Bagaimana Intepretasi Para Sahabat tentang Tafsir Al-Qur'an
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bagaimana Intepretasi Para Sahabat.
Setelah penafsiran pada masa Nabi SAW, kemudian dilanjutkan penafsiran pada masa sahabat. Adapun pengertian sahabat menurut para ulama, diantaranya :
a. Menurut Ibnu Katsir Ash-shahabi, berkata bahwa sahabat adalah :
هو من رأى رسول الله في حال إسلام الرائى ، وإن لم تطل صحبته له ، وإن لم يرو عنه شيئا
Artinya : “(sahabat) adalah dia yang melihat Rasulullah pada masa kepemiminan Islam, meski dia tidak lama menemaninya, dan meskipun tidak melihat apapun dari Rasulullah SAW.”[1]
b. Menurut ulama ahli hadits, bahwa sahabat adalah :
هو من لقي النبي يقظة ، مؤمنا به ، بعد بعثته له ، حال حياته ، ومات على الإيمان
Artinya : “(sahabat) adalah Dialah yang menerima kewaspadaan Nabi, percaya kepadanya, setelah terutusnya Nabi, semasa hidupnya, dan meninggal karena iman.”[2]
c. Ahli ushul fiqh menambahi :
وطالت صحبته ، وكثر لقاؤه به ، على سبيل التبع له ، والأخذ عنه ، وإن لم يرو عنه شيئا
Artinya : “Dan terus menemaninya, dan banyak berjumpa dengannya, untuk mengikutinya, dan mengambilnya, tapi tidak melihat apapun dari Nabi SAW.”[3]
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa sahabat adalah orang-orang yang mengikuti ajaran Nabi SAW, iman kepada Nabi SAW, dan hidup sezaman dengan Nabi SAW.
Dalam hal penafsiran, sebagian ulama, termasuk Ibnu Taimiyah rahimahulloh, mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa Nabi SAW, menafsirkan seluruh isi dari al- Qur’an, dalil yang mereka gunakan adalah firman Allah SWT, QS. Al-Maidah ayat 67 :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلرَّسُولُ بَلِّغۡ مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ مِن رَّبِّكَۖ وَإِن لَّمۡ تَفۡعَلۡ فَمَا بَلَّغۡتَ رِسَالَتَهُۥۚ وَٱللَّهُ يَعۡصِمُكَ مِنَ ٱلنَّاسِۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡكَٰفِرِينَ
Artinya : “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”[4]
Ada pula golongan yang mengikuti pendapat, bahwa Nabi SAW tidak menafsirkan seluruh isi Al-Qur’an, akan tetapi hanya menafsirkan beberapa ayat dari Al-Qur’an.
Seperti itulah gambaran perbedaan dalam hal penafsiran, akan tetapi dalam memahami Al-Qur’an, sahabat sudah sedikit mengetahui tentang makna kata-kata dalam Al-Qur’an, karena Al-Qur’an diturunkan menggunakan bahasa mereka, akan tetapi karena adanya sebagian makna kata atau mufrodat yang masih samar, maka para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an juga berbeda-beda. Selain karena makna kata yang masih samar, ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi perbedaan para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an, diantaranya :
1. Perbedaan ilmu para sahabat dalam memahami bahasa arab.
2. Keterseringan para sahabat dalam berjumpa dengan Nabi SAW, dan mengikuti kegiatan-kegiatan Nabi SAW.
3. Perbedaan tingkat keilmuan, bakat dan mental para sahabat.
Oleh karena faktor-faktor tersebut, sehingga kita dapat menemukan perbedaan tafsir dikalangan para sahabat. Akan tetapi, meskipun para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an berbeda-beda, tafsir para sahabat disini memiliki keistimewaan dibanding dengan tafsir yang lain, yaitu kemurnian isi tafsir, dimana tafsir para sahabat adalah memuat hal-hal yang pernah mereka dengar dari Nabi SAW. Sehingga ajaran islamnya masih murni.
Dengan melihat adanya faktor-faktor diatas, dapat ditemukan beberapa sahabat yang masih bingung dalam memaknai beberapa arti mufrodat dalam Al-Qur’an, dan maksud dari mufrodat tersebut.
Sebagai contoh, seperti yang diriwayatkan oleh anas bin malik RA,
رواه أنس بن مالك رضي الله عنه : قرأ عمر رضي الله عنه على المنبري قوله تعلى : وَفَٰكِهَةٗ وَأَبّٗا . فقال : هذه الفاكهة قد عرفناها ، فما الأبّ ؟ ثمّ رجع إلى نفسه فقال : إن هذا لهو التكلّف يا عمر !!
Artinya : “Diriwayatkan oleh Anas Bin Malik RA, (ketika) sahabat Umar RA, membaca firman Allah SWT diatas mimbar : (QS. ‘Abasa : 37) وَفَٰكِهَةٗ وَأَبّٗا Umar RA berkata : kata “الفاكهة” ini, kita sudah tahu, lalu apa (maksud) kata “الأبّ” ?. lalu ia berkata pada dirinya sendiri, ini adalah hal yang sulit, wahai umar !”[5]
Contoh lain yang dikeluarkan oleh Al-Bukhori,
أخرجه البخاري من أن عدي بن حاتم لم يفهم معنى قوله تعالى :
وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ
Artinya : “Dikeluarkan oleh Al-Bukhori, bahwa ‘Adi bin Hatim, tidak faham dengan firman Allah SWT, (QS. AL-Baqarah : 187)
وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ
Artinya : “dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”
B. Apakah Sumber Interpretasi Yang Paling Penting Yang Digunakan Para Sahabat.
Para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an selalu menggunakan 4 sumber[6]. Ke-empat sumber yang paling penting yang digunakan oleh para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an, yaitu :
1. Dengan menggunakan Al-Qur’an itu sendiri.
Dalam implementasinya dikenal dengan Tafsir Qur’an bil Qur’an. Para ulama sepakat hal terpenting dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah dengan menggunakan Al-Qur’an itu sendiri. Begitulah yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah rahimahulloh.
فإن قال قائل : فما أحسن طريق للتفسير ؟
والجواب أن أصحّ الطريق في ذلك أن يفسّير القرأن بالقرأن نفسه ...
Artinya : “Maka jika seseorang berkata : jalan apakah yang lebih baik untuk menafsirkan ? jawabannya : sesungguhnya jalan terbaik dalam menafsirkan adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an tu sendiri.”
Seperti yang dikatakan sang hafidz as- suyuthi rahimahulloh :
قال العلماء : من أراد تفسير الكتاب العزيز طلبه أولامن القرأن
Artinya : “Ulama berkata : barang siapa yang ingin menafsirkan kitab mulia (Al-Qur’an), maka mulailah cari dalam Al-Qur’an.”
Sebagai contoh apa yang disebutkan dalam Al-Qur’an, dari beberapa kisah, seperti kisah Nabi Musa AS yang disebutkan secara global dalam satu surat, dan sebagian lain di surat yang lain.
Sebagian dari tafsir Al-Qur’an bil Qur’an yaitu penyebutan ayat mujmal yang dijelaskan dengan ayat mubayyan, sebagaimana firman Alloh SWT, QS. Ghofir : 28,
وَإِن يَكُ صَادِقٗا يُصِبۡكُم بَعۡضُ ٱلَّذِي يَعِدُكُمۡۖ
Artinya : “dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu.”
Dan penafsirannya di ayat yang lain, yaitu QS. Ghofir : 77,
فَإِمَّا نُرِيَنَّكَ بَعۡضَ ٱلَّذِي نَعِدُهُمۡ أَوۡ نَتَوَفَّيَنَّكَ فَإِلَيۡنَا يُرۡجَعُونَ
Artinya : “maka meskipun Kami perlihatkan kepadamu sebagian siksa yang Kami ancamkan kepada mereka ataupun Kami wafatkan kamu (sebelum ajal menimpa mereka), namun kepada Kami sajalah mereka dikembalikan.”
Tafsir Al-Qur’an bil Qur’an dengan ayat mutlaq dan muqoyyad, ‘am dan khas, misalnya meniadakan "الخلّة والشفاعة" bagi orang awam, firman Allah SWT, QS. AL-Baqarah : 254, yang berbunyi :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِمَّا رَزَقۡنَٰكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ يَوۡمٞ لَّا بَيۡعٞ فِيهِ وَلَا خُلَّةٞ وَلَا شَفَٰعَةٞۗ وَٱلۡكَٰفِرُونَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa´at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.”
Dan Allah SWT mengecualikan “الخلّة” bagi orang yang yakin, sebagaimana firman Allah SWT, dalam QS. Az-Zukhruf : 67, yang berbunyi :
ٱلۡأَخِلَّآءُ يَوۡمَئِذِۢ بَعۡضُهُمۡ لِبَعۡضٍ عَدُوٌّ إِلَّا ٱلۡمُتَّقِينَ
Artinya : “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.”
Juga mengecualikan siapa yang dapat memberi syafa’at, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An-Najm : 26, yang berbunyi :
وَكَم مِّن مَّلَكٖ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ لَا تُغۡنِي شَفَٰعَتُهُمۡ شَيًۡٔا إِلَّا مِنۢ بَعۡدِ أَن يَأۡذَنَ ٱللَّهُ لِمَن يَشَآءُ وَيَرۡضَىٰٓ
Artinya : “Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa´at mereka sedikitpun tidak berguna, kecuali sesudah Allah mengijinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya).”
Tafsir Al-Qur’an bil Qur’an menggunakan qiroat satu dengan yang lainnya. Sebagian qiroat berbeda dalam lafadz akan tetapi sama dalam hal makna. Sebagai contoh Ibnu Mas’ud membaca :
أو يكون لك بيت من ذهب
Menafsirkan lafadz “الزخرف”, sebagaimana dalam QS. Al-Isra` : 93, yang berbunyi,
أَوۡ يَكُونَ لَكَ بَيۡتٞ مِّن زُخۡرُفٍ ...
Artinya : “Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas,”
2. Dengan Nabi SAW.
Dalam implementasinya dikenal dengan Tafsir bis-sunnah. Ketika para sahabat menemui kesulitan makna Al-Qur’an, mereka meminta pendapat Nabi SAW, karena Allah SWT memeberikan kefahaman lebih kedapa Nabi SAW tentang Al-Qur’an.
Sebagai contoh, bahwa dahulu para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an menggunakan dasar sabda Nabi SAW, yaitu : dalam firman Allah SWT, QS. Al-Baqarah : 238, yang berbunyi :
حَٰفِظُواْ عَلَى ٱلصَّلَوَٰتِ وَٱلصَّلَوٰةِ ٱلۡوُسۡطَىٰ وَقُومُواْ لِلَّهِ قَٰنِتِينَ
Artinya : “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu´.”
Abu Sa’id RA, meriwayatkan, dia berkata, “sesungguhnya beberapa orang bertanya kepada Nabi SAW tentang ayat ini.” Maka Nabi SAW bersabda,
"كل حرف من القرأن يذكر فيه القنوت فهو الطاعة"
Artinya : “setiap huruf Al-Qur’an yang menyebutkan “القنوت”, maka itu termasuk “الطاعة”.
3. Dengan Ijtihad Dan Istimbat Para Sahabat.
Ketika para sahabat tidak menemukan penafsiran dalam Al-Qur’an, dalam sunah, maka mereka berijtihad. Sebagai contoh adalah ketika Umar RA akan menghukum Qodamah bin Madz’un. Dimana Al-Jarud melaporkan perbuatan Qodamah kepada Umar RA, bahwa Qodamah telah minum arak dan mabok. Dan Umar RA menanyakan siapa saksinya, dan Al-Jarud menjawab Abu Hurairah sebagai saksinya. Kemudian Umar RA menjatuhi hukuman cambuk, namun Qodamah mengajukan alasan dengan dalil Al-Qur’an, QS. Al-Maidah : 93 yang berbunyi,
لَيۡسَ عَلَى ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ جُنَاحٞ فِيمَا طَعِمُوٓاْ إِذَا مَا ٱتَّقَواْ وَّءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ ثُمَّ ٱتَّقَواْ وَّءَامَنُواْ ثُمَّ ٱتَّقَواْ وَّأَحۡسَنُواْۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
Artinya : “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Dan Qodamah beralasan bahwa dia juga termasuk golongan orang beriman, beramal sholeh, bertaqwa, berjihad bersama Rasululloh SAW. Umar RA pun meminta pendapat kepada Ibnu ‘Abbas RA, dan Ibnu Abbas RA menjawab bahwa ayat tersebut adalah udzur bagi orang-orang dahulu, dan menjadi hujjah bagi orang-orang sekarang, karena Allah SWT telah berfirman, dalam QS. Al-Maidah : 90 yang berbunyi,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Dari kisah diatas dapat disimpulkan bahwa Umar RA, masih menggunakan pendapat sahabat lain dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an.
4. Ahli Kitab Yahudi Dan Nasrani
Sesungguhnya Al-Qur’an itu sama dengan Taurat dalam beberapa masalah, lebih khususnya dalam hal kisah para Nabi. Begitu juga dengan injil, ada beberapa hal yang sama seperti kisah kelahiran Nabi Isa AS, dan juga kemukjizatannya. Dalam Al-Qur’an tidak menyebutkan kisah secara keseluruhan, melainkan hanya ringakasannya saja, sebagai ‘ibaroh. Beberapa tokoh yahudi dan nasrani yang pernah dijadikan sumber adalah ‘Abdullah bin Salam, Ka’ab Al-Ahbar.[7]
C. Mufassir Terkenal Pada Masa Sahabat.
Pada masa sahabat terdapat beberapa sahabat yang memang terkenal sebagai mufassir atau ahli tafsir, ada 10 sahabat yang terkenal sebagai mufassir yaitu : 4 Khulafaur Rosyidin, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, dan ‘Abdullah bin Zubair RA. Diantara para khalifah, sebagian besar hadist-hadist diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib RA.[8]
D. Karakteristik Penafsiran Yang Penting Penting Dari Para Sahabat.
Ada beberapa karakteristik penafsiran, yang digunakan oleh para sahabat, diantaranya yaitu :
1. Tidak semua sahabat menafsirkan Al-Qur’an. Dengan alasan akan menambah bingung orang-orang yang jauh dari masa sahabat dan Nabi SAW.
2. Sedikitnya perbedaan diantara para sahabat.
3. Tidak adanya rekaman dari tafsir pada masa sahabat. Adanya rekaman adalah setelah abad 2 H, para sahabat mencatatkan tafsirannya pada mushaf. Karena ditakutkan, jika penafsiran dilakukan bersama-sama pada masa itu (dicatat dalam mushaf), maka orang-orang pada masa mendatang akan mengira bahwa itu termasuk ayat dari Allah SWT.
4. Penyusunan tafsir para sahabat, disusun dengan per juz dan cabang, tidak seperti nadzom, karena menafsirkan ayat yang berbeda, juga terpisah-pisah.
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Dari keterangan-keterangan yang telah dipaparkan diatas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Al-Qur’an masih memiliki penafsiran-penafsiran lain, yang masih belum dijelaskan oleh Nabi SAW.
2. Meskipun tingakatan sahabat akan tetapi, tak semua sahabat berhak menafsirkan Al-Qur’an.
3. Bahwa para sahabat berperan dalam terjaganya syariat islam. Dengan adanya penafsiran yang dilakukan oleh para sahabat, dapat mempermudah para orang pada masa yang akan datang untuk memahami syariat islam yang ada dalam Al-Qur’an.
4. Dengan adanya karakteristik penafsiran yang dimiliki oleh para sahabat, membuatnya lebih dikenali daripada tafsir-tafsir yang lain.
[1] Al-Haji, Muhammad, Tafsir Qobla ‘Ahdi Tadwin. Daarul Maktabi : Suriah, Damaski. 2007. Hal. 165
[2] Op. cit
[3] Op. cit
[4] Op. cit, Hal. 185
[5] Al-Haji, Muhammad, Tafsir Qobla ‘Ahdi Tadwin. Daarul Maktabi : Suriah, Damaski. 2007. Hal. 186
[6] Adz-Dzahabi Husain, Muhammad. Tafsirul Mufassirun. Maktabah Wahibah. Hal. 31
[7] Al-Haji, Muhammad, Tafsir Qobla ‘Ahdi Tadwin. Daarul Maktabi : Suriah, Damaski. 2007. Hal. 196
[8] Ushama, thameem. 2000. Metodologi tafsir al-qur’an : kajian kritis, objektif dan komprehensif. Riora Cipta Publication : Jakarta. Hal. 10
Post a Comment for "Bagaimana Intepretasi Para Sahabat tentang Tafsir Al-Qur'an"