Devide et Impera Via Media
Devide et Impera Via
Media
Oleh: Rizka Alifah, Young Researcher of Gender and Political Islam Monash Institute (GPMI) UIN Walisongo Semarang
Media sosial kini telah menjadi candu
bagi masyarakat. Candu yang membuat penikmatnya ketagihan melakukan sesuatu
dengan senang hati tanpa mereka sadari. Candu bisa berupa racun yang membawa
dampak negatif maupun berupa nutrisi yang bersamanya akan menghasilkan banyak
kebaikan. Bahasa media yang terkadang dimotori oleh pihak-pihak berkepentingan
mampu memposisikan sudut pandang masyarakat terhadap suatu kasus sesuai
keinginan penulis. Namun sayangnya, dapat disaksikan bahwa media sosial kini
tidak lebih banyak menyuplai nutrisi bagi pemikiran masyarakat, melainkan
justru meracuninya dengan berbagai konten negatif.
Kemajuan media telah mengalihkan fungsi alat komunikasi menjadi
alat canggih dengan fungsi kompleks. Android phone atau gadget pintar kini
menjadi alat yang tidak pernah lepas dari genggaman. Bukan tanpa dasar, karena
apabila diperhatikan, setiap penjuru sudut kota hingga tempat-tempat umum dimana
masyarakat berkumpul, hampir setiap dari mereka tertunduk tersibukkan dengan
gadget masing-masing.
Hate speech atau ujaran kebencian di media sosial merupakan salah
satu dari konten buruk medsos. Ujaran kebencian umumnya ditujukan bagi
pihak-pihak tertentu baik oknum pemerintah maupun etnis / pemilik paham oposisi
tertentu. Berbagai ujaran kebencian yang merebak dalam masyarakat, meskipun
tidak diutarakan melalui lisan secara langsung, tetapi sifatnya mampu membawa
dampak besar berupa perpecahan bahkan peperangan. Hal ini dapat masyarakat
Indonesia temui dalam berbagai kasus yang belakangan terjadi, di antaranya
kontroversi pengeboman tiga gereja di Surabaya yang berujung pada kontradiksi
ujaran masyarakat, penangkapan remaja di bawah umur atas candaan berupa ancaman
terhadap Presiden Jokowi di Youtube, tuntutan pengadilan atas pernyataan Ahmad
Dhani di Twitter yang dianggap menghasut dan penuh kebencian terhadap pendukung
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, dan lain sebagainya.
Berdasarkan beberapa contoh kasus tersebut, dapat ditarik benang
merah bahwa ujaran kebencian merebak luas karena media. Media sosial sebagai
sarana transportasi informasi tanpa limitasi telah menciderai harmoni
kebhinekaan negeri. Di sisi lain, fenomena kemudahan mengakses media sosial juga
telah melumpuhkan kritisme masyarakat. Masyarakat, terutama mahasiswa sebagai
ujung tombaknya cenderung lebih berani berkoar di media daripada menyampaikan
aspirasinya secara langsung melalui aksi demonstrasi. Pesan tertulis akan lebih
sering menimbulkan kesalahfahaman penangkapan daripada pesan yang disampaikan
secara tatap muka. Hal ini mampu menjadikan beberapa pihak tersulut emosi
karena perbedaan presepsi.
Penggunaan media massa sebagai landasan teoritis dalam menyikapi
sebuah pemberitaan tidak lagi relevan di masa sekarang. Pemberitaan di media
sosial sengaja disetting secara persuasif agar perspektif masyarakat bisa
sejalan dengan tujuan media tersebut. Sayangnya, konten-konten berbau kata-kata
buruk sebagai ujaran kebencian tidaklah menjadi surut meskipun telah memasuki
dan bahkan setelah bulan Ramadhan. Hal ini menandakan bulan Ramadhan telah
kehilangan eksistensinya di dalam hati masyarakat. Padahal, ujaran kebencian
merupakan salah satu jenis ghibah yang termasuk dalam golongan dosa besar.
Media sosial perlu mengembalikan muruahnya sebagai sarana informasi
serba guna. Sebagaimana Nabi Muhamad SAW memperingatkan umat melalui sabdanya,
“Jika kita tidak mampu berbicara baik, maka lebih baik diam.” Demikian pula
bahayanya lidah juga dingatkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
“Seseorang mati karena tersandung lidahnya. Dan, seseorang tidak mati karena
tersandung kakinya. Tersandung mulut akan membuat (pening) kepala, sedang
tersandung kaki akan sembuh perlahan.”
Namun, tidak dapat dipungkiri terkadang postingan berbau agama pun
bisa saja dimanipulasi guna kepentingan golongan tetentu. Lagi-lagi masyarakat
perlu menyaring antara postingan yang benar dan hoax dengan mengimbanginya bersama pembelajaran dari sumber-sumber
otentik baik tekstual maupun oral dari seorang guru atau kiai.
Intuisi tidak seharusnya selalu hanya berdasarkan presepsi,
melainkan masih perlu adanya diskusi demi meminimalisir kontradiksi. Meski
keniscayaan bahwa perbedaan tidak bisa dihilangkan, tapi setidaknya mampu
diselaraskan guna memperoleh pertemuan gagasan yang solutif. Selayaknya sebuah
bangunan yang tidak didirikan dengan materi yang sama, sebuah negeri hanya akan
mengalami stagnasi apabila tanpa adanya fluktuasi dinamika.
Fenomena ujaran kebencian ternyata tidak lebih dari tindakan
memecah belah yang tidak lain dilakukan
oleh pihak yang tidak bertanggung jawab guna mempermudah langkahnya dalam
mencapai tujuan tertentu yang tidak baik pula. Indonesia perlu kembali
melakukan konsolidasi intensif guna menemukan mufakat untuk bersama melawan
politik Devide et Impera sebagaimana dahulu pernah bangsa Belanda berlakukan
terhadap Nusantara. Tentunya, bukan dengan perlawanan bersenjatakan bambu
runcing atau gerakan bawah tanah, melainkan melalui revolusi mental,
peningkatan militansi generasi millenial, serta toleransi keberagaman guna
memperkokoh ukhuwah NKRI. Wallahu a’lamu bi al-shawwab.
Post a Comment for "Devide et Impera Via Media"