MAKALAH TAFSIR TENTANG BERITA PALSU DAN ETIKA MNERIMA BERITA SURAH AL-HUJURAT AYAT 6
MAKALAH
TAFSIR
TENTANG BERITA
PALSU DAN ETIKA MNERIMA BERITA
SURAH AL-HUJURAT AYAT 6
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah tafsir Al-Qur’an
Dosen Pengampu:
Ali Mahfudz, M.S,I
Disusun oleh :
NAMA :
AKHMAD MUDASIR
PRODI
: IQT IV
NIM : 1631045
PRODI
ILMU QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS
USHULUDDIN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NAHDLOTUL ULAMA
TAHUN AKADEMIK 2017/2018
Pendahuluan
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Qur’an adalah
mukjizat yang paling besar yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW pada kaum muslimin
dimanapun berada, yang tidak pernah ada keraguan akan kebenarannya. Al-Qur’an
adalah kalam Allah SWT yang berfungsi sebagai petunjuk bagi umat musimin, untuk
membedakan yang benar dan salah. Menjadi sumber dari segala sumber keilmuan,
dan isi kandungan ayat-ayatnya bisa mengikuti perubaha zaman.
Ilmu Tafsir
sangatlah dibutuhnya keberadanya dalam menggali maksud dari suatu hal, karena
tafsir dapat berguna untuk mengetahui
suatu secara lebih jauh megenai suatu hal. Tafsir disini juga berguna untuk
mengetahui maksud dari ayat-ayat yang ada di dalam Al-Qur’an, karena tidaklah
cukup ayat-ayat Al-Qur’an hanya diartikan saja, karena banyak ayat-ayat yang
artinya masih samar-samar. Dengan
adanya tafsir Al-Qur’an ini kita bisa mengetahui maksud yang sebenarnya dari
ayat-ayat yang masih samar akan artinya. Dengan begitu kita tidak akan salah
dalam memahami atau mengartikan ayat-ayat Al-Qur’an, seperi ayat tentang berita
bohong dan etiak menerima berita yang akan saya bahas dalam kesempatan kali
ini, yaitu ayat pada surah Al-Hujurat ayat 6. Dalam ayat ini akan dijelasakan
bagaimana berita bohong itu datang kepada kau muslimin dan bagaimana sikap
seorang muslimin menanggapai sebuah berita
B.
Rumusan
Masalah
1.
Tafsir surah al-Hujurat ayat 6
2.
Bagaimana menaggapi sebuah berita yang datang
C.
Kesimpulan
BERITA
PALSU/HOAX
يَأَ يُّهَا الَّذِ يْنَ
اَمَنُوا ثإن جَا ءَكُمْ فَا سِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَنُوا أَن تُصِيبُوا قَومًا بِجَها
لَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلتُم نَدِ مِين
Artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman, jika datang seorang yang fasik kepadamu membawa
berita, maka tangguhkanlah (hingga kamu mengetahui kebenaranya) agar tidak
menyebabkan kaum berada dalam kenodohan (kehancuran) sehingga kamu menyesal
terhadap apa yang kamu lakukan” (Q.S al-Hujurat ayat 6).[1]
Mufrad
|
Arti Mufrad
|
Mufrad
|
Arti Mufrad
|
يا
يها الذين امنوا
|
Wahai orang-orang yang
beriman
|
قوما
|
Suatu kaum
|
ان جاءكم فاسق
|
Jika orang fasik datang
kepada kalian
|
بجها لة
|
Dengan ketidaktahuan
|
بنبا
|
Dengan suatu berita
|
فتصبحوا
|
Lalu kalian menjadi
|
فتبينوا
|
Maka kalian telitilah
|
على ما فعلتم
|
Atas apa yang kalian
perbuat
|
ان تصيبوا
|
(dikhawatirkan kalian)akan mencelakakan
|
ند مين
|
(menjadi)orang-orang
menyesal
|
Asbab al-Nuzul
Sebab turunya
ayat diatas adalah tentang diutusnya al-Walid bin Uqbah bin Abu Mu’ith oleh
Rasulullah kepada bani Musthaliq untuk mengambil zakat. Syaikh Abu Bakar
al-Jazari di dalam tafsiranya menjelaskan bahwa pada masa jahiliyyah terjadi
permusuhan antara kabilah Bani Musthaliq dengan keluarga al-Walid bin Uqbah
(Aysar ul-Tafsir, jilid 6/905)
Tentu saja
perintah Rasululllah tersebut dirasa aamat berat oleh al-Walid. Bagaimanapun
sisa dendam semasa jahiliyyah masih mendekam di dalam hatinya. Pikiran negati
al-Walid pun mulai mengawang-awang. Sepanjang perjalanan menuju perkampunagn
Bani Musthaliq, pikiranya dihantui oleh dendam permusuhan kedua kabilah itu.
Ketika sampai di
perkampungan Bani Musthaliq, seorang warga kampung berteriak mengabarakn
kedatangan al-Walid. Spontan saja, penduduk kampung keluar sambil membawa harta
yang akan diserahkan sebagai zakat dan tidak lupa mereka menyelipkan senjata di
pinggang mereka.
Sebagaimana
dijelasakan oleh al-Imam Ibnu Asyur di dalam tafsirnya, melihat situasi itu, al-Walid
mengira bahwa penduduk kampung Bani Musthaliq akan membunuhnya. Tanpa pikir
panjang lagi, ia pun lari meninggalakan kampung itu (al-Tahrir wa al-Tanwir
Jilid 10/228).
Sesampainya di
Madinah, al-Walid mencertakan bahwa penduduk kampung Bani Musthaliq enggan
membayar zakat dan akan bermaksud ingin membununya. Rasulullah pun marah dan
segera mengirim beberapa utusan untuk mendatangi Harits (pemimpin Bani
Mustaliq). Ketika melihat Harits, mereka berkata, ”Ini dia Harits”. Meyadari
kehadiran mereka, Harits bertanya,”Kepada siapa kalian diutus?” mereka
menjawab,”Kepadamu”.
Harits bertanya
lagi, ”Ada apa gerangan kalian mencariku?” mereka menjawab.”Rasulullah telah
mengutus Walid bin Uqbah kepadamu dan dia mengatakan bahwa kau telahg
melarangnya untuk mengambil zakat yang telah kau kumpulkan, bahkan kau hendak
membunuhnya”.
Harits menimpali,”Berita
itu tidak benar! Demi Zat yang telah mengutus Muahmmad dengan kebenaran, aku
tidak pernah meliaht utusan itu”, Harits pun segera bergegas menemui Rasulullah
Saw.
Beliau bertanya
kepada Harits,”Apakah betul engkau telah menghalangi utusanku untuk mengambil
zakat, bahkan engaku hendak membuhnya?”
Harits
menjawab,”Berita itu tidak benar! Demi Zat yang telah mengutus engaku dengan
kebenaran, aku tidak pernah melihatorang itu. Sampai aku menemuimu, wahai
Rasulullah Saw., belum ada utusan datang kepada kami untuk mengambil zakat. Aku
justru khawatir Allah dan Rasul-Nya murka kepadaku.” Lalu turunlah ayat
tersebut.[2]
Penafsiran Ayat:
Allah berfirman,
يَاأَيُّهَاالَّذِينَ اَمَنُواإِنجَآءَكُمْفَاسِقٌ
بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوا
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang
fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti”
Maksudnya, janganlah kalian menerima (begitu saja) berita
dari orang fasik, sampai kalian mengadakan pemeriksaan, penelitian dan
mendapatkan bukti kebenaran berita itu.
(Dalam ayat ini) Allah memberitahukan, bahwa orang-orang
fasik itu pada dasarnya (jika berbicara) dia dusta, akan tetapi kadang ia juga
benar. Karenanya, berita yang disampaikan tidak boleh diterima dan juga tidak
ditolak begitu saja, kecuali setelah diteliti. Jika benar sesuai dengan bukti,
maka diterima dan jika tidak, maka ditolak.
Kemudian Allah menyebutkan illat (sebab) perintah untuk
meneliti dan larangan untuk mengikuti berita-berita tersebut.
Allah berfirman.
اَنتُصِيبُواقَوْمًابِجَهَالَةٍ
“Agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum
tanpa mengetahui keadaannya”.
Kemudian nampak bagi kamu kesalahanmu dan kebersihan mereka.
فَتُصْبِحُواعَلَى مَافَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” [Al
Hujurat : 6]
Terutama jika berita tersebut bisa menyebabkan punggungmu
terkena cambuk. Misalnya, jika masalah yang kalian bicarakan bisa mengkibatkan
hukum had, seperti qadzaf (menuduh) dan yang sejenisnya.
Sungguh, betapa semua kaum muslimin memerlukan ayat ini,
untuk mereka baca, renungi, lalu beradab dengan adab yang ada padanya. Betapa
banyak fitnah yang terjadi akibat berita bohong yang disebarkan orang fasiq
yang jahat! Betapa banyak darah yang tertumpah, jiwa yang terbunuh, harta yang
terampas, kehormatan yang terkoyakkan, akibat berita yang tidak benar!Berita
yang dibuat oleh para musuh Islam dan musuh umat ini. Dengan berita itu, mereka
hendak menghancurkan persatuan umat ini, mencabik-cabiknya dan mengobarkan api
permusuhan diantara umat Islam.
Betapa banyak dua saudara berpisah disebabkan berita bohong!
Betapa banyak suami-istri berpisah karena berita yang tidak benar! Betapa
banyak kabilah-kabilah, dan kelompok-kelompok saling memerangi, karena terpicu
berita bohong.[3]
Ayat ini
memberikan pedoman bagi sekalian kaum muslimin supaya berhati-hati dalam
menerima berita, terutama jika bersumber dari seorang yang fasik. Maksud yang
terkandung dalam ayat ini adalah agar diadakan penelitian dahulu mengenai
kebenaranya. Mempercayai suatu berita tanpa diselidiki kebenaranya, besar
kemungkinan akan membawa korban jiwa dan harta yang sia-sia, yang hanya
menimbulkan penyesalan belaka.[4]
Al-Qur’an sebagai kitab pedoman hidup
bagi umat Islam memuat tentang fenomena berita bohong tersebut di dalam dua
ayat, yaitu: surat Annur ayat 11:
اِنَّالَّذِيْنَجَاؤُوْابِالْاِفْكِعُصْبَةٌمِنْكُمْلاَتَحْسَبُوْهُشَرًّالَكُمْبَلْهُوَخَيْرٌلَكُمْلِكُلِّاْمرِئٍمِنْهُمْمَااكْتَسَبَمِنَاْلاِثْمِوَالَّذِىتَوَلَّىكِبْرَهُمِنْهُمْلَهُعَذَابٌعَظِيْمٌ
Artinya: Sungguh orang-orang yang membawa
berita bohong itu adalah dari golongan kamu (juga). Janganlah kalian mengira
berita itu buruk bagi kalian, bahkan itu baik bagi kalian. Setiap orang dari
mereka akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya dan barang siapa di
antara mereka yang mengambil bagian terbesar (dari dosa yang diperbuatnya),
baginya azab yang besar pula.
Dan kedua di dalam Surat al-Hujurat
(49) ayat 6, sebagaimana telah dicantumkan penjelasannya di atas. Di dalam
kedua ayat Al-Qur’an itu, Allah menjelaskan bahwa berita bohong disebarkan
karena dua sebab; Pertama, untuk menjatuhkan mental umat Islam dengan cara
menghancurkan kredibilitas pembawa ajaran Islam itu sendiri yaitu Nabi Muhammad,
seperti disebutkan di dalam surat Annur mulai dari ayat 11 sampai dengan ayat
16.
Kedua, rendahnya kesadaran iman dari
pembuat berita bohong dan menganggap berita bohong itu tidak mempunyai
implikasi bagi kelangsungan jamaah umat Islam.
Untuk sebab yang pertama, berita
bohong seperti itu sampai sekarang masih diarahkan kepada umat Islam melalui
berbagai macam sarana, yang sampai saat ini masih dipandang efektif digunakan
adalah melalui kajian keilmuan dan media informasi.
Tanpa disadari oleh kebanyakan umat
Islam, kajian-kajian keilmuan yang dikembangkan di lembaga pendidikan atau
lembaga riset, terutama di bidang sosial, seringkali menyudutkan ajaran Islam
ke posisi yang tidak menyenangkan.
Sebagai contoh, di dalam kajian
tentang Demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia, ajaran Islam selalu mendapat
tuduhan sebagai ajaran yang menghambat kebebasan berpikir dan mengesampingkan
penegakkan Hak-hak Asasi Manusia dengan adanya pengakuan terhadap hukum pancung
bagi pelaku pembunuhan dan rajam bagi pelaku perzinahan. Adapun untuk sebab
yang kedua, berita bohong disebarkan sebagai cara untuk menghindarkan diri dari
tanggung jawab untuk melaksanakan perintah, seperti yang dilakukan oleh
al-Walid bin Uqbah.
Dalam konteks masa kini, berita
bohong memang sengaja disebarkan baik karena adanya dorongan politik ataupun
karena dorongan lainnya. Dari aspek kepentingan politik, berita bohong
merupakan bentuk kampanye yang efektif untuk mengalihkan dukungan suara dari
lawan-lawan politik kepada calon tertentu.
Di dalam ajaran Islam, bohong atau
dusta merupakan perbuatan buruk yang harus dijauhi oleh setiap muslim.
Rasulullah Saw memperbolehkan dusta hanya untuk mengelabui musuh di medan
peran. Sedangkan untuk kepentingan lain, Rasulullah memerintahkan agar umat
Islam menjauhi sikap dan perbuatan dusta, sebagaimana disebutkan di dalam
hadits:
وإيَّاكموالكذب،فإنَّالكذبيهديإلىالفُجُور
Artinya: Jauhilah sikap dusta, karena
sesungguhnya dusta itu mengarahkan kepada perbuatan dosa (riwayat al-Bukhari no
6755, riwayat Muslim no 6094)
Arah dari larangan Rasulullah terhadap sikap
bohong atau dusta, sangatlah jelas yaitu bahwa tidak ada kebenaran yang
dibangun dengan cara berbohong. Dusta hanyalah melahirkan keburukan baru di
tengah masyarakat. Keburukan itu adalah hilangnya sikap saling percaya di
antara sesama anggota masyarakat. Jika masyarakat sudah sampai kepada kondisi
seperti itu, kehancuran tinggal menunggu waktunya. Naudzubillah.
[dutaislam.com/ ab]
Dalam sosiologi
ada hukum bahwa berkembanhya isu itu bergantung status sosial si subyak.
“Semakin tinggi status sosial seseorang yang menjdai objek isu akan semakin
cepata beredaranya”.
ETIKA MENERIMA
BERITA
يَأَ يُّهَا الَّذِ يْنَ
اَمَنُوا ثإن جَا ءَكُمْ فَا سِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَنُوا أَن تُصِيبُوا قَومًا بِجَها
لَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلتُم نَدِ مِين
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaanya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Q.S Al-Hujurat ayat 6)[5]
Tabayyun Sebelum
Memutuskan
Pada ayat di
atas kita jumpai kalimat فَتَبَيَّنُوٓاْ diterjemahkan dengan
“periksalah dengan teliti”. Maksudnya telitilah berita itu dengan cermat, tidak tergesa-gesa
menghukumi perkara dan tidak meremehkan urusan, sehingga benar-benar
menghasilkan keputusan yang benar.
ditunjukkan dengan digunakannya kata
naba’ untuk menyebut berita, bukan kata khabar. M. QuraishShihab dalam bukunya
Secercah Cahaya Ilahi halaman 262 membedakan makna dua kata itu. Kata naba’
menunjukkan berita penting, sedangkan khabar menunjukkan berita secara umum.
Al-Qur’an memberi petunjuk bahwa
berita yang perlu diperhatikan dan diselidiki adalah berita yang sifatnya penting.
Adapun isu-isu ringan, omong kosong, dan berita yang tidak bermanfaat tidak
perlu diselidiki, bahkan tidak perlu didengarkan karena hanya akan menyita
waktu dan energi.
Para ahli hadis memberi teladan dalam
mentabayyun berita yang berasal dari orang yang berkarakter meragukan. Mereka
telah mentradisikan tabayyun di dalam meriwayatkan hadis. Mereka menolak setiap
hadis yang berasal dari pribadi yang tidak dikenal identitasnya atau pribadi
yang diragukan integritasnya.
Sebaliknya, mereka mengharuskan
penerimaan berita itu jika berasal dari seorang yang berkepribadian kuat
(tsiqah). Untuk itulah kadang-kadang mereka harus melakukan perjalanan
berhari-hari untuk mengecek apakah sebuah hadis yang diterimanya itu
benar-benar berasal dari sumber yang valid atau tidak.
Tetapi sayang, tradisi ini kurang
diperhatikan oleh kaum muslimin saat ini. Pada umumnya orang begitu mudah
percaya kepada berita di koran, majalah atau media massa. Mudah pula percaya
kepada berita yang bersumber dari orang kafir, padahal kekufuran itu adalah
puncak kefasikan. Sehingga dalam pandangan ahlul hadis, orang kafir sama sekali
tidak bisa dipercaya periwayatannya.
Dalam era informasi saat ini, mudah
sekali orang percaya dan menyebar-nyebarkan kabar berita yang tidak jelas asal
dan sumbernya dari mana. Lebih parah lagi dengan adanya aplikasi gadget seperti
BBM dsb-nya, sebagian orang acap kali mem-broadcast kabar berita yang isinya
sampah, hoax dan menyesatkan. Terkadang isinya tidak saja kabar yang belum
tentu kebenaranya, tapi juga hadist-hadist lemah (dha'if) dan palsu (maudhu’)
banyak disebar dan malah edit, dibuat-buat untuk menakut-nakuti.
Dalam surat24. An Nuur ayat 12 &
15 :
Ayat 12:
"Mengapa di waktu kamu mendengar
berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri
mereka sendiri, ketiak kamu mendengar berita bohong itu dan berkata,
“Inin adalah (suatu berita) bohong yang nyata.”
Jadi: Ketika menerima/mendengar
berita bohong/hoax jangan diam saja.
Ayat 15:
"(Ingatlah) di waktu kamu
menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu
apa yang tidak kamu
ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh. Padahal dalam pandangan Allah itu soal besar.”
Janganlah: Ketika
menerima/mendengar berita bohong/hoax dan kamu menyebarkannya karena menganggap
info tersebut hal yg biasa/kecil, padahal itu fatal/berbahaya.
Allah SWT telah berfirman dalam surat
Al-Isra’ ayat 36 :
”Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung-jawabannya”.
Kesimpulan
1.
Hendaklah seorang muslim selalu meneliti
setiap berita yang datang, khususnya terhadap orang fasik.
2.
Jika terhadap orang fasik saja harus diteliti
secara cermat, terlebih-lebih berita datang dari orang kafir.
3.
Cara meneliti berita yang benar adalah dengan
melakukan kroscek kepada sumber beritanya langsung, agar terdapat kebenaran
yang akurat dan agar tidak menyebabkan fitnah hanya karena berita bohong dan
atas dasar kebencian semata
Daftar Pustaka:
http://kajialquran.blogspot.co.id/2013/07/tabayyun.html?m=1#.WvBhdjNuI0M, diakses
pada 2018-05-07, pukul 21.30 WIB
Al-Mubarakfury. Syaikh
Shafiyurrahman, 2012, Al-Misbah Al-Munir fi Tahzib Tafsir Ibnu Katsir,
diterjemahkan oleh Imam Gahzali, Bandung: Sygma Creative Media Corp, jilid 9
[1] Q.S Al-Hujurat ayat 6.
[2] Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury,
Al-Misbah Al-Munir fi Tahzib Tafsir Ibnu Katsir, diterjemahkan oleh Imam
Gahzali, (Bandung: Sygma Creative Media Corp, 2012, jilid 9), hlm. 359.
[4] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan
Tafsiranya, (Jakarta: Lembaga Percetakan Al-Qur’an Departemen Agama, 2009),
hlm. 403.
[5] Q.S Al-Hujurat ayat 6
Post a Comment for "MAKALAH TAFSIR TENTANG BERITA PALSU DAN ETIKA MNERIMA BERITA SURAH AL-HUJURAT AYAT 6"