MAKALAH AL-QUR’AN DALAM PANDANGAN THEODOR NOLDEKE
Makalah ini
dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Al-Qur’an Di Kalangan Orientalis pada semester V
Dosen
Pembimbing: Muzayin, M.Hum
Disusun oleh:
Muhamad Samsul Jamaludin (1631048)
Fakultas Ushuludin Syariah Dan Dakwah
Prodi Ilmu Al-Quran Dan
Tafsir
Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Kebumen
2018
KATA
PENGANTAR
Alhamdulilahi robbil `alamin, segala puji bagi Alloh Rabb semesta alam,
atas taufik dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini,
guna memenuhi tugas mata kuliah Studi c, yang penulis beri judul “AL-QUR’AN DALAM PANDANGAN THEODOR NOLDEKE (1836-1930)”
Makalah ini disusun dan sebagian besar hanyalah sebuah kutipan-kutipan ,
yang berdasarkan beberapa sumber, yang penulis nukil dari beberapa website,
sebagaimana tercantumkan dalam daftar pustaka. Serta beberapa ulasan pribadi,
yang merupakan analisis dari penulis.
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada banyak pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan Makalah ini. Terutama bapak dosen yakni
Pak Muzayin M.Hum, yang telah mengarahkan penulis dalam penyusunan makalah.
Harapan penulis, semoga makalah yang sederhana ini mempunyai setitik
manfaat, bagi penulis pribadi khususnya, dan bagi para pembaca pada umumnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan,
oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun masih penulis butuhkan, untuk
menghasilkan karya-karya lain yang lebih baik. Amiin Ya Robal `Alamin.
Petanahan,
23 September 2018
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dunia kajian ketimuran
(orientalisme) muncul sebagai gejala baru yang meledak-ledak dalam sejarah
peradaban anak manusia. Islam, sebagai identitas ketimuran dan peradaban utuh,
mendapat perhatian yang sangat besar. Namun para orientalis mengkaji Islam
dengan membawa misi lain; misi imprealisme, baik agama, budaya ataupun
kepentingan politik, “sebab Islam merupakan kekuatan lain (the other) yang
mengkhawatirkan bagi Barat”.
Orientalisme mengkaji Islam hanya
untuk menjajah dan meruntuhkan Islam dari dalam. Begitulah, dalam kamus batin
kebanyakan muslim, orientalis telah ditaruh dalam kotak hitam. Padahal, tidak
sedikit dari orientalis ‘yang baik-baik’ dan banyak memberikan sumbangsih besar
terhadap kemajuan peradaban Islam. Edward Said, Annemarie Schimmel, dan Louis
Massignon adalah tiga dari sekian banyak orientalis ‘yang mati-matian’ membela
citra positif Islam di mata Barat. Salah satu sebabnya adalah karena, bagi
Dunia Barat, “Islam tak lebih sebagai sumber masalah.” Kata Edward Said dalam
pengantar bukunya Covering Islam.
Orientalisme telah mengabdikan
dirinya kepada pembahasan-pembahasan keilmuan. Hal ini terjadi karena beberapa
faktor di antaranya: kebaikan dari kawan- kawan sebangsanya dengan memberikan
harta dan kesempatan, adanya perustakaan- perpustakaan yang penuh dengan hasil
pembahasan-pembahasan dan manuskrip- manuskrip yang sukar didapat, di samping
itu mereka juga memahami bahasa Timur dan Barat.
Sudah barang
tentu, setiap pembahasan mereka mempunyai corak ketelitian, ketabahan,
penelitian yang luas perbandingannya, memakai buku-buku yang pokok dan
manuskrip-manuskrip, pembuatan index-index yang kesemuannya ini tidak didapat
pada kitab-kitab Arab kuno. Penyiaran mereka terhadap
manuskrip-manuskrip terbitan yang rapih dan dilengkapi dengan
penjelasan-penjelasan serta index-index persoalan, tempat dan nama-nama yang cukup
memudahkan orang banyak.
Kajian yang di geluti para
orientalis bervariasi; ada yang berkonsentrasi pada bidang tafsir seperti Ignaz
Goldziher, ada yang menekuni bidang hadis seperti Juynboll, dan ada juga yang
mempelajari bidang Hukum seperti Joseph. Schacht. Di antara orientalis yang
secara mendalam mengkaji al-Qur’an khususnya tentang sejarahnya adalah Theodore
Noldeke, yang akan dibahas pada makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana biografi Theodor Noldeke?
2.
Apa Motivasinya mengkaji Alqur’an?
3.
Bagaimana pandangan/pemikiran yang fenomenal terhadap
Al-qur’an?
4.
Pendekatan apa yang digunakannya?
5.
Bagaimana pendapat terhadap dirinya dan orientalis
lainnya?
C.
Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui biografi Theodor Noldeke
2.
Untuk mengetahui Motivasinya mengkaji Alqur’an
3.
Untuk mengetahui pandangan/pemikiran yang fenomenal
terhadap Al-qur’an
4.
Untuk mengetahui Pendekatan apa yang digunakannya
5.
Untuk mengetahui pendapat terhadap dirinya dan orientalis
lainnya
BAB II
PEMBAHASAN
1. Biografi Theodor Noldeke
(1836-1931)
Noldeke merupakan dedengkot dari
tokoh-tokoh orientalis Jerman yang tidak ada bandingnya, karena ia benar-benar
mencurahkan kemampuan intelektualnya bagi pengkajian ketimuran. Dia juga
memusatkan kajian pada sastra Yunani, dan mendalami tiga bahasa Semit, yaitu
Arab, Suryani, dan Ibrani. Noldeke termasuk ilmuwan berumur panjang, sekitar 94
tahun.
Noldeke lahir pada 2 Maret 1837
di kota Hamburg, Jerman. Untuk memasuki pendidikan tinggi Dia mempersiapkan
diri dengan mempelajari sastra klasik, Yunani, dan Latin di kota Lingen (tempat
ayahnya bertugas). Namun akhirnya dia tertarik pada kajian bahasa-bahasa Semit.
Diantara alasannya adalah ketika Noldeke hendak masuk Universitas Gottingen
pada tahun 1853, ayahnya menitipkan kepada sahabatnya, H. Ewald, pakar bahasa
Semit, terutama bahasa Ibrani. Ewald kemudian mengarahkan Noldeke agar terlebih
dahulu menekuni dua bahasa Semit, yaitu Arab dan Persia beserta sastranya.
Kemudian Noldeke juga belajar
bahasa Suryani kepada H. Ewald; bahasa Arami, terutama untuk kajian kitab suci,
kepada Bertheau, sebagai satu-satunya bahasa Aramiah yang dipelajari Noldeke di
Universitas, sedangkan variasi dialek-dialek bahasa Aramiah yang lain
dipelajarinya sendiri secara otodidak. Dan belajar bahasa Sansakerta kepada
Benfay yang kemudian diteruskan di Universitas Kiel, saat menjadi professor di
Universitas tersebut (1864-1872).
Ketika masih duduk sebagai
mahasiswa, Noldeke juga sudah mulai mempelajari bahasa Turki dan Persia. Dia
memperoleh gelar sarjana tingkat pertamanya pada tahun 1856 dengan risalah yang
berjudul, “Tarikh Al-Qur’an”, yang kelak digeluti Noldeke secara total. Dua
tahun kemudian, tahun 1858, akademik Paris mengumumkan pemberian hadiah bagi
peneliti tentang sejarah Al-Qur’an. Kesempatan ini tidak dilewatkan begitu saja
oleh Noldeke, ia segera mengajukan hasil penelitiannya tentang Sejarah
Al-Qur’an. Akhirnya, bersama dengan dua rekan lainnya yaitu Sprenger dan
Mitchelle Amari, masing-masing mendapatkan 1.333 Franc Prancis. Dua tahun setelah
itu, tahun 1860, Noldeke dengan dibantu oleh muridnya Schwally, menerbitkan
karangannya yang ditulis dalam bahasa Latin ke dalam bahasa Jerman, dengan
beberapa tambahan yang sangat luas, yang diberi judul Geschichte des Qorans.
2. Motivasinya Dalam Meneliti Al-Qur’an
Tawaran hadiah sebesar 1.333
lebih Franc Prancis menjadi motivasi awal mengikutsertakan karyanya dalam lomba
penulisan artikel yang diadakan oleh Akademi Inskripsi dan Sastra Paris. Namun,
ia juga memiliki motivasi akademik yang tinggi, terbukti dua tahun setelah itu,
tahun 1860, Noldeke dengan dibantu oleh muridnya Schwally, menerbitkan
karangannya yang ditulis dalam bahasa Latin ke dalam bahasa Jerman, dengan
beberapa tambahan yang sangat luas, yang diberi judul Geschichte des Qorans.
Oleh karena itu, perlombaan mengenai penelitian sejarah al-Quran ini menjadi
salah satu motivasi T. Noldeke untuk meneliti al-Quran lebih lanjut [6]
khususnya mengenai sejarahnya. Di samping itu ia pun terobsesi untuk
membuktikan bahwa al- Qur’an bukanlah kitab orisinal agama Islam. Namun, hasil
duplikat dari kitab agama terdahulu. Ia menuduh Muhammad sebagai impostor bukan
sebagai seorang Nabi sebagaimana keyakinan umat muslim. Jadi, bisa disimpulkan
bahwa motif kuat yang mendorong Noldeke mengkaji al-Qur’an dengan pendekatan
sejarah adalah motif agama sebagaimana motif yang digunakan Ignaz Goldziher, ia
berusaha sekuat tenaga untuk menjelaskan bahwa kitab yang menjadi pegangan
agamanya adalah yang asli sedangkan kitab yang menjadi pegangan agama lain
(khususnya Islam) adalah palsu.
3. Pemikiran Theodor Noldeke
yang fenomenal
Al-Quran adalah kitab suci agama
Islam yang menjadi rujukan dan standar utama dan pertama di dalam Islam. Oleh
umat Islam, al-Quran diyakini orisinalitas, kebenaran, dan keterpeliharaannya.
Al-Quran juga menjadi simbol pemersatu umat Islam. Mazhab dan aliran Islam
boleh bermacam-macam, tetapi al-Quran yang mereka pegang tetap satu. Al-Quran
disepakati sebagai landasan dan sekaligus pedoman hidup di sepanjang sejarah
Islam. T. Noldeke termasuk kelompok orientalis yang menggugat orisinalitas dan
otentisitas al-Quran dengan harapan untuk mengurangi kekuatan dan peran dalam
masyarakat. T. Noldeke menggambarkan al-Quran sebagai duplikasi dari
kitab-kitab yang sudah ada sebelumnya dengan melacak hubungan dan analisis
semantik mufradat al-Quran dan kitab-kitab sebelumnya. Baginya Muhammad saw.
Itu seorang impostor, bukan Nabi, al-Quran itu hasil karangan Muhammad serta
tim redaksi sesudahnya.
Noldeke sebenarnya mengembangkan
pemikiran Abraham Geiger yang mengatakan bahwa Al-Quran terpengaruh oleh agama
Yahudi. Pertama, dalam hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin. kedua,
peraturan-peraturan hukum dan moral. Ketiga, tentang pandangan terhadap
kehidupan.
Dr.
Theodore Noldeke (1836-1930) adalah seorang Orientalis terkemuka di jerman
yang khusus mendalami bahsa siryani, Arab dan parsi, mengemukakan pendapatnya
tentang kitab suci al-Qur’an, sebagai berikut: “kita tidak hanya
mempunyai tanggapan-tanggapan keseeluruhan mengenai watak Muhammad itu, bahkan
mempunyai karya yang otentik yaitu al-Qur’an yang disampaikannya atas nama
Allah. Sekalipun demikian, tokoh yang luar biasa menarik dan mengerikan
itu dalam banyak hal tetap merupakan teka teki. Ia banyak sekali mendalami
agama yahudi dan agama kristen, tapi hanya melalui laporan lisan belaka.
Sekalipun mengenai soal apakah betul muhammad itu tak pandai membaca dan
menulis, pasti bahwa dia tidak pernah membaca Bible ataupun kitab-kitab
lainnya. Tokoh-tokoh tempat dia mengumpulkan informasi mengenai agama-agama tua
yang monoteisis itu pastilah pihak yang kurang terpelajar. Terlebih khusus
guru-guru pembimbingnya dalam bidang kristen.”
Atau dalam sumber lain
mengatakan,
“Kita tidak hanya mempunyai
tanggapan-tanggapan yang penuh keseluruhan dari watak Muhammad itu, bahkan ia
mempunyai karya yang otentik yaitu Al-Qur’an, yang disampaikan atas nama Allah.
Sekalipun demikian tokoh yang luar biasa dan menarik dan mengerikan itu dalam
banyak hal tetap merupakan teka-teki. Ia banyak sekali mendalami agama Yahudi
dan agama Kristen, tapi hanya melalui laporan lisan belaka dan pasti kita tidak
akan puas dengan banyaknya khayalan (the grossness of imagination), kekurangan
logika (the undenibable poverty of thought), dan lain sebagainya …”
Dari ungkapan Theodore Noldeke
sarjana orientalis jerman itu, terbayanglah di depan mata siapapun bahwa di
Makkah, pada masa-masa sebelum Nabi besar Muahammad SAW menjalankan dakwah pada
tahun 610 M, ada fakultas teologi dari sebuah Universitas dan Muhammad adalah
mahasiswa yang tekun mempelajari berbagai agama sekian tahun lamanya ke
berbagai guru yahudi dan keristen, seperti yang dilakukan mahasiswa Theodore
Noldeke sendiri sewaktu mempelajari agama Islam. Jadi Theodore Noldeke terlalu
berkhayal dengan semua ungkapannya tersebut.
Menurut theodor Noldeke,
ke-ummian Muhammad bukanlah anggapan bahwa nabi tidak bisa membaca dan menulis,
namun menurutnya bahwa Ummi adalah tidak mengetahui kitab-kitab terdahulu
(hanya mengetahui sedikit berdasarkan khabar dari wahyu). Pendapat Noldeke ini
didasrkan pada ayat al-Qur’an surah al-ankabut ayat 48
وما
كنت تتلو من قبله من كتاب ولا تخطه بيمينك اذا لارتاب المبطلون
"Dan kamu tidak pernah membaca
sebelumnya (Al Quran) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu
Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis),
benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu)".
Menurut Noldeke, predikat Ummi
yang diberikan kepada Muhammad yang dipahami sebagai “ tidak bisa membaca dan
menulis” adalah lemah. Pemahaman yang lebih cocok adalah bahwa Muhammad tidak
mengenal kitab-kitab suci terdahulu kecuali sedikit (hanya memahami kitab-kitab
suci terdahulu melalui keterangan wahyu). Ketidakpahaman Muhammad dibuktikan
ketika Nabi menerima wahyu pertama di gua hira. Ketika Nabi dipaksa oleh
malaikat jibril, dengan tegas Nabi menjawab ماانابقارئ(saya bukanlah seorang pembaca; saya tidak
bisa membaca). Mengenai redaksi ini Noldeke meragukan validitas riwayatnya,
sebab berdasarkan laporannya, ada beberapa bentuk redaksi yang berbeda, ada
redaksi مااقرأ, فماأقرأ, atau ومااقرأ.
Selain hal itu, menurutnya,
hadits yang meriwayatkan tentang awal mula wahyu diturunkan adalah kebanyakan
riwayat dari ‘aisyah, sedang kenyataanya, ketika Nabi menerima wahyu itu pada
tahun 611 M, sedang ‘Aisyah itu lahir pada tahun 621, jadi menurut Noldeke
‘Aisyah pada saat itu masih berumur 10 tahun dan menurutnya riwayat ‘Aisyah
tidak bisa diterima karena belum baligh.
Muhammad sengaja tidak mau
dianggap sebagai panutan yang mampu membaca dan menulis, karena itulah dia
mewakilkan kepada para sahabatnya untuk membaca al-Qur’an dan
risalah-rislahnya. Muhammad juga sama sekali tidak pernah membaca kitab-kitab
suci terdahulu dan informasi-informasi penting lainnya. Pendapat ini juga
didukung oleh Muhammad ‘Abid al-Jabiri, menurutnya kata Ummi adalah kebalikan
dari “ahl al-kitab”. “ummiyyun” ditujukan bagi orang-orang arab yang tidak
faham terhadap kitab taurat dan injil, sebagaimana disebutkan dalam beberapa
ayat (QS. Al-Baqarah : 78; Ali-Imran : 20 dan al-Jumu’ah : 2). Karena itulah
Nabi juga disebut Ummi. Untuk menguatkan pendapat Noldeke, ia (Noldeke)
mengatakan bahwa Muhammad ketika dalam menyatakan status Haman (dalam al-Qur’an
disebutkan sebagai menteri fir’aun, padahal menurut Noldeke, ia adalah menteri
dari ahasuerus. Kasus lain, disebutkan bahwa kata Furqon yang sebenarnya
berarti penebusan oleh Muhammad dipahami wahyu. Millah yang sebenarnya berarti
“word” dalam al-Qur’an diartikan sebagai agama.
Pandangan orientalis seputar
bacaan basmalah
Menurut
Noldeke, kalimat basmalah biasa diungkapkan saat akan melakukan perbuatan yang
sudah dikenal dalam tradisi Yahudi, sebagaimana disebutkan dalam kisah Nabi Nuh
dan Sulaiman. Inilah yang menjadi acuan bahwa Noldeke mengatakan, Muhammad
menirukan hal yang sama terutama saat ia di Madinah untuk naskah Undang-Undang
Madinah, perdamaian Hudubiyah dan Teks-teks surat menyurat kepada beberapa kaum
Musyrik saat itu. Ini termasuk salah satu sandaran Noldeke dalam mengkritik
bahwa al-Qur’an terpengaruh oleh Yahudi begitu juga menurut Noldeke dalam
bukunya Geschichte de Qorans” (Sejarah al-Qur’ân) bersikeras
menyatakan bahwa Basmalah dijiplak oleh Nabi Muhammad saw. dari Injil.
Dalam satu artikel Encyclopedia
Britannica (1891) Noldeke, menyebutkan banyak kekeliruan dalam al-Quran karena “kejahilan
Muhammad” tentang sejarah awal agama Yahudi—kecerobahan nama-nama dalam
perincian yang lain yang ia curi dari sumber- sumber Yahudi. Dengan membuat
daftar kesalahan yang menyebut,
“[Bahkan] orang Yahudi yang
paling tolol sekalipun tidak akan pernah salah menyebut Haman (menteri
Ahasuerus) untuk menteri Firaun, atau pun menyebut Miriam saudara perempuan
Musa dengan Maryam (Miriam) ibunya al-Masih….[Dan] dalam kebodohannya tentang
sesuatu di luar tanah Arab, ia menyebutkan suburnya negeri Mesir-di mana hujan
hampir-hampir tidak pernah kelihatan dan tidak pernah hilang karena hujan, dan
bukan karena kebanjiran yang disebabkan oleh sungai Nil”
4. Pendekatan yang digunakan
T. Noldeke
Secara umum ada tiga metodologi
yang digunakan oleh kalangan orientalis ketika mengkaji ketimuran. Pertama,
pendekatan filologi. Kedua, pendekatan kritik sejarah. Ketiga, pendekatan
ontologi. Metode filologi, sebagaimana yang paling sering diterapkan oleh
kalangan orientalis, mencakup beberapa fase: penelitian dan dan pengkritikan
nilai naskah (textual criticism), bentuk karya tulis (form criticism) dan
penulusuran sumber karya (source criticism). Tiga fase ini merupakan prasyarat
yang harus dibenahi dahulu sebelum memasuki wilayah diskursus kajian yang
diaplikasikan dengan upaya penelusuran dan pengumpulan sumber rujukan asal
terutama memburu tulisan tangan berupa manuskrip-manuskrip berbagai versi,
meneliti otentisitasnya, menilai otoritasnya dan kemudian membuat edisi
kritisnya.
Konsekuensinya tentu menyoroti
kemungkinan-kemungkinan terjadinya berbagai kesalahan dalam proses penyalinan
dari perubahan, penambahan, penyisipan, pengabaian dan sebagainya. Bahkan juga
mencari sumber rujukan asli yang disinyalir sebagai sumber inspirasi dan ide
karya tulisan itu dalam mengembangkan gagasan- gagasan orisinalnya. Hal ini
meniscayakan adanya tulisan itu, betapa pun autentik, akan kembali pada
kubangan hitam sebagai “karya bajakan” karena ditarik jauh kebelakang “asal
muasal” di mana akan ditemukan “persenyawaannya”. Metodologi ini pertama kali
diperkenalkan oleh Ernest Renan, perintis orientalis modern generasi kedua,
sementara generasi pertama adalah Silvestre De Sacy. Sacy dianggap sebagai
bapak orientalis modern yang memperkenalkan metodologi antropologi rasional.
Namun pada perkembangannya metodologi Sacy tidak diterapkan oleh kalangan
orientalis setelahnya, dan tergantikan oleh mentodologi filologinya Renan yang
cukup menonjol kala itu hingga Foucault berani menggelarinya “si arsip zaman”.
Kedua, pendekatan krtitik sejarah
(historical criticism). Pendekatan ini sedikit berbeda dengan yang pertama,
jika yang pertama berorientasi partikularistik, namun yang kedua ini berorientasi
universal dan menggeneralisir. Tertuju kepada data kebenaran informasi mencakup
perbandingan antara sejarah dan legenda, antar fakta dan fiksi, antar realitas
dan mitos. Indikatornya bisa jadi kontradiksi dari sumber informasi dengan
sumber lainnya, variasi dan inkonsistensi berbagai versi meskipun berasal dari
sumber yang sama. Termasuk kejanggalan dan keganjilan bahasa yang digunakan.
Karya yang bermetodologikan ini banyak juga diterapkan kalangan orientalis,
karena pada dasarnya hampir mendekati metodologi filologis. Seperti terlihat
dalam karya-karya orientalis ternama, seperti T.J. De Boer dalam Tarikh
al-Falsafah fi al- Islam, di mana ia mengatakan bahwa filsafat Islam murni dari
helenistik filsafat Yunani. Atau contoh lain T. Noldeke dalam Geschicte des
Qorans dengan edisi Arab bertajuk Tarikh al-Quran, yang mendaku-dalih bahwa
cerita-cerita para Nabi, segenap ajaran dan pewahyuan dalam al-Quran berasal
dari ajaran murni Yahudi.
Terakhir pendekatan ontologi.
Pendekatan ini adalah pendekatan yang bukan bawaan dari Barat, melainkan murni
dari metodologi rahim Islam sendiri. Artinya sama sekali tidak menggunakan dua
pendekatan radikal di atas. Justru ada pengakuan dan kemudian mempelajarinya
sebagai pisau analisis kajian. Pendekatan ini tidak memperdulikan akan
timbulnya perseteruan, bahkan kadang menjadi begitu kontras dan teralienasi
dalam penerapan metodologi Barat yang lazim—sekalipun kadang di satu sisi
mengelaborasi metodologi Barat. Seperti karya apik Louis Massignon dalam al-
Hallaj al-Shufi al-Syahid fi Islam ketika menjadikan figur al-Hallaj, sufi yang
martir, sebagai “guru spritualnya”. Ia merasa muak dengan budaya hedonisme dan
matrialisme Barat dan menemukan kedamaian dalam sosok spritualitas al-Hallaj.
Dari ketiga metodologi di atas,
T. Noldeke menggunakan pendekatan yang kedua yaitu kritik sejarah. Noldeke
menggunakan skema kronologis yang membagi masa pewahyuaan menjadi tiga periode
Mekah dan satu periode Madinah, yang paling diterima secara umum di masa itu.
Terlepas dari kronologi standar yang empat periode, terdapat skema lain. Yang
paling terkenal adalah skema Muir (lima periode Mekah termasuk masa pra-kenabian
dan satu periode Madinah).
5. Sikap Terhadap Noldeke
dan Orientalis lainnya
Meskipun para orientalis telah
memberikan jasa-jasa besar kepada kita dalam memahami khazanah Islam baik
Al-Qur’an atau Hadis, namun mereka tidak terlepas dari fanatisme yang
berdasarkan agama dan ras. Oleh karena itu, pembahasan-pembahasan mereka penuh
dengan kekeliruan dan bahkan kebohongan-kebohongan yang disengaja, yang
mengharuskan para pembaca berhati-hati. Bahkan banyak persoalan bahasa dan
kesusastraan serta sejarah yang disalahgunakan dari
kebenaran (distorsi). Menurut A. Hanafi, kesalahan-kesalahan mereka lebih
menonjol lagi dalam proyek bersama mereka yaitu Encyclopaedia of Islam,
terutama dalam hal-hal yang berhubungan dengan soal- soal keagamaan murni.
Namun kesalahan-kesalahan mereka
nampaknya dapat ditolerans dan dimengerti karena objek kajian mereka adalah
Islam yang notabene agama yang mereka tidak sukai, sehingga hasil penelitiannya
terkesan subjektif dan bias dari kebenaran hakiki. M.M. Azami berkata dalam
bukunya The History of The Qur’anic Text bahwa siapa saja yang hendak menulis
perihal Islam, hendaknya terlebih dahulu dia menarik sebuah keputusan percaya
bahwa Muhammad adalah seorang Nabi. Para ilmuwan yang mengakui bahwa ia
benar-benar seorang Rasul dan yang paling mulia di antara para nabi, mereka
bakal menikmati kepustakaan hadis yang mengagungkan dan wahyu keTuhanan yang dapat
dijadikan sebagai sumber inspirasi.
Setelah mengkaji tentang motivasi
dan pemikiran T. Noldeke, kami rasa kita harus hati-hati terhadap hasil-hasil
pemikiran yang telah disumbangkannya. Karena, banyak penemuannya yang tidak
bisa diterima oleh kita sebagai seorang muslim, sebagaimana kesimpulannya bahwa
Muhammad adalah seorang pembohong dan penjiplak karya orang lain, disamping
subyektivitas dia dalam mengkaji al-Qur’an yang diposisikan sebagai karya
Muhammad. Sikap ini bukan karena melihat sosok dia sebagai seorang orientalis
non-muslim, namun sebagai sikap kritis terhadap setiap hasil penelitian ilmiah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat
disimpulkan bahwa Dr. Theodore Noldoke (1836-1930) adalah seorang Orientalis
terkemuka di Jerman yang khusus mendalami bahasa Siryani, Arab dan persia. Ia
pernah mengemukakan pendapatnya mengenai Al-Qur’an sebagai berikut:
“Kita tidak hanya mempunyai
tanggapan-tanggapan yang penuh keseluruhan dari watak Muhammad itu, bahkan ia
mempunyai karya yang otentik yaitu Al-Qur’an, yang disampaikan atas nama Allah.
Sekalipun demikian tokoh yang luar biasa dan menarik dan mengerikan itu dalam
banyak hal tetap merupakan teka-teki. Ia banyak sekali mendalami agama Yahudi
dan agama Kristen, tapi hanya melalui laporan lisan belaka dan pasti kita tidak
akan puas dengan banyaknya khayalan (the grossness of imagination), kekurangan
logika (the undenibable poverty of thought), dan lain sebagainya …”
Dari ungkapan Theodore Noldeke di
atas dapat kita asumsikan bahwa ia masih berpikir dengan terlampau berkhayal
bahwa apa yang ada di zaman nabi muhammad dianalogikan sama dengan zaman yang
ia alami. Coba kita bayangkan apakah di zaman Muhammad sudah ada Universitas
dan sudah ada aktivitas perkuliahan di Fakultas Teologi yang pernah Theodore
Noldeke alami saat itu, ia sangka bahwa nabi Muhammad pernah berguru pada Maha
guru dari beberapa pemuka agama terdahulu seperti pengalaman ia dapatkan.
Sehingga merujuk pada kajian Al-Qur’an olehnya bahwa Al-Qur’an itu keterlaluan
banyak “imajinasi’, kekurangan logika, kemiskinan pemikiran, tidak ditemukan
sesuatau pembuktian yang mendukung masing-masing pendapat tersebut. Jadi lebih
banyak merupakan statmen yang tidak rasional bagi para peneliti.
B. Kritik dan
Saran
Dalam
pembuatan makalah tersebut tentu penulis merasa masih banyak kekurangan dan
mungkin kesalahan pada konten-konten yang termuat. Seperti halnya pepatah mengatakan,
“tak ada gading yang tak retak”. Oleh karena itu penulis berharap dengan sangat
agar ada penyempurnaan berupa kritik maupun saran yang membangun. Semoga
makalah diatas dapat bermanfaat bagi kita semua. Aminn.
DAFTAR
PUSTAKA
Azami, M.M. The History of The
Qur’anic Text, Jakarta: GIP, 2005
Badawi, Abdurrahman, Ensiklopedi
Tokoh Orientalis, Yogyakarta: LKIS, 2003
Hanafi, A.Orientalisme, Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1981.
http://syafieh.blogspot.com/2013/07/sejarah-al-quran-dalam-pandangan.html diakses pada 20 september 2018 pukul 21:15
Post a Comment for "MAKALAH AL-QUR’AN DALAM PANDANGAN THEODOR NOLDEKE"