MAKALAH MA’ANIL HADITS MEMBEDAKAN UNGKAPAN YANG BERMAKNA HAQIQI DENGAN UNGKAPAN YANG BERMAKNA MAJAZ
MAKALAH MA’ANIL HADITS
MEMBEDAKAN UNGKAPAN YANG BERMAKNA HAQIQI DENGAN UNGKAPAN YANG BERMAKNA MAJAZ
Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas individu pada
semester IV
Dosen Pembimbing :
Wahyuni Sifaturrohmah, S.Th.I, M.S.I
Disusun Oleh :
Luthfi Rosyadi NIM
: 1631037
ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR / IV
FAKULTAS USHULUDDIN, DAKWAH, DAN
SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
KEBUMEN
2018/2019
KATA
PENGANTAR
بِسْمِ الله ِ الرَّحْمٰنِ
الرَّحِيْمِ
Segala puji syukur kehadirat Allah
SWT, rabbul ‘alamin. Dzat yang memiliki sifat dzal jalali wal ikram, yang
mana telah memberikan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya, sehingga penulis mampu
menyelesaikan makalah ini.
Shalawat serta salam, semoga selalu
tercurahkan kepada sang pembawa kedamaian, pembebas perbudakan, beliau Baginda
Agung Nabi Muhammad SAW. Semoga kita bisa berkumpul dengan Beliau di yaumul
akhir, amin
Penulis ucapkan terimakasih, kepada
Ibu Wahyuni
Sifaturrohmah, S.Th.I, M.S.I, khususnya yang telah membimbing dalam pembuatan makalah, dan
kepada semua teman-teman saya pada umumnya, yang telah mambantu
terselesaikannya makalah ini. Jaza kumulloh khoiro jaza.
Di penghujung kata pengatar ini,
penulis mengharapkaan kepada para pembaca sekalian, agar memberikan kritik dan
saran yang mampu meningkatkan kualitas makalah-makalah yang akan tercetak pada
waktu yang akan datang.
Sekian,
Kebumen,
19 Oktober 2018
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bahasa
adalah alat penyampaian informasi. Tapi apa jadinya jika sebuah informasi akan
terasa biasa-biasa saja, tidak menarik, bahkan membosankan. Hal ini justru akan
membuat orang yang mendengarkannya menghindarinya, bahkan menjauhinya. Maka
diperlukan sebuah “polesan” agar
yang mendengar tertarik dan mendekat. Yaitu dengan polesan yang berupa
sebuah ungkapan.
Orang
biasanya menggunakan ungkapan untuk memuji orang lain. Menurut kajian ilmu-ilmu
Balaghah, ungkapan dalam bentuk majaz lebih berkesan daripada ungkapan haqiqi.
Berkesan di sini dalam arti mempunyai nilai tinggi dan makna yang dalam karena
tidak seperti ungkapan-unkapan seperti biasanya. Misalnya, seseorang hendak
memuji kebaikan orang lain dengan berkata “sungguh, kau adalah malaikat
bagiku,” “wajahmu cerah dan indah bagaikan bulan purnama yang bersinar
menyinari bumi”. Dan bukan hanya manusia saja yang menggunakan ungkapan, Allah
SWT Yang Maha Indah, juga menggunakan kiasan dalam karya-Nya, Al-Qur`an. Supaya
orang-orang tertarik untuk membaca dan mencari tahu informasi apa yang ada
dalam Al-Qur`an. Contoh ungkapan yang digunakan oleh Allah SWT adalah QS. Al
Baqarah, ayat 187 :
...وَكُلُواْ
وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ
ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ ...
Artinya : “...dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar...”
“benang
putih dari benang hitamnya fajar” yang dimaksud dalam ayat ini bukan
benang dalam arti alat yang biasanya dipakai untuk menjahit, akan tetapi
–sebagaimana dijelaskan oleh Nabi dalam hadisnya-, bahwa maksud ayat ini adalah
putihnya siang dan hitamnya malam.
Sekilas,
memahami kata-kata kiasan “majaz” dalam Al-Qur`an terlihat tidak begitu
sulit, karena masih ada hadits Nabi yang menjelaskannya. Lain halnya dengan
ungkapan-ungkapan majaz yang kemudian diucapkan oleh Nabi sendiri, siapa yang
akan menjelaskannya kalau Nabi tidak memberikan klarifikasi sendiri? Padahal di
waktu yang bersamaan fakta menunjukkan bahwa memang banyak ungkapan majaz
ditemukan pada hadits Nabi.
Mengatasi
problem ini, ulama hadits khususnya berinisiatif untuk menyu-sun beberapa
kaidah pemaknaan hadits yang salah satunya adalah makna haqiqi dan majaz dalam
hadits. Semoga tulisan ini bisa membantu memahami tentang makan haqiqi dan
makna majazi dalam hadits Nabi SAW.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah
pengertian tentang makna haqiqi?
2.
Bagaimanakah
pengertian tentang makna majaz?
3.
Bagaimanakah analisa
pembedaan antara hadits haqiqi dengan hadits majazi?
C.
Tujuan makalah
1.
Untuk mengetahui pengertian tentang makna haqiqi.
2.
Untuk mengetahui pengertian tentang makna majaz.
3.
Untuk mengetahui analisa pembedaan antara hungkapan bermakna haqiqi dengan
ungkapan bermakna majazi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
1. Makna Haqiqi[1]
Kata Haqiqi
dari asal kata hakikat (حققة), yang ditambah ya’ nisbat (حققي) berarti lafadz yang digunakan dalam makna yang
sebenarnya sesuai dengan yang ditunjukkan harfiahnya. Sedangkan apabila
disambung dengan kata ‘makna’ menjadi satu kesatuan, makna haqiqi berarti makna
(arti) yang dimaksud adalah makna yang sebenarnya sesuai dengan harfiahnya.
Contoh, orang me-ngatakan : “malam ini
langit penuh bintang”, makna haqiqinya adalah langit pada ma-lam hari yang
penuh dengan bintang. Berbeda dengan ketika orang menga-takan “bintang” keada
orang yang memiliki wajah yang penuh dengan jerawat, maka kata “bintang” disini
diartikan sebagai jerawat.
Adapun metode yang digali dari kaidah bahasa Arab, terumuskan dalam
kaidah:[2]
اَلْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ الْحَقَيْقَةِ وَلَا
يَصْرِفُ إِلَى الْمَجَازِ إِلَّا مَعَ الْقَرِيْنَةِ
“Pada dasarnya
pembicaraan/ucapan itu harus diartikan lebih dahulu secara makna haqiqi
(sebenarnya), dan tidak dialihkan kepada makna majazi (kiasan/metaforis)
kecuali dengan adanya qarinah (indikasi).” Contoh : Kata “asad”
misalnya, makna haqiqi-nya adalah singa. Tapi dalam kalimat
رَأَيْتُ أَسَدًا فِي الْمِنْبَرِ
(saya melihat “singa” di atas
mimbar) kata “asad” mempunyai makna majazi, yaitu “rajulun syujaa’”
(lelaki yang gagah berani). Sebab ada qarinah yang mengalihkannya dari makna haqiqi
menjadi makna majazi, yaitu potongan kalimat “fil mimbar” (di atas
mimbar).
Adapun, makna haqiqi dibagi
menjadi 3 yaitu[3]
: Makna haqiqi syar’i, Mak-na haqiqi ‘urfi,
dan Makna haqiqi lughawi. Ketiganya adalah makna haqiqi. Jika ketiganya
tidak atau belum bisa memaknai suatu nash syara’, maka barulah suatu nash
syara’ diartikan secara majazi.
1.
Makna haqiqi syar’i
adalah makna haqiqi (bukan majazi) yang telah dialihkan dari makna lughawi-nya,
dikarenakan nash-nash syara’ telah memberikan makna tersendiri. Contohnya
adalah lafadz sholat, shaum, dan lain-lain. Kata sholat secara lughawi (dari
kamus bahasa Arab) artinya adalah “ad-du’a” atau doa. Tapi nash-nash
syara’ (khususnya hadits) telah menjelaskan tatacara Nabi sholat, sehingga kita
tidak dapat lagi mengartikan nash syara’ yang menyebut “sholat” dengan arti
bahasanya (doa), sebab sudah ada tambahan makna. Sholat secara syar’i
lalu diartikan suatu kumpulan perbuatan dan perkataan (doa) yang diawali takbir
dan diakhiri salam. Kata “shaum” secara bahasa, sebagaimana terdapat
dalam kamus bahasa Arab, artinya adalah imsaak (menahan diri). Tapi nash-nash
syara’ dan juga hadits-hadits nabi memberikan makna tambahan dari kata shaum
itu, yaitu menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan shaum
dari shubuh sampai malam (maghrib) disertai niat. Inilah makna syar’i
dari shaum.
Jika
suatu kata telah memiliki makna syar’i, maka ia tidak boleh diartikan
lagi secara lughawi, kecuali terdapat qarinah yang tidak memungkinkan
pemberian makna secara syar’i. Dalam keadaan demikian, kata itu
diartikan kembali ke makna asal (secara lughawi). Misalkan kata “sholat”
dalam at-Taubah: 103, “wa shalli ‘alayhim” tidak dapat diartikan
(sholatlah kamu atas mereka), tetapi (berdoalah kamu untuk mereka). Sebab ayat
yang ada tidak sedang menjelaskan masalah sholat (secara syar'i), tetapi
pemungutan zakat, yaitu disunnahkan bagi pemungut zakat untuk mendoakan (bukan
menyolatkan) para muzakki setelah mengambil zakat dari muzakki.
2.
Adapun makna haqiqi
‘urfi adalah makna haqiqi (bukan majazi) yang telah menjadi ‘urf (kebiasaan) orang Arab dalam mengartikan suatu
kata. Contohnya kata “daabbah” dan “ghaaith”. Kata “daabbah”
makna lughawi-nya adalah segala makhluk yang melata di muka bumi
(termasuk hewan dan manusia). Namun secara urfi orang Arab lalu menggunakan
kata daabbah dalam arti dzawatul arba’ (hewan berkaki empat)
seperti sapi, tidak termasuk manusia. Ghaaith arti lugawinya adalah al
makanul munkhafidh (tempat yang rendah). Tapi secara ‘urfi lalu
digunakan untuk buang air (qadha'ul hajah). Jadi dalam makna ‘urfi,
makna lughawinya tidak dipakai lagi. Maka dari itu, kata “ghaaith”
dalam Al-Qur`an Al-Maidah : 6, tidak diartikan lagi sebagai “tempat yang ren-dah”,
tetapi “buang air”.
... وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ
مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ ...
Artinya : “...dan
jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air
(kakus) ...”
3.
Adapun makna haqiqi
lughawi adalah makna haqiqi (bukan majazi) yang menunjuk pada arti
asalnya secara bahasa. Contohnya, kata jaa’a (datang), dza-haba
(pergi), as samaa’ (langit), al ardh (bumi), dan sebagainya.
2. Makna Majazi
Majaz secara
etimologis, berasal dari kata “Jaza al Syai’a Yajuzuhu” (seseorang telah
melewti sesuatu, maka dia terlewatinya), yakni kata yang dialih-kan dari makna
asalnya, kemudian digunakan untuk menunjukkan makna yang lain yang mempunyai
kesesuaian dari makna asalnya.
Sedangkan
secara terminologis, Al-Jahiz mendefinisikan majaz adalah sebagai kebalikan
dari ungkapan hakiki yaitu sebagaimana pernyataannya : “Majaz adalah lafad
yang diucapkan tidak sebagaimana makna asalnya karena adanya perluasan makna
dari ahli bahasa”. Kata majaz berarti lafadz yang digunakan dalam makna
yang bukan seharusnya karena adanya hubungan (‘alaqah) disertai qarinah
(hal yang menun-jukkan dan menyebabkan bahwa lafadz tertentu menghendaki
pemaknaan yang ti-dak sebenarnya) yang menghalangi pemakaian makna haqiqi.
الْمَجَازُ
هُوَ نَقْلُ الْكَلَامِ مِنَ الْوَضْعِ الْأَوَّلِ إِلَى الْوَضْعِ الثَّانِيْ لِلْقَرِيْنَةِ
مَعَ وُجُوْدِ الْعَلْقَةِ
“Majaz
adalah berpindahnya makna perkataan dari makna pertama menjadi makna kedua,
karena adanya qarinah dan adanya ‘alaqah”
1. Al Wadh’u Al Awwalu (makna pertama).
2. Al Wadh’u Ats Tsani (makna
kedua).
3. Al Qorinah (sebab yang menghalangi makna pertama dan
mengharuskan dimaknai dengan makna kedua).
4. Al ‘Alaqah (hubungan antara makna pertama dan makna kedua).
Semisal
dikatakan
: رأيت أسدا في المنبر (saya melihat
“singa” di atas mimbar). Maka
pada kalimat tersebut, dapat kita katakan rukun-rukun majaz :
1.
Al Wadh’u Al Awwalu yaitu makna singa, sebagai makna salah satu jenis hewan buas.
2.
Al Wadh’u Ats Tsani yaitu makna
lelaki yang pemberani.
3.
Al
Qorinah : akal sehat mengatakan tidak
mungkin jika singa naik mimbar sendiri.
4.
Al
‘Alaqah : hubungan antara singa dan
laki-laki yang pemberani, adalah kekuatan dan keberanian.
Secara umum, majaz terbagi menjadi empat. majaz Mufrad
Mursal, Mufrad Isti’arah, Murakkab Mursal dan Murakkab
Isti’arah. Berhubung pemba-hasannya yang panjang, dan juga bukan meupakan
tujuan dari makalah, penulis tidak menjelaskan secara terpeinci.
B. Membedakan
Antara Ungkapan Bermakna Haqiqi Dan Bermakna Majazi
Sebagaimana
difinisi haqiqi dan majaz yang telah dijelaskan di awal, berarti dalam membedakan antar ungkapan bermakna haqiqi dan majazi
adalah jika pada suatu hadis terdapat qarinah yang mengharuskannya untuk
dimaknai secara majazi maka hadis tersebut dapat digolongkan ke dalam hadits
dengan ungkapan majazi begitu juga sebaliknya jika tidak ada qarinahnya, maka
termasuk ungkapan haqiqi. Dengan kata lain, pengertian ungkapan majazi itu,
adalah apabila terdapat suatu tanda yang menghalangi penyampaian ungkapan
haqiqi berdasarkan alasan dalil naqli atau rasional. Berikut beberapa
penjelasan mengenai alasan tersebut :[5]
1.
Dalam keadaan
tertentu, hadits dengan ungkapan majaz merupakan cara yang ditentukan, jika
tidak ditafsirkan secara majaz pasti akan menyim-pang dari makna yang dimaksud
dan terjerumus pada kesalahan yang fa-tal. Contoh hadis dalam masalah ini
yaitu, sabda Rasulullah SAW kepa-da istri-istri beliau yang berbunyi,
أَسْرَعكُنَّ لِحَوْقًا بِيْ أَطْوَلُ كُنَّ يَدًا
Artinya : “Orang yang paling cepat menyusulku
antara kalian adalah orang yang paling panjang tangannya (paling dermawan)”. Pada
mula-nya, semua istri Nabi memahami “panjang tangan” itu dengan makna aslinya
sesuai dengan petunjuk lafdziyahnya. Aisyah menceritakan bahwa para
istri Rasulullah SAW pada mulanya mengukur tangan mere-ka masing-masing untuk
mengetahui siapa yang terpanjang. Sebagian riwayat lain mengatakan bahwa mereka
(para istri Rasulullah) mengam-bil sebatang kayu untuk mengukur tangan mereka,
siapa yang paling panjang tangannya. Padahal maksud Rasulullah SAW tidak
seperti itu, melain-kan makna kias dari kata “panjang tangan” yang berarti
mengu-lurkan tangan untuk kebaikan dan suka memberi (dermawan) yang dimaksud
oleh hadis tersebut.
Contoh lain terjadi pada hadis Qudsi yang
berbunyi,
إن تقرّب عبدي إليّ بشبر تقرّبت إليه ذراعا وإن تقرّب إليّ
ذراعا تقرّبت إليه باعا. وإن أتاني يمشي أتيته هرولة
Artinya : “Jika hamba-Ku mendekatkan diri
kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya satu hasta. Jika dia mendekat
kepada-Ku satu hasta, maka Aku mendekat kepadanya satu depa dan jika dia datang
kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku datang kepadanya dengan berlari kecil.”
Ungkapan hadits ini adalah ungkapan tamsil dan
tasybih dari barang siapa yang mendatangi-Ku dengan cepat dengan ketaatannya
dia akan diberi pahala oleh-Ku lebih cepat dari pada kedatangannya. Ungkapan
ini yang kemudian dikiaskan dengan kata “berjalan” dan “berlari kecil”.
2.
Ungkapan majaz
sebagai solusi bagi hadits yang dilihat sulit untuk dipahami secara harfiahnya
dan kesulitan ini akan hilang bila hadits tersebut diartikan dengan makna
majazi. Sebagai contoh hadis yang berbunyi :
إعلموا أنّ الجنّة تحت ظلال السيف
Artinya : “ketahuilah bawa surga itu
berada di bawah bayang-bayang pedang”.
Jika
dimaknai secara haqiqi sesuai dengan lafadznya maka kita akan mendapatkan
pemahaman bahwa surga itu ada di bawah bayang-bayang pedang, padahal yang
demikian itu sangat mustahil dan tidak bisa diterima oleh akal. Oleh karena itu
muhaddisin memahami hadis tersebut secara majaz dan menyatakan bahwa yang
dimaksud hadis tersebut adalah surga itu diraih dengan kerja keras, kesungguhan
serta ketulusan layaknya perjuangan berperang melawan musuh-musuh Allah.
3.
Ungkapan majaz
sebagai bentuk tamsil dan penyerupaan (meng-gambarkan sesuatu yang abstrak
dengan sesuatu yang konkrit) sebagai isyarat dari tingkat keharusan dari suatu
anjuran maupun larangan. Contoh hadis :
إنّ الله خلق الخلق حتّى إذا فرغ من خلقه قالت الرّحم : هذا
مقام العائذ بك من القطيعة قال: نعم، اما ترضين ن أصل من وصلك واقطع من قطعك؟
قالت: بلى ياربّ ...
Artinya : “Allah menciptakan makhluk-Nya,
setelah selesai menciptakan (mereka), Rahim berkata, “ini adalah tempat bagi
orang yang memohon perlindungan kepada-Mu dari orang yang memutuskanku.” Allah
menjawab “ya, tidakkah kamu suka bila Aku berhubungan dengan orang yang
menghubungkanmu dan memutuskan hubungan dengan orang yang memutuskanmu?” Rahim
menjawab, “ya wahai Tuhanku.”
Ibn Abu Jamrah
menjelaskan bahwa maksud dari kata-kata tersebut adalah Allah memberi pahala
yang besar (sebagai balasan yang baik dari-Nya) pada orang yang terus
menyambung tali silaturahim, demikian juga bagi orang yang memutuskannya, dia
akan juga menerima balasan dari-Nya. Yang mana dari ungkapan diatas, yang
menjadi gambaran abstrak adalah bicaranya sebuah rahim, dan yang menjadi
konkret adalah hubungan silaturrahim antar sesama manusia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian diatas
penulis menyimpulkan bahawa :
1. Makna haqiqi adalah ungkapan yang sesuai dengan makna harfiyahnya.
Dan dibagi menjadi 3 : Makna haqiqi syar’i, Makna haqiqi urfi, dan Mak-na haqiqi lughawi.
2. makna majazi adalah ungkapan yang dipengaruhi oleh adanya 4
faktor : Al Wadh’u Al Awwalu (makna
pertama), Al Wadh’u Ats Tsani (makna
ke-dua), Al Qorinah (sebab
yang menghalangi makna pertama dan meng-haruskan dimaknai dengan makna kedua),
dan Al ‘Alaqah (hubungan
an-tara makna pertama dan makna kedua).
3. Perbedaan antara hadits dengan ungkapan haqiqi atau majazi
dapat dike-tahui dari matannya, jika dalam matan ada 4 faktor tadi, maka
termasuk dalam ungkapan majazi. Jika tidak maka termasuk dalam ungkapan haqiqi.
DAFTAR
PUSTAKA
Hadits
Majazi : HADITS-HADITS YANG BERMAKNA MAJAZI. (2009, Mei 25).
Dipetik 04 24, 2018, dari Rumah Belajar & Berbagi: http://ahmadghozi.blogspot.co.id/2009/05/hadits-majazi.html
HANIFNURFAUZI.
(2009, April 11). Belajar Ushul Fiqh -Makna Haqiqi dan Majazi. Dipetik
April 24, 2018, dari AGAMA ADALAH NASEHAT: https://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/
HONO, F. (2014, 03).
KAIDAH MEMBEDAKAN HADIST MAKNA MAJAZ DAN MAKNA NYATA. Dipetik 04 23,
2018, dari KUMPULAN MAKALAH LENGKAP USHULUDDIN TH.ANGKATAN 2012 STAIN KUDUS:
http://mas-pujiono.blogspot.co.id/2014/03/kaidah-membedakan-hadist-makna-majaz.html
[1] Fuji, hono. “Kaidah Membedakan Hadist Makna Majaz Dan Makna Nyata” dalam http://mas-pujiono.blogspot.co.id/2014/03/kaidah-membedakan-hadist-makna-majaz.html.
Diaskses pada 24 April 2018, pukul 23.00 WIB.
[2] ahmad, ghozi. “Hadits Majazi : Haidts-Hadits Bermakna Majazi” dalam http://ahmadghozi.blogspot.co.id/2009/05/hadits-majazi.html.
Diakses pad 24 April 2018 pukul 23.00 WIB
[3] hanif, nur fauzi. “Belajar Ushul Fiqh -Makna Haqiqi
dan Majazi” dalam https://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/”. Diakses pada 24 April 2018, pukul 23.00 WIB.
[4] hanif, nur fauzi. “Belajar Ushul Fiqh -Makna Haqiqi dan Majazi” dalam https://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/”. Diakses pada 24 April 2018, pukul 23.00 WIB.
[5] Fuji, hono. “Kaidah Membedakan Hadist Makna Majaz Dan Makna Nyata” dalam http://mas-pujiono.blogspot.co.id/2014/03/kaidah-membedakan-hadist-makna-majaz.html.
Diaskses pada 24 April 2018, pukul 23.00 WIB.
Post a Comment for "MAKALAH MA’ANIL HADITS MEMBEDAKAN UNGKAPAN YANG BERMAKNA HAQIQI DENGAN UNGKAPAN YANG BERMAKNA MAJAZ"