akan datang.
Sistem penafsiran Abduh, dalam pandangan Jansen, adalah keragu-raguannya dalam menerima materi dari luar al-Qur’ân itu sendiri sebagai sesuatu yang bermakna bagi penafsiran al-Qur’ân. Sedangkan kaidah penafsiran adalah bahwa seseorang seharusnya tidak perlu menjelaskan sesuatu yang memang sengaja tidak di jelaskan oleh al-Qur’ân, (mubham). Dengan demikian, seorang mufassir diwajibkan menjelaskan teks sebagaimana adanya dan tidak menambah-nambah. Oleh sebab itu, Abduh ketika dihadapkan pada penentuan makna ayat atau kata tertentu lebih banyak melihat konteksnya, tidak seperti ulama sebelumnya yang dibatasi pada penjelasan tradisional saja.
Abduh menolak otoritas dan validitas hadits-hadits tertentu yang diterima dari generasi Muslim awal. Ia tidak mengakui relevansi hadits-hadits itu terhadap penafsiran al-Qur’ân, khususnya pada hadits-hadits yang disebut dengan isrâilliyyât yang dibuat untuk meruntuhkan Islam. Ia mengaku berhak untuk menolak hadits apapun yang tidak sesuai dengan pemahamannya terhadap Islam dan al-Qur’ân, entah itu hadits Isrâilliyyât atau pun bukan, karena menurutnya seseorang tidak seharusnya “menambah” terhadap teks al-Qur’ân.
Selanjutnya, Jansen melihat bahwa pandangan Abduh tentang tafsîr al-Qur’ân dan sejarah alam tidak sepenuhnya konsisten dengan pandangan-pandangannya yang lain. Di dalam suatu bagian yang terkenal dari tafsîrnya, Abduh berpendapat bahwa jin, roh-roh halus,dan orang pandai yang disebut di dalam al-Qur’ân dan penting dalam budaya (folklore) umat Islam, bisa dipahami sebagai kuman-kuman. Di lain tempat, al-Qur’ân menyebutkan cahaya, Abduh mengupas tentang listrik, telegraf, telepon dan kereta api. Dengan melakukan hal demikian, ia juga bisa dituduh memasukkan ke dalam tafsîr al-Qur’ân materi yang tidak esensial begi petunjuk spiritual yang ingin disampaikan al-Qur’ân. Bagaimanapun, ia sebagaimana dilakukan para mufassir kemudian, tidak berpendapat bahwa makna secara aktual dirujuk oleh al-Qur’ân, atau bahwa makna riil al-Qur’ân hanya bisa dipahami setelah kuman-kuman dan listrik ditemukan.Tetapi lebih dari itu, Abduh ingin pembacanya menyadari bahwa Islam toleran dengan semua penemuan ilmiah, dan bahwa al-Qur’ân terlalu tinggi untuk dilawankan dengan ilmu pengetahuan modern,cara yang sama dengan yang dilakukan oleh teologi Kristen yang tidak memikirkan apakah informasi sejarah yang ada dalam Injil itu akurat atau tidak. Al-Qur’ân menurut Abduh bukan buku mengenai hukum, ilmu atau sejarah, tetapi firman Tuhan: “Pengetahuan kami tentang al-Qur’ân adalah pengetahuan kami tentang Allah”. Pandangan umat Islam terhadap al-Qur’ân berbeda dengan pandangan Kristen dan Yahudi terhadap kitab sucinya. Umat Islam meyakini bahwa al-Qur’ân punya hubungan khusus dengan ilmu pengetahuan, artinya al-Qur’ân dijadikan rujukan sebagai sumber ilmu pengetahuan modern. Penelitian itu termasuk pemikiran Jansen terhadap banyak munculnya tafsîr ‘ilmî di wilayah Mesir modern. Tafsîr itu mencoba memindahkan semua bidang pengetahuan kemanusiaan yang memungkinkan ke dalam penafsiran al-Qur’ân. Terutama apa yang dicap orang sebagai “sejarah alam” (natural history) yang menjadi fantasi para mufassir kontemporer yang bekerja di dalam aspek penafsiran al-Qur’ân. Penafsiran dengan pendekatan sejarah alam ini telah dimulai sejak masa Ibnu Abbâs, dan sampai sebelum abad ke-19 tidak muncul dan tidak tersebar secara luas. Salah satu yang membela kebenaran tafsîr ini adalah al-Ghazâlî dalam Jawâhir al Qur’ân. Ia mengajarkan bahwa al-Qur’ân hanya akan menjadi jelas bagi mereka yang mempelajari ilmu pengetahuan yang digali darinya. Ilmu pengetahuan bisa menjelaskan isi al-Qur’ân dengan cara seperti anak-anak sungai yang lebih kecil yang memberikan air kepada sungaiyang lebih besar.
Pada abad ke-19 kemunculan tafsîr ‘ilmî begitu pesat. Sarjana pertama yang memberikan perhatian besar adalah Amin al-Khully (w.1967). Tafsîr-tafsîr yang menjadi perhatian Jansen adalah karya Muhammad Ibn Ahmad al-Iskandarani yang berjudul Kasyf al-Asrâral-Nuranniyah al-Qur’âniyah (1880) dan Tibyân al-Asrâr al-Rabbâniyyah (1883), Tanthawî Jawhârî dengan al-Qur’ân wa al-‘Ulûm al-‘Ashariyyah (1925) dan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’ân al Karîm al-Musytamil ‘ala ‘Ajâibi Badâ’i al-Mukawwanât wa al-Gharâib al-Ayât al Bahîrat (1940), Karya Farid Wajdi Shaffât al-‘Irfân dan Dâirah Ma’ârif al Qur’ân Rab’i ‘Ashr al-‘Isyrîn serta tafsîr lainnya yang muncul.
Munculnya tafsîr ilmiah adalah sebagai bentuk pengaruh modern yang berlangsung di dunia Islam dimana terjadi sejak awal pengaruh teknologi ilmu pengetahuan dan politik Barat di dunia Arab. Tetapi tidak semua pakar tafsîr di dunia Islam, khususnya kaum tradisionalis, menerima keberadaan tafsîr ‘ilmi. Maka tidak jarang penolakan muncul terhadap keberadaannya. Sebagai contoh Amin al-khulli mengemukakan beberapa argumen untuk melawan tafsîr ilmiah, di antaranya adalah; Ketidak kokohan leksikologisnya,Ketidak kokohan secara filologis, serta ketidak kokohan secara teologis. Jadi al-Qur’ân tidak sesuai dengan fungsi dan kedudukannya sebagai hidayah.
Perhatian Jansen yang lain adalah banyak munculnya karakteristik tafsîr yang lebih memperhatikan perkembangan filologis, di mana selain dari segi bahasanya, nilai historis dari bahasa itu juga sangat diperhatikan. Tafsîr yang menjadi rujukan utamanya adalah tafsîr karya Bint Syâthi’, seorang wanita yang suaminya adalah ahli tafsîr juga, sekaligus untuk memberikan porsi lebih kepada satu-satunya tafsîr dari kalangan wanita, yaitu Tafsîr al-Bayânial-Ijtimâ’î.
Sedangkan pada bab terakhir, Jansen ingin mencoba mendeskripsikan bentuk tafsîr yang cenderung ingin menyentuh persoalan-persoalan sosial, atau yang lebih dikenal dengan tafsîr al-adabî al-ijtimâ’î. Tafsîr ini menekankan pada fungsi dan kedudukan al-Qur’ân, bahwa ia diturunkan kepada manusia tidak lain sebagai Hidayah. Oleh sebab itu, pernyataan Abduh terhadap para mufassir terdahulu dianggap telah memalingkan al-Qur’ân dari fungsi dan kedudukannya ketika ia diturunkan. Salah satu tafsîr yang dijadikan rujukan adalah karya Muhammad Musthafâ al-Marâghî, seorang murid Abduh yang dikenal dengan nama Tafsîr al-Marâghî, juga karya-karya dari Amin al-Khully, yang khususnya makalah-makalah yang dia sampaikan dalam siaran radio.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Karya yang telah ditulis oleh Jansen, sebagai hasil penelitiannya untuk disertasi, mempunyai arti lebih, khususnya bagi para pemerhati tafsîr. Karya ini banyak menyibak persoalan-persoalan yang oleh sarjana sebelumnya tidak mendapat perhatian,baik itu dari sisi objek kajian, maupun metodologi yang digunakannya.Pada abad modern ini, di mana Mesir masih menjadi kiblat munculnya karya-karya keislaman, telah mengalami banyak perubahan. Pada sisi metode penafsiran al-Qur’ân, para mufassir Mesir tidak lagi mengikuti trend masa lalu, di mana tafsîr seolah-olah buku akademis, atau ensiklopedi pengetahuan keislaman. Mereka ingin menempatkan al-Qur’ân sebagai wahyu yang mempunyai fungsi dan kedudukan sebagai hidâyah yang bisa memberikan pengaruh dalam kehidupan ummat sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Burton, John.The Collection of the Qur’an.Cambridge: CambridgeUniversity Press, 1977
Goldziher, Ignaz.Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmî.Beirut: Dâr al-Iqra’, 1983
Jansen , J. J . G.The Interpretation of The Koran in Modern Egypt.
Leiden:E .J . B r i l Iill 1980
Jeffry, Arthur. The Qur’an as Scripture.New York: Russel F. MooreCompany, 1952
-------.Materials for the History of the Text of the Qur’an; the Old Codices.Le id e n: E .J. B r il l, 1937
Kholis, Muhammad Nur.Mengkaji Sejarah Teks al-Qur’ân,Makalah Simposium Nasional “Perkembangan Pemikiran al Qur’an” Yogyakarta, 26-28 Desember 1997
Post a Comment for "MAKALAH DISKURSUS TAFSIR AL-QUR’AN"