MAKALAH TENTANG WAHYU
WAHYU
Tujuan Makalah :
Guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Al-qur’an dan Hadist
Dosen Pembimbing: Isti’anah, M.A
Disusun oleh:
·
Rohman Syah
KOMUNIKASI PENYIAR ISLAM
USHULUDDIN, SYARIAH, DAN DAKWAH
IAINU KEBUMEN
2017
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama ALLAH SWT yang maha
pengasih lagi maha penyayang. Kami panjatkan puja dan puji syukur atas
kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,dan inayah-Nya kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan sedemikian rupa.
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhamad
SAW yang telah memberikan teladan kepada seluruh umatnya.
Makalah ini telah kami susun semaksimal
mungkin, oleh karenanya kami ucapkan setulus-tulusnya kepada dosen kami Bu
Isti’ anah, M.A yang telah membimbing kami, sehingga kami dapat membuat makalah
ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari
sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
dengan tangan terbuka kami menerima kritik dan saran dari pembaca agar kami
dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap, semoga kehadiran
makalah ini bisa memberikan manfaat dan wawasan bagi pembaca, dan semoga ALLAH
SWT selalu melimpahkan rahmat, taufik, hidayah-Nya kepada kita semua.
Kebumen,
4 Oktober 2017
Penulis
DAFTAR
ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
Turunnya islam serta penyampaian Al qur-an tidak
lepas dari kuasanNya yang perlu kita imani, karena berhubungan dengan sesuatu
yang kasap mata. Sesuatu yang kasap mata atau sesuatu yang ghaib tidak semudah untuk
diyakini. Semua nabi menerima wahyu, terkhusus pembahasan makalah ini adalah
wahyu yang turun kepada Nabi Muhamad SAW.
Dari turunnya wahyu inilah menjadikan islam
semakin luas, baik dari segi wilayah, pengikutnya, maupun pengetahuaannya. Dari
wahyu itulah membuahkan ilmu yang belum kita ketahui dan perlu banyak kita
pelajari.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang
pengertian dari wahyu, cara wahyu ALLAH turun kepada malaikat, penyampaian
wahyu oleh malaikat kepada rosul, dan syubhat para penentang wahyu.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN WAHYU
Dikatakan; wahaitu illahi dan
auhaitu. Kalimat ini digunakan jika tidak ingin orang mendengarnya. Wahyu mengandungan makna
isyarat yang cepat. Itu terjadi biasanya melalui pembicaraan yang berupa
simbol, terkadang melalui suara semata, dan terkadang melalui isyarat dengan
sebagian anggota badan.
Al-Wahy (wahyu) adalah kata masdar (infinitif). Dia
menunjukan pada dua pengertian dasar, yaitu; tersembunyi dan cepat. Oleh sebab
itu, dikatakan, “Wahyu ialah informasi secara tersembunyi dan cepat yang khusus
ditujukan kepada orang tertentu tanpa diketahui orang lain. Inilah pengertian
dasarnya (maasdar). Tetapi juga terkadang bermaksud al- muha,yaitu
pengertian isim maf’ul, maknanya yang diwahyukan. Secara etimologi (kebahasaan)
Pengertian wahyu meliputi:
1.
Ilham al fithri li al insan (ilham yang menjadi fitrah manusia). Seperti
wahyu terhadap ibu Nabi Musa,
وَأَوۡحَيۡنَآ إِلَىٰٓ أُمِّ مُوسَىٰٓ أَنۡ
أَرۡضِعِيهِۖ َ ٧
"Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia..” (Al Qashas: 7)
2.
Ilham yang berupa naluri pada binatang,
seperti wahyu kepada lebah,
وَأَوۡحَىٰ رَبُّكَ إِلَى ٱلنَّحۡلِ أَنِ
ٱتَّخِذِي مِنَ ٱلۡجِبَالِ بُيُوتٗا وَمِنَ ٱلشَّجَرِ وَمِمَّا يَعۡرِشُونَ ٦٨
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di
bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin
manusia". (An-Nahl: 68)
3.
Isyarat yang cepat melalui isyarat, seperti
isyarat Zakaria yang diceritakan Al-Qur’an,
فَخَرَجَ عَلَىٰ قَوۡمِهِۦ مِنَ ٱلۡمِحۡرَابِ
فَأَوۡحَىٰٓ إِلَيۡهِمۡ أَن سَبِّحُواْ بُكۡرَةٗ وَعَشِيّٗا ١١
“Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat
kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang”. (Maryam: 11)
4.
Bisikan setan untuk menghias yang buruk agar
tampak indah dalam diri manusia.
وَلَا تَأۡكُلُواْ مِمَّا لَمۡ يُذۡكَرِ ٱسۡمُ
ٱللَّهِ عَلَيۡهِ وَإِنَّهُۥ لَفِسۡقٞۗ وَإِنَّ ٱلشَّيَٰطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰٓ
أَوۡلِيَآئِهِمۡ لِيُجَٰدِلُوكُمۡۖ وَإِنۡ أَطَعۡتُمُوهُمۡ إِنَّكُمۡ
لَمُشۡرِكُونَ ١٢١
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut
nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu
adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada
kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka,
sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (Al-An’am: 121)
5.
Apa yang disampaikan Allah kepada para
malaikat-Nya berupa suatu perintah untuk dikerjakan.
إِذۡ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ
أَنِّي مَعَكُمۡ فَثَبِّتُواْ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْۚ سَأُلۡقِي فِي قُلُوبِ
ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ ٱلرُّعۡبَ فَٱضۡرِبُواْ فَوۡقَ ٱلۡأَعۡنَاقِ وَٱضۡرِبُواْ
مِنۡهُمۡ كُلَّ بَنَانٖ ١٢
“(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang
telah beriman". Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang
kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka”. (Al-Anfal: 12)
Sedangkan wahyu Allah kepada para nabi-Nya,
secara syariat mereka definisikan sebagai “Kalam Allah yang diturunkan kepada
nabi”. Definisi ini menggunakan pengertian maf’ul, yaitu al-muha (yang
diwahyukan). Ustadz Muhamad Abduh mendefinisakan wahyu di dalam Risalah
At-Tauhid sebagai “pengetahuan yang didapati seseorang dari dalam dirinya
dengan suatu keyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari Allah, baik melalui
perantara ataupun tidak.Yang pertama melalui suara yang terjelma dalam
telinganya atau bahkan tanpa melalui suara. Beda antara wahyu dengan ilham
adalah bahwa ilham itu intuisi yang diyakini oleh jiwa yang mendorong untuk
mengikuti apa yang diminta, tanpa sadar dari mana datangnya. Hal seperti itu
serupa dengan perasaan lapar, haus, sedih, dan senang”.[1]
Definisi di atas adalah defini wahyu dengan
pengertian masdar. Bagian awal definisi ini mengesankan adanya kemiripan antara
wahyu dengan suara hati atau kasyaf. Tetapi pembedaannya dengan ilham di
akhir definisi tadi menafikan kemiripan ini.
B.
CARA WAHYU ALLAH TURUN KEPADA MALAIKAT
1.
Dalam Al-Qur’an Al-Karim terdapat nash
mengenai kalam Allah kepada malaikat-Nya,
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي
جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا ٣٠
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".
Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya”. ( Al-Baqarah: 30)
Juga tentang wahyu Allah kepada mereka, “Ingatlah
ketika Tuhanmu mewahyukan kepada malaikat; Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka
teguhkan pendirian orang-orang yang beriman”. (Al-Anfal: 12)
Ada juga nash tentang para malaikat yang
mengurus urusan dunia menurut perintah-Nya, “Demi malaikat-malaikat yang
membagi-bagi urusan.” (Adz-Dzariyat: 4); “Dan demi malaikat-malaikat yang
mengatur urusan dunia.” (An Nazi’at: 5)
Ayat-ayat di atas dengan tegas menunjukan
bahwa Allah berbicara kepada para malaikat tanpa perantaraan dan dengan
pembicaraan yang dipahami oleh para malaikat itu. Hal itu diperkuat oleh hadist
dari Nuwas bin Sam’an ra. yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Apabila Allah hendak memberikan wahyu mengenai suatu urusan. Dia berbicara
melalui wahyu, maka langit pun bergetar dengan getaran atau dia menyatakan
dengan goncangan yang dahsyat karena takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ketika
penghuni langit mendengarnya, maka pingsan dna jatuh. Lalu bersujudlah kepada
Allah. Yang pertama sekali mengangkat kepalanya di antara mereka itu adalah
Jibril, lalu Allah menyampaikan wahyunya kepada Jibril menurut apa yang
dikehendaki-Nya. Kemudian Jibril melintasi berjalan melintasi para malaikat.
Setiap kali dia melalui satu langit, para malaikatnya bertanya pada Jibril:
“Apakah yang telah difirmankan Tuhan kita, wahai Jibril?” Jibil menjawab: “Dia
mengatakan yang hak dan Dialah yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” Para malaikat
itu semuanya pun mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Jibril. Lalu Jibril
menyampaikan wahyu itu seperti diperintahkan Allah Azza wa Jalla”.[2]
Hadist ini menjelaskan bagaimana wahyu turun.
Pertama Allah berbicara, yang didengar oleh para malaikat. Pengaruh wahyu itu
sangat dahsyat. Pada zhahirnya di dalam perjalanan Jibril untuk menyampaikan
wahyu, hadist di atas menunjukan turunnya wahyu khusus mengenai Al-Qur’an, akan
tetapi hadist tersebut juga menjelaskan cara turunnya wahyu secara umum. Pokok persoalan
itu terdapat di dalam hadist shahih, “Apabila Allah memutuskan suatu perkara
dilangit, maka para malaikat mengepak-ngepakan sayapnya karena pengaruh
firman-Nya, bagaikan mata rantai yang licin.”
2.
Jelas bahwa Al-Qur’an telah dituliskan di lauhul
mahfuzh, berdasarkan firman Allah, “Bahkan ia adalah Al-Qur’an yang
mulia yang tersimpan di lauhul mahfuzh.” (Al-Buruj: 21-22)
Demikian juga, Al-Qur’an itu diturunkan
sekaligus ke Baitul ‘Izzah yang berada dilangit dunia pada malam lailatul
qadar di bulan Ramadhan, “sesungguhnya kami menurunkannya Al-Qur’an pada lailatul
qadar,”(Al-Qadar: 1); “Sesungguhnya kami menurunkannya Al-Qu’an pada suatu
malam yang diberkahi.” (Ad-Dukhan: 3) “Bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya
diturunkan Al-Qur’an.” (Al-Baqarah: 185)
Di dalam Sunnah terdapat hal yang menjelaskan
turunnya Al-Qur’an yang menunjukan bahwa nuzul itu bukan turun ke dalam hati
Rasulullah SAW.
Dari Ibnu Abbas dengan hadist mauquf,
“Al-Qur’an itu diturunkan sekaligus ke langut dunia pada Lailatul qadar.
Setelah itu diturunkan selama dua puluh tahun. Lalu Ibnu Abbas membaca ayat,”Tidakah
orang-orang kafir datang kepadamu dengan membawa sesuatu yang ganjil, melainkan
kamu datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik
penyelesaiannya.” (Al-Furqon: 33) “Dan Al-Qur’an itu telah kami turunkan
berangsur-angsur agar kamu membacanya secara perlahan-lahan kepada [3]manusia
dan kami menurunkannya bagian demi bagian (Al-Isra: 106)
Dalam suatu riwayat disebutkan, “Telah
dipisahkan Al-Qur’an dan Adz-Dzikr, lalu diletakan di baitul ‘izzah
di langit dunia; kemudian Jibril menurunkannya kepada Nabi SAW.”[4]
Oleh sebab itu, para ulama berpendapat
mengenai cara turunnya wahyu Allah yang berupa Al-Qur’an kepada Jibril dengan
beberapa pendapat:
a.
Jibril
menerimanya secara pendengaran dari Allah dengan lafazhnya yang khusus.
b.
Jibril
mengahafalnya dari Lauh Al-Mahfuzh.
c.
Maknanya disampaikan keada Jibril, sedang
lafazhnya dari Jibril, atau Nabi Muhamad SAW
Pendapat pertama yang benar. Pendapat itu yang
dijadikan pegangan oleh Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, serta diperkuat oleh hadist
Nuwas bin Sam’an di atas.
Penyandaran Al-Qur’an kepada Allah itu
terdapat dalam beberapa ayat,
وَإِنَّكَ لَتُلَقَّى ٱلۡقُرۡءَانَ مِن لَّدُنۡ
حَكِيمٍ عَلِيمٍ ٦
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al Quran dari sisi (Allah)
Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (An-Naml:6)
“Dan jika
seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka
lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian
antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum
yang tidak mengetahui.” (At-Taubah: 6)
“Dan apabila
dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak
mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: "Datangkanlah Al Quran yang
lain dari ini atau gantilah dia". Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku
menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang
diwahyukan kepadaku...” ( Yunus: 15)
Al-Qur’an
adalah kalam Allah dan lafazhnya, bukan dari Jibril atau Nabi Muhamad SAW.
Adapun pendapat
kedua, tidak dapat dijadikan pegangan, sebab adanya Al-Qur’an di Lauhul
mahfuzh itu seperti hal-hal gaib lain, termasuk Al-Qur’an.
Sedangkan,
pendapat ketiga hampir seperti makna sunnah. Sebab, sunnah itu wahyu dari Allah
kepada Jibril, kemudian kepada Nabi Muhammad SAW secara makna. Lalu beliau
mengungkapkan dengan redaksi beliau sendiri, “Dia (Muhammad) tidaklah
berbicara mengikuti kemauan hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu tidak lain
adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (An-Najm:3-4)
Karena
diperbolehkan meriwayatkan hadist menurut maknanya, sedangkan Al-Qur’an tidak.
Di antara
keistimewaan Al-Qur’an adalah:
1)
Al-Qur’an
adalah mukjizat
2)
Kebenarannya
mutlak
3)
Membacanya
termasuk ibadah
4)
Wajib
disampaikan dengan lafazhnya. Sedang hadits qudsi tidak demikian, sekalipun ada
yang berpendapat lafazhnya juga diturunkan.
Hadist nabawi
ada dua macam. Pertama; Sebagai ijtihad RasulullahSAW. Ini bukan wahyu.
Adanya pengakuan wahyu dengan cara membiarkannya terhadap ijtihadnya, apabila
ijtihad itu benar. Kedua; Maknanya saja yamg diwahyukan, sedangkan
lafazhnya dari Rasulullah sendiri. Oleh seebab itu, ini dapat dinyatakan dengan
maknanya saja.Hadist qudsi itu menurut pendapat yang kuat, maknanya saja yang
diturunkan, sedang lafazhnya tidak. Ia termasuk ke dalam bagian yang kedua ini.
Sedang menisbahkan hadist qudsi keada Allah dalam periwayatkannya karena ada
nash tentang itu, adapun hadist nabawi tidak
C.
PENYAMPAIAN WAHYU OLEH MALAIKAT KEPADA RASUL
Wahyu Allah kepada para Nabi-Nya ada kalanya
tanpa perantara, misalnya mimpi yang benar diwaktu tidur dan kalam Illahi dari
balik tabir dalam keadaan jaga yang didasari dan ada kalanya melalui perantara
malaikatwahyu.
Ada dua cara penyampaian wahyu oleh malaikat
kepada Rosul:
Pertama; Datangnya dengan suatu suara seperti suara
lonceng, yaitu suara yang amat kuat yang dapat mempengaruhi keadaan, sehingga
ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. ini adalah yang paling berat bagi Rasul.
Apabila wahyu yang turun kepada Rasulullah dengan cara ini, biasanya beliau
mengumpulkan segala kekuatan dan kesadarannya untuk menerima,menghafal dan
memahaminya. Terkadang suara itu seperti kepak sayap-sayap malaikat, seperti
diisyaratkan dalam hadist,
“Apabila Allah menghendaki suatu urusan di
langit, maka para malaikat memukul-
mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya, bagaikan
gemerincingnya mata rantai di atas batu-batu yang licin.” (HR. Al-Bukhari)
Dan
mungkin suara malaikat itu sendiri pada waktu Rasul baru mendengarnya untuk
pertama kalinya.
Kedua; Malaikat menjelma kepada Rasul sebagai seorang
laki-laki, cara seperti ini lebih ringan daripada cara sebelumnya, karena ada
kesesuaian antara pembicara dengan pendengar. Beliau mendengarkan apa yang
disampaikan pembawa wahyu itu dengan senang, dan merasa tenang seperti
seseorang yang sedang berhadapan dengan saudaranya sendiri.
Keadaan Jibril menampakan diri seperti
laki-laki itu tidaklah harus ia melepaskan sifat keruhaniannya. Dan tidak pula
berarti dzatnya berubah menjadi seorang laki-laki. Tetapi yang dimaksud ialah
bahwa ia menampakan diri dalam bentuk manusia tadi untuk menyenangkan
Rasulullah sebagai manusia. Yang pasti, keadaan pertama tatkala wahyu turun
seperti suara lonceng yang dahsyat tidak membuatnta tenang, karena yang
demikian menuntut ketinggian spiritual Rasulullah yang seimbang dengan dzat
malaikat. Dan inilah yang paling berat. Kata Ibnu Khaldun, “Dalam keadaan yang
pertama, Rasulullah melepaskan kodratnya sebagai manusia yang bersifat jasmani
untuk berhubungan dengan malaikat yang bersifat ruhani. Sedangkan sebaliknya,
malaikat berubah dari ruhani semata menjadi manusia jasmani.”
Keduanya itu tersebut dalam hadist yang
diriwayatkan Aisyah bahwa Al-Harist bin Hisyam bertanya kepada Rasulullah
mengenai hal itu. Nabi menjawab, “kadang-kadang ia datang kepadaku bagaikan
dencingan lonceng, dan itulah yang paling berat bagiku, lalu ia pergi, dan aku
telah menyadari apa yang telah dikatakannya. Dan terkadang malaikat menjelma
keadaku sebagai seorang laki-laki, lalu dia berbicara kepadaku, dan aku
memahami apa yang dikatakan.”
Al-Harist berkata, “Aku pernah melihat tatkala
wahyu sedang turun kepada beliau suatu hari yang amat dingin. Lalu malaikat itu
pergi, keringat mengucur dari dahi Rasulullah.”[5]
Keduanya itu merupakan macam ketiga pembicaraan
Illahi yang diisyaratkan di dalam ayat,
۞وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ ٱللَّهُ إِلَّا وَحۡيًا
أَوۡ مِن وَرَآيِٕ حِجَابٍ أَوۡ يُرۡسِلَ رَسُولٗا فَيُوحِيَ بِإِذۡنِهِۦ مَا
يَشَآءُۚ إِنَّهُۥ عَلِيٌّ حَكِيمٞ ٥١
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata
dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan
mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya
apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (Asy-Syura:51)
Tentang
hembusan ke dalam hati, telah disebutkan di dalam hadist Rasulullah SAW, “Ruh
kudus telah menghembuskan ke dalam hatiku bahwa seseorang itu tidak akan mati
sehingga dia menyempurnakan rejeki dan ajalnya. Maka bertakwalah kepada Allah,
dan carilah rejeki dengan jalan yang baik.”[6]
Hadist ini
tidak menunjukan turunnya wahyu secara sendiri. Hal itu mungkin dapat
dikembalikan kepada salah satu dari dua keadaan yang tersebut di dalam hadist
Aisyah. Mungkin malaikat datang kepada beliau dalam keadaan yang menyerupai
suara lonceng, lalu dihembuskan wahyu kepadanya. Bisa jadi wahyu yang melalui
hembusan itu adalah wahyu selain Al-Qur’an.
D. SYUBHAT PARA PENENTANG WAHYU
Orang-orang jahiliyah baik yang klasik atau
modern selalu berusaha menimbulkan keraguan (syubhat) terhadap wahyu dengan sikap keras kepala dan
sombong. Tetapi syubhat itu lemah dan tidak dapat diterima.
1.
Mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an bukan wahyu,
tetapi dari pribadi Nabi Muhamad. Dialah yang menciptakan maknanya, dan
menyusun “bentuk bentuk dan gaya bahasanya.”
Ini adalah asumsi batil. Apabila Nabi
menghendaki kekuasaan untuk dirinya sendiri dan menantang manusia dengan
mukjizat-mukjizat untuk mendukung kekuasaannya, tidak perlu beliau menisbahkan
semua itu kepada pihak lain. Dapat saja menisbahkan Al-Qur’an kepada dirinya
langsung, karena hal itu cukup mengangkat kedudukannya dan menjadikan manusia
tunduk atas kekuasaannya. Sebab, kenyataannya semua orang Arab dengan segala
kefasihan bahasanya, tidak mampu menjawab tantangan itu. Bahkan mungkin ini
lebih mendorong mereka untuk menerima kekuasaannya, karena dia juga salah
seorang dari mereka yang dapat mendatangkan apa yang mereka sanggupi.
Tidak pula dikatakan bahwa dengan menisbatkan
Al-Qur’an kepada Allah, beliau ingin menjadikan kata-katanya terhormat sehinggs
dengan itu dapat memperoleh sambutan manusia untuk menaati dan menuruti
perintah-perintahnya. Sebab, beliau juga mengeluarkan kata-kata yang
dinisbahkan kepadanya secara pribadi, yaitu yang dinamakan hadist nabawi, yang
wajib juga ditaati. Seandainya benar apa yang mereka tuduhkan, tentu
kata-katanya akan dijadikan kalam Allah Ta;ala.
Asumsi subhat diatas menggambarkan bahwa
Rasulullah SAW, termasuk pemimin yang berprilaku yang suka berdusta, curang
dalam menggapai tujuan. Subhat itu kontradiktif dengan fakta sejarah perilaku
Rasulullah yang jujur dan amanah. Baik mungsuh maupun lawannya telah
menyaksikan ketinggian moralnya.
Orang-orang munafik menuduh istrinnya, Aisyah
dengan tuduhan palsu, dialah istriyang sangat dicintainya. Tuduhan itu telah
menyinggung kemuliaan dan kehormatannya. Wahyu pun tidak segera meresponnya
(datang terlambat), Rasulullah dan sangat sahabatnya merasa sangat sedih.
Beliau berusaha sangat keras untuk meneliti dan mencari kebenarannya.Satu bulan
telah berlalu, namun belum juga ada jawaban, sehingga beliau menyatakan kepada
Aisyah, “Telah sampai kepadaku berita yang begini dan begitu. Apabila engkau
benar-benar bersih, maka Allah akan membersihkanmu. Dan apabila engkau telah
membuat dosa mohon ampunlah engkau kepada-Nya.”[7]
Keadaan berlangsung demikian hingga datangnya
wahyu yang menyatakan kebersihan istrinya Rasul. Maka, apakah yang
menghalanginya untuk mengatakan suatu kata yang dapat mematahkan para penuduh
itu dan melindungi kehormatannya, seandainya Al-Qur’an itu beliau yang membuatnya.
Tetapi Rasulullah orang yang jujur, tidak mau berdusta kepada manusia dan
kepada Allah,
وَلَوۡ تَقَوَّلَ عَلَيۡنَا بَعۡضَ
ٱلۡأَقَاوِيلِ ٤٤ لَأَخَذۡنَا مِنۡهُ بِٱلۡيَمِينِ ٤٥ ثُمَّ لَقَطَعۡنَا مِنۡهُ ٱلۡوَتِينَ ٤٦ فَمَا
مِنكُم مِّنۡ أَحَدٍ عَنۡهُ حَٰجِزِينَ ٤٧
“Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama)
Kami. Niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian
benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada
seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi
itu.” (Al-Haaqqah: 44-47)
Ada segolongan
orang meminta izin untuk tdak ikut berperang di Tabuk. Mereka mengajukan
alasan. Di antara mereka terdapat orang-orang munafik yang sengaja mencari-cari
alasan. Nabi mengizinkan meeka. Maka turunnlah wahyu Al-Qur’an yang mencela dan
mempermasalahkan tindakan itu, “Semoga
Allah memaafkanmu. Mengapa engkau memberi izin mereka (untuk tidak ikut
berperang, sebelum jelas bagimu alasan mereka) dan sebelum kamu ketahui mana
yang benar dan mana yang berdusta?” (At-Taubah: 43)
Seandainya
teguran keras ini datang dari erasaannya sendiri dengan menyatakan
penyesalannya ketika pendapat itu salah, tentulah teguran yang begitu keras itu
tidak akan diungkapkannya.
Demikian juga
dalam kasus penerimaan tebusan tawanan perang Badar, “Tidak patut bagi Nabi
mempunyai tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan mungsuhnya di muka bumi. Kamu
menghendaki harta duniawi, sedangkan Allah menghendaki ahala akherat untukmu.
Dan allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana. Kalau sekirannya tidak ada
ketetapan yang telah terdahulu dai Allah, tentulah kamu akan ditimpa siksa yag
besar karena tebusan yang kamu ambil.” (Al-Anfal: 67-68)
Juga adanya
teguran karena berpaling dari Abdullah bin Ummi Maktum seorang sahabat yang
buta, karena berhasrat agar salah seorang pembesar Quraisy masuk isalm, “Dia
(muhammmad) bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang seorang buta
kepadanya. Tahukah engkau barangkali dia ingin membersihkan dirinya dari dosa,
atau dia ingin mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat
kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya.
Padahal tidak ada celaan atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
Dan adapun orang yang datang keadamu dengan bersungguh-sungguh untuk
mendapatkan pengajaran, sedang dia takut kepada Allah, maka kamu abaikannya.
Sekali-kali jangan demikian! Sesungguhnya ajaran Tuhanmu itu adalah suatu
peringatan.” (‘Abasa: 1-11)
Dalam sejarah
hidup Rasulullah SAW, dapat diketahui bahwa beliau sejak kecil merupakan
teladan yang baik dan terpercaya. Masayarakat sendiri telah mengakuinya. Ketika
Nabi mengajak mereka pada awal dakwahnya, beliau berkata kepada mereka, “Bagaimana
pendapat kalian sekirannya aku memberi tahukan kepada kalian bahwa ada paasukan
bekuda di balik lebah ini akan menyerang kalian; apakah kalian percaya
kepadaku?” Mereka menjawab, “Ya, kami tidak pernah melihat engkau
berdusta.”
Perjaanan
hidunya yang suci itu menjadi daya tarik bagi manusia untuk umat islam.
Abdullah bin Salam ra. Mengisahkan, “Kekika Rasulullah SAW datang ke Madinah,
orang-orang mengerumuninya,. Mereka mengatakan, ‘Rasulullah sudah datang,
Rasulullah sudah datang!’ lalu aku datang ke dalam kerumunan orangbanyak itu
untuk melihatnya. Ketika, melihat wajah beliau, tahukah aku bahwa wajahnya itu
bukanwajah pendusta”[8]
Orang yang
memiliki sifat yang agung dihiasi dengan tanda-tanda kejujuran tidak pantas
diragukan ucaannya ketika dia menyatakan tentang dirinya bahwa bukan dialah
yang membuat Al-Qur’an, “Katakan Tidaklah patut bagiku untuk menggantikannya
dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali wahyu yang diwahyukan
kepadaku.” (Yunus: 15)
2.
Orang-orang
jahiliyah, dahulu dan sekarang, menyangka bahwa Rasulullah memiliki ketajaman
akal, penglihatan yang dalam, firasat yang kuat, kecerdikan yang hebat,
kejernihan jiwa dan renungan yang benar, yang menjadikannya mampu menimbang
ukuran-ukuran yang baik dan buruk, benar dan salah melalui ilham (intuisi),
mengenali perkara-perkarayang rumit melalui kasyaf, sehingga Al-Qur’an
itu tidak lain daripada yang hasil penalaran
intelektual dan pemahaman yang diungkapkan oleh Nabi Muhammad dengan gaya
bahasa dan retorika yag hebat.
Pertanyaannya,
manakah sebenarnya kandungan di dalam Al-Qur’an itu itu yang didasarkan pada
kecerdasan, penalaran, dan perasaan?
Sisi berita yang
merupakan bagian terbesar dalam Al-Qur’an tidak diragukan oleh orang yang
berakal bahwa apa yang diterimanya hanya didasarkan pada penerimaan dan
pengajaran. Al-Qur’an telah menyebutkan berita tentang umat terdahulu,
puak-puak dan peristiwa-peristiwa sejarah denganbenar dan cermat, seperti yang
telah disebutkan oleh saksi mata, sekalipun masa yang dilalui oleh sejarah itu
sudah sangat lama, bahkan masalah kejadian pertama alam ini un diberitakannya.
Hal ini tentu memberikan tempat bagi penggunaan pikiran dan kecermatan
firaasat. Padahal Nabi Muhammad sendiri tidak semasa dengan umat-umat dan
peristiwa-peristiwa di atas dengan segala macam kurun waktunya sehingga beliau
dapaat menyaksikan dan menyampaikan beritannya. Demikian pula beliau tidak
mewarisi kitab-kitabnya untuk di pelajari secara terinci dan kemudian
menyampaikan beritanya.
وَمَا كُنتَ بِجَانِبِ ٱلۡغَرۡبِيِّ إِذۡ
قَضَيۡنَآ إِلَىٰ مُوسَى ٱلۡأَمۡرَ وَمَا كُنتَ مِنَ ٱلشَّٰهِدِينَ ٤٤
وَلَٰكِنَّآ أَنشَأۡنَا قُرُونٗا فَتَطَاوَلَ عَلَيۡهِمُ ٱلۡعُمُرُۚ وَمَا كُنتَ
ثَاوِيٗا فِيٓ أَهۡلِ مَدۡيَنَ تَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِنَا وَلَٰكِنَّا
كُنَّا مُرۡسِلِينَ ٤٥
“Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi yang
sebelah barat ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan tiada pula
kamu termasuk orang-orang yang menyaksikan. Tetapi Kami telah mengadakan
beberapa generasi, dan berlalulah atas mereka masa yang panjang, dan tiadalah
kamu tinggal bersama-sama penduduk Mad-yan dengan membacakan ayat-ayat Kami
kepada mereka, tetapi Kami telah mengutus rasul-rasul.” (Al-Qasas: 44-45)
“Itu adalah di
antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum
ini. Maka
bersabarlah; sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Hud: 49)
“Kami
menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Quran ini
kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan)nya adalah termasuk
orang-orang yang belum mengetahui.” (Yusuf: 3)
“Yang demikian
itu adalah sebagian dari berita-berita ghaib yang Kami wahyukan kepada kamu (ya
Muhammad); padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan
anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan
memelihara Maryam...” (Ali-Imran: 44)
Juga
berita-berita yang cermat, mengenai angka-angka hitungan yang tidak diketahui
kecuali oleh orang yang cerdas. Di dalam kisah Nabi Nuh disebutkan,
“Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara
mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar,
dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (Al-‘Ankabut: 14)
Hal ini sesuai
dengan apa yang ada dalam kitab kejadian dalam taurat. Dan di dalam kisah
Ashabul kahfi, “Dan
mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun
(lagi).” (Al-Kahfi: 25)
Hitungan itu
menurut ahli kitab adalah tiga ratus tahun matahari. Sedangkan sembilan tahun
yang disebutkan di atas ialah perbedaan perhitungan antara tahun matahari
dengan tahun bulan. Dari manakah Nabi Muhammad memperoleh angka-angka yang
benar ini, sekiranya bukan karena wahyu yang diberikan kepadanya. Sebab, dia
adalah seorang buta huruf yang hidup di kalangan bangsa yang buta huruf pula,
yang tidak tahu tulis menulis dan berhitung? Orang-orang jahiliyah lama lebih
cerdas dalam menentang Nabi Muhammad daripada orang-orang jahiliyah modern.
Sebab, orang jahilliyah lama tidak menyatakan bahwa Nabi Muhammad itu mendapat
berita ini dari kesadaran dirinya seperti yang dikatakan oleh orang-orang
jahiliyah modern. Tetapi, mereka mengatakan bahwa Nabi Muhammad mempelajari
berita itu dan kemudia dituliskan, “Dan mereka berkata: "Dongengan-dongengan
orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan
itu kepadanya setiap pagi dan petang.”(Al-Furqon: 5)
Nabi Muhammad
tidak menerima pelajaran dari seorang guru. Jadi, dari manakah berita-berita
ini datang kepadanya secara seketika di waktu usianya telah empat puluh tahun? “Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 4)
Itu dari sisi
berita dalam Al-Qur’an. Adapun masalah lain seperti masalah akidah misalnya,
persoalan begitu rinci, baik tentang yang berkaitan dengan permulaan makhluk
dan kesudahannya, kehiduan akheratdan apa yang ada di dalamnya seperti surga
dengan segala kenikmatan di dalamnya dll. Pengetahuan ini semuanya tidaklah
memberikan tempat bagi kecerdasan akal dan kekuatan firasat semata.
“Dan tiada Kami
jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat: dan tidaklah Kami
menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang
kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang
yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al Kitab dan
orng-orang mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam
hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): "Apakah yang
dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?" Demikianlah Allah membiarkan sesat
orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia
sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia.” (Al-Mudatsir: 31)
وَمَا كَانَ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانُ أَن
يُفۡتَرَىٰ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَلَٰكِن تَصۡدِيقَ ٱلَّذِي بَيۡنَ يَدَيۡهِ
وَتَفۡصِيلَ ٱلۡكِتَٰبِ لَا رَيۡبَ فِيهِ مِن رَّبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٣٧
“Tidaklah mungkin Al Quran ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi
(Al Quran itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan
hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya,
(diturunkan) dari Tuhan semesta alam.” (Yunus: 37)
Al-Qur’an juga
memuat masalah ketentuan-ketentuan yang akan terjadi di masa datang secara yang
berlaku dalam sunnatullah dalam masyarakat, baik yang berhubungan dengan
kekuatan dan kelemahanya, kebangkitan dan keruntuhannya maupun kemuliaan dan
kehinaannya;
“Dan Allah
telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,
sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan
tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap)
kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)
“Allah pasti menolong orang yang
menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha
Perkasa. (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan
mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat,
menyuruh berbuat ma´ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada
Allah-lah kembali segala urusan.” (Al-Hajj: 40-41)
“(Siksaan) yang
demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah
sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu
meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (An-Anfal: 53)
Kemudian
Al-Qur’an menceritakan tentang Rasulullah SAW bahwa beliau hanya mengikuti
wahyu.
“Dan apabila kamu tidak membawa suatu
ayat Al Quran kepada mereka, mereka berkata: "Mengapa tidak kamu buat
sendiri ayat itu?" Katakanlah: "Sesungguhnya aku hanya mengikut apa
yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku. Al Quran ini adalah bukti-bukti yang
nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-‘A’raf: 203)
Nabi Muhammad
hanya manusia biasa yang tidak mengetahui perkara gaib dan tidak pula sedikit
pun berkuasa atas dirinya.
“Katakanlah:
Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku:
"Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa." (Al-Kahfi: 110)
قُل لَّآ أَمۡلِكُ لِنَفۡسِي نَفۡعٗا وَلَا
ضَرًّا إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُۚ وَلَوۡ كُنتُ أَعۡلَمُ ٱلۡغَيۡبَ
لَٱسۡتَكۡثَرۡتُ مِنَ ٱلۡخَيۡرِ وَمَا مَسَّنِيَ ٱلسُّوٓءُۚ إِنۡ أَنَا۠ إِلَّا
نَذِيرٞ وَبَشِيرٞ لِّقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ
“Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik
kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang
dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku
membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi
peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al-A’raf: 188)
Rasulullah SAW
tidak mampu memahami apa yang sebenarnya terjadi antara dua orang yang
berselisih yang datang menghadanya untuk meminta keputusan, meskipun beliau
mendengarkan kata-kata mereka berdua. Tanpa diragukan lagi beliau tidak mengetahui
apa yang telah lalu dan apa yang akan datang.
Rasulullah
pernah mendengar suatu pertengkaran yang terjadi di dekat pintu kamarnya. Lalu
beliau mendatangi mereka dan berkata, “Aku hanyalah seorang manusia,
sementara kamu meminta kepadaku untuk diadili. Mungkin salah satu pihak dari
kamu akan lebih bagus menyampaikan alasan, sehingga aku mengira bahwa dialah
yang benar, lalu aku memutuskan kemenangan untuknya.” [9]
DR. Muhamad Abdullah Darraz mengatakan,
“Pendapat inilah yang diramaikan oleh orang-orang atheismasa kini dengan nama wahyu
nafsi. Mereka mengira dengan nama ini, merela menyodorkan pendapat ilmiah
yang baru. Padahal sebenarnya tidak. Itu adalah pendapat jahiliyah klasik.
Mereka melukiskan Nabi sebagai seorang lelaki yang memunyai imajinasi yang luas
dan perasaan yang dalam. Mereka menganggap beliau sebagai penyair.
Kemudian mereka menambahkan bahwa kata hatinya
mengalahkan inderanya, sehingga dia berkhayal bahwa dia melihat dan mendengar
sesorang berbicara kepadanya. Apa yang dilihat dan dibicarakan kepadanya itu
tidak lain dariada gambaran khayal dan perasaannya itu sendiri. Yang demikian
itu suatu kegilaan dan hilusi. Namun mereka tidak bisa berlama-lama mempertahankan
alasan-alasan ini. Mereka harus meninggalkan istilah “gerak hati” (al-wahy
an-nafsi) itu, Ketika mereka melihat bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat segi
berita, baik berita masa lalu maupun yang akan datang. Mereka mengatakan;
mungkin dia memperoleh berita-berita itu dia peroleh dari para ahli ketika dia
pergi berdagang. Berarti dia diajari oleh manusia. manakah yang baru dari
pendapat ini semua? Bukanlah hal itu
omongan biasa yang dilontarkan oleh kaum jahiliyah Quraisy, meski dari
sisi redaksionalnya berbeda? Demikianlah, atheisme dalam pakaian barunyayang
kotor itu. Gagasan itu memang bukan gagasan yang “maju” da masa kini. Ia
hanyalah sisa-sisa pandangan yang diwariskan oleh masa jahiliyah pertama. “...Demikian pula orang-orang yang
sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka itu; hati mereka serupa...” (Al-Baqarah: 118)
Yang mengherankan bahkan menjadi kontradiktif
adalah pengakuan mereka yang menyebutkan bahwa dia (Muhammad) adalah orang yang
jujur dan terpercaya, dan bahkan dia beralaskan menisbahkan apa yang dilihatnya
sebagai wahyu illahi. Dia tidak mau jadi saksi kecuali apa yang dilihatnya.
Demikian Allah menceritakan kepada kita tentang-tentang pendahulu mereka. “Sesungguhnya
Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu,
(janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan
kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.”
(Al-An’am: 33)
Apabila ini alasan Rasulullah dalam menyatakan apa
yang dilihat dan didengarnya, maka apakah alasannya dalam pengakuannya bahwa
dia tidak mengetahui berita-berita itu, juga tidak kaumnya sebelum itu,
sedangkan menurut sangkaan mereka dia telah mendengarkan sebelumya? Dengan
demekian, mereka hendak menyatakan bahwa dia mengada-ada, agar tuduhan mereka
sempurna. Tetapi mereka tidak mau mengatakan sangkaan itu, sebab mereka tidak
mengklaim diri mereka sendiri sebagai orang-orang yang obyektif dan bijaksana.
Ingatlah, sebenarnya mereka telah menyatakannya tetapi mereka sendiri tidak
merasa.[10]
3.
Orang-orang
jahiliyah klasik dan modern berasumsi bahwa Nabi Muhammad telah menerima
ilmu-ilmu Al-Qur’an dari seorang guru. itu tidak salah, akan tetapi guru yang
menyampaikan Al-Qur’an itu ialah malaikat pembawa wahyu, bukan gur yang berasal
dari kaumnya sendiri atau kaum lain.
Nabi Muhammad
SAW tumbuh dan hidup dalam keadaan buta huruf dan tak seorang pun di antara
mereka yang membawa simbol ilmu dan pengajaran. Ini adalah kenyataan yang
disaksikan oleh sejarah, dan tidak dapat diragukan, bahwa beliau bukan
mempunyai guru daripada masyarakatnya sendiri. Dalam sejarah tidak ada
masyarakat peneliti yang dapat memberikan kata sepakatyang patut dijadikan
saksi, bahwa Nabi Muhammad telah menemui seorang ulama yang mengajarakn agama
kepadanya sebelum ia menyatakan kenabiannya. Memang benar, di waktu kecil
beliau pernah bertemu dengan pendeta Buhaira di pasar Bushra di Syam. Di
makkah, beliau bertemu dengan Waraqqah bin Naufal setelah wahyu turun
kepadanya. Dan, setelah hijjrah pun beliau bertemu dengan ulama Yahudi dan
Nasrani. Tetai yang pasti, beliau tidak pernah mengadakan pembicaraan kepada
mereka, sebelum beliau menjadi nabi. Sementara setelah beliau menjadi nabi,
merekalah yang bertanya kepadanya untuk dijadikan bahan perdebatan, sehingga
mereka yang mengambil manfaat dan belajar kepadanya. Sekerinya Rasulullah SAW
belajar sedikit saja dari salah seorang di antara mereka, sejarah pasti akan
mengungkapkannya. Beliau tidak mempunyai perangai buruk yang dapat
meremehkannya, terutama yang menentang islam. Menurut catatan sejarah, justru
Rahib dari Syam atau Waraqqah bin Naufal menyambut gembira tentang kenabiannya[11]
atau mengakuinya.[12]
Orang dapat
menanyakan kepada mereka yang menyangka bahwa Nabi Muhammmad diajar oleh
seorang muslim, “Siapa nama gurunya waktu itu?” Kita akan mendapatkanjawaban
yang rancu dan kontradiktf yang mereka reka-reka. Seperti misalnya, gurunya itu
seorang pandai besi asal Romawi.” Bagaimana dapat diterima akal bahwa ilmu-ilmu
Al-Qur’an itu datangnya dari oleh orang yang tidak dikenal oleh masyarakat
mekkah sebagai orang yang pandai dan mendalami kitab-kitab? Bahkan hanya
seorang andai besi yang sehari-harinya memegang palu dan besi, orang asing yang
tidak tahu bahasa arab, Al-Qur’an berkomentar,
وَلَقَدۡ نَعۡلَمُ أَنَّهُمۡ يَقُولُونَ
إِنَّمَا يُعَلِّمُهُۥ بَشَرٞۗ لِّسَانُ ٱلَّذِي يُلۡحِدُونَ إِلَيۡهِ أَعۡجَمِيّٞ
وَهَٰذَا لِسَانٌ عَرَبِيّٞ مُّبِينٌ ١٠٣
“Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata:
"Sesungguhnya Al Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya
(Muhammad)". Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad
belajar kepadanya bahasa ´Ajam, sedang Al Quran adalah dalam bahasa Arab yang
terang.” (An-Nahl: 103)
Orang-orang
Arab sebenarnya ingin menolak Al-Qur’an karena dendam mereka kepada Nabi
Muhammad, tetapi mereka tidak sanggup, tidak menemukan jalan dan usaha mereka
sia-sia. Lalu, kenapa orang-orang atheis kini mencari jalan dari sisa-sia
sejarah, sekalipun kegagalan itu telah dirasa tiga abad lebih? Dengan ini,
jelaslah Al-Qur’an tidak mengandung unsur manusia, baik oleh pembawanya atau
orang Ia diturunkan oleh Tuhan yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.
Perkembangan Rasulullah
di lingkungan yang buta huruf dan jahiliyah, serta perilakunya di tengah-tengah
kaumnya itu merupakan bukti yang kuat bahwa Allah telah mempersaipkannya untuk
membawa Risalah-Nya. Allah mewahyukan kepadanya Al-Qur’an ini untuk menjadi
petunjuk bagi manusia.
“Dan demikianlah Kami wahyukan
kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah
mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman
itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia
siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu
benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Yaitu)
jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada
di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” (As-Shura: 52-53)
Syaikh Muhamad
Abduh dalam Risalah At-Tauhid berkata, “Di antara tradisi yang dikenal adalah
seorang yatim dan fakir yang buta huruf seperti dia, jiwanya akan diwarnai oleh
apa yang dilihatnya sejak awal pertumbuhan sampai usia tuanya, serta akalnya un
akan terpengaruh oleh apa yang didengar dari orang-orang yang bergaul
dengannya, terutama apabila mereka kerabat dan satu suku. Sementara itu, dia
tidak memili kitab yang dapat memberinya petunjuk , tidak pula guru yang akan
memberi pelajaran dan melindunginya. Sekiranya tradisi berjalan seperti
biasanya, tentulah dia akan tumbuh dalam kepercayaan mereka dan mengikuti
aliran mereka pula hingga mencapai usia dewasa. Setelah itu, barulah dia
berfikir dan mempertimbangkannya, lalu menentang mereka, bila ada dalil yang
menunjukkan kepadanya atau kesesatan mereka. Hal itu juga telah dilakukan oleh
beberapa orang yang hidup dengan dia.[13]
“Dan Dia (Allah) mendapatimu sebagai seorang yang
bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.” (Adh-Duha: 7)
Ayat ini tidak
mengandung pengertian bahwa dia berada dalam penyembahan berhala sebelum
mendapat petunjuk tauhid, atau berada di jalan yang tidak lurus sebelum
berakhlak mulia. Sekali-kali tidak! Jika ada yang menyatakan seperti itu, tentu
hanya kebohongan yang nyata. Tetapi yang dimaksud adalah kebingungan yang
mencekam hati orang-orang yang ikhlas, yang mengharapkan keselamatan bagi
mannusia, mencari jalan keluar dari kehancuran dan keselamatan dari kesesatan.
Dan Allah memberikan petunjuk kepada Nabi-Nya atas apa yang dicarinya, dengan
dipilihnya dia untuk menyampaikan Risalah-Nya serta menentukan Syari’at-Nya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kritik dan Saran
Demikianlah makalah yang dapat disajikan, seperti pepatah“tak ada gading
yang tak retak”.Oleh karena itu, kritik dan saran saudara sangat kami butuhkan.
DAFTAR
PUSTAKA
AL-QATHTHAN, S. M. (2006). PENGANTAR STUDI ILMU
AL-QUR'AN. KAIRO: PUSTAKA AL-KAUSAR.
[1] Lihat; Al-Wahyul Muhamadi/Syaikh Muhamad
Rasyid Ridha/44
[2] HR. Ath-Thabarani
[3] HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan An-Nasa’i
[4] HR. Al-Hakim dan Ibnu Abi Syaibahri
[5] HR. Bukhari.
[6] HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dengan
sanad yang shahih
[7] Lihat kasus nerita bohong (hadistul ifki)
ini dalam Al-Bhukhori dan Muslim, hadist-hadist lain, juga kisah tersebut dalam
tafsir surat An-Nur.
[8] HR.At- Tirmidzi, dengan sanad yang shahih
[9] HR. Al-Bukhori dan Muslim, juga abu dawud,
At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu majah
[10] Lihat An-Naba’ Al-Azhim
[11] Ketika Buraiha melihat pada diri Rasulullah
ada tanda-tanda kenabian, dia berkata, “ Anak ini akan mengalami peristiwa yang
sangat besar.”
[12] Di saat mendengar kisah Nabi SAW mengenai sifat wahyu, karena dia di
panggil oleh Khatidjah untuk bertemu dengan nabi, bergetarlah hati Waraqqah. Ia
berkata, “Inikah namus yang diturunkan oleh Allah kepada Musa. Andai
saja aku masih hidup ketika engkau diusir oleh kaummu.” Nabi bertanya. “Apakah
mereka akan mengusirku?” Jawab Waraqqah, “Ya, setiap orangyang membawa seperti
engkau bawa ini, pasti dianiaya. Kalau aku masih hidup, aku pasti akan
menolongmu sekuat tenaga.”
[13] Seperti Umayyah bin Abi Ash-shault dan Zaid
bin Amru bin Nufail.
Post a Comment for "MAKALAH TENTANG WAHYU"