IGNAZ GOLDZIHER
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Agama dan manusia memiliki hubungan yang sangat
erat kaitannya, karena agama sangat dibutuhkan oleh manusia agar manusia
memiliki pegangan hidup sehingga ilmu dapat menjadi lebih bermakna, yang dalam
hal ini adalah Islam. Dengan ilmu kehidupan manusia akan bermutu, dengan agama
kehidupan manusia akan lebih bermakna, dengan ilmu dan agama kehidupan manusia
akan sempurna dan bahagia.
Mempelajari mata kuliah Metodologi Penelitian
Hadits merupakan salah satu kwajiban mahasiswa prodi IQT fakultas Ushuluddin.
Dengan tujuan memperdalam keilmuan dan meningkatkan keimanan serta ketaqwaan
kepada Allah, sehingga terwujudlah mahasiswa yang cerdas, beriman, bertaqwa
berdasarkan nilai-nilai yang terkandung didalam Al Qur’an dan Al Hadits.
Dari makalah
yang disusun, penyusun berharap mampu
memberikan kontribusi yang positif akan gambaran tentang Ignaz Goldziher dan
Kritik Hadits yang lebih dapat diaplikasikan dalam memperdalam kelimuan tentang
tafsir Al Qur’an serta mampu mengaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa
dan bernegara.
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam
proses penyusunan makalah ini adalah :
1.
Bagaimana biografi Ignaz Goldziher?
2.
Bagaimana pemikiran dan kritik hadits
menurutnya?
C. Tujuan Penulisan
Pada dasarnya tujuan penulisan atau penyusunan
makalah adalah
1.
Mengetahui biografi Ignaz Goldziher
2.
Mengetahui pemikiran dan kritik hadits
menurutnya
BAB II
PEMBAHASAN
Sejak masa
yang sangat dini para ulama telah melakukan apa yang disebut dengan “Kritik
Hadits”, yaitu menyeleksi otentisitas berita yang bersumber dari Nabi Muhammad
SAW. bahkan ketika nabi SAW masih hidup, upaya ini telah dilakukan. Hanya saja
kritik Hadits yang mereka lakukan pada masa Nabi maupun Sahabat (generasi
sesudah nabi SAW) terbatas pada kritik Matan (materi) Hadits. Masalahnya karena
pada masa itu faktor dusta tidak dikenal dalam perilaku hidup keseharian
mereka.
Baru sesudah
terbunuhnya Ustman bin Affan pada tahun 36 H, menyusul munculnya kelompok-kelompok
politik dalam tubuh umat Islam, para Ulama disamping tetap melakukan kritik
matan Hadits, juga mulai memberlakukan kritik rawi hadits dimana seorang rawi
sebagai pembawa atau periwayat Hadits perlu diketahui identitasnya, apakah dia
termasuk orang yang taat beragama dan jujur yang kemudian dikenal istilah
‘adil, apakah dia kuat ingatannya dan tidak pelupa, yang kemudian dikenal
dengan istilah dhabit, dan lain-lain.
Maka
kriteria-kriteria otentisitas Hadits kemudian dirumuskan oleh para Ulama
generasi sesudah mereka, bahwa Hadits dinyatakan sebagai shahih (otentik)
apabila ia memenuhi empat syarat. Yaitu, ia diriwayatkan dengan sanad (jalur
transmisi) yang bersambung sampai pada sanad Nabi saw. Sanad itu terdiri dari
orang-orang yang bertakw dan kuat ingatannya, sementara materi Hadits itu tidak
berlawanan dengan al-Qur’an atau Hadits lain yang diriwayatkan dengan sanad
yang lebih unggul kualitasnya, dan tidak mengandung unsur-unsur kecacatan.
Persyaratan
otentisitas seperti ini telah dirterapkan oleh para Ulama, khususnya ahli-ahli
hadits, dalam menyeleksi atau mengkritik Hadits, sejak abad pertama hijrah
sampai kira-kira abad ketigabelas hijriyah, tanpa ada seorangpun yang
mempersoalkan.[1]
Dan baru pada
tahun 1890 M dunia penelitian Hadits dikejutkan dengan munculnya metode baru
dalam kritik Hadits, yaitu setelah terbitnya buku Muhammadenische Studien
(studi Islam) yang ditulis oleh Ignaz Goldziher, dimana ia menolak
persyaratan-persyaratan atau kriteria-kriteria otentisitas Hadits seperti
disebut diatas tadi.
1.
BIOGRAFI IGNAZ GOLDZIHER
Ignaz Goldziher seorang Yahudi yang lahir di Székesfehérvar,
Hungaria pada tanggal 22 Juni 1850. Ia terlatih dalam bidang pemikiran sejak
usia dini. Dalam usia lima tahun, ia mampu membaca teks Bibel "asli"
dalam bahasa Ibrani. Kemudian dilanjutkan dengan mempelajari Talmud pada saat
berusia delapan tahun. Dalam usianya yang ke dua belas, ia seorang siswa
sekolah yang telah memulai membuat karya tulisnya yang pertama tentang nenek
moyang Yahudi serta pengelompokannya. Pendidikan S1-nya bermula pada usia 15
tahun, Universitas Budapest menjadi pilihannya setelah ia lulus dari sekolah,
untuk mempelajari sastra Yunani dan Romawi kuno, bahasa-bahasa Asia, temasuk
bahasa Turki dan Persia.
Ia sangat terpengaruh oleh pemikiran
dosennya, yaitu Arminius Vambery (1803-1913),seorang pakar tentang Turki.
Arminius Vambery lah yang banyak mewarnai kehidupan intelektual awal Goldziher.
Arminius Vambery adalah keturunan Yahudi yang mengenalkan Theodor Herz
(1860-1904) pendiri Zionisme, untuk melobi Sultan Hamid II terkait pendirian
Negara Israel di Palestina.
Setelah menyelesaikan studinya di Budapest, Goldziher
melanjutkan studinya di Universitas Leipzig, Jerman. Ia meraih gelar doktor
dari universitas tersebut ketika berusia 19 tahun. Gelar itu diperolehnya
setelah dibimbing selama dua tahun oleh Heinrich Fleisher, orientalis Jerman
terkemuka. Setelah dari Leipzig, Goldziher melanjutkan penelitiannya di
Universitas Leiden, Belanda, selama setahun.
Selanjutnya, pada usianya yang ke-21, ia pulang ke kampung
halamannya dan menjadi dosen privat (Privatdozent) di Universitas
Budapest, Hunagria. Dosen privat pada saat itu adalah sebuah jabatan yang
dianugerahkan kepada para intelektual muda sebagai sebuah keistimewaan untuk
mengajar di universitas, namun tanpa gaji. Saat yang sama, Goldziher juga
dipilih sebagai anggota " Akademi Sains Hungaria," sebuah penghargaan
yang diberikan pada dirinya.
Sebagai "adat" para orientalis untuk mengunjungi
dan menetap di negara-negara Muslim supaya secara langsung dapat berinteraksi
dengan para ulama, Goldziher juga berkunjung ke Syria dan Mesir pada 1873-1874.
Di Mesir, ia dikenalkan oleh Dor Bey,seorang pejebat keturunan Swiss yang
bekerja di Kementrian Pendidikan Mesir. Melalui Dor Bey,Goldziher diperkenalkan
kepada Riyad Pasha, Menteri Pendidikan Mesir. Setelah berkenalan beberapa lama
dengan menteri pendidikan Mesir, Goldziher mengemukakan hasratnya untuk belajar
di Universitas al-Azhar. Atas rekomendasi Riyad Pasha lah, Syakhul al-Azhar,
'Abbasi,Mufti Masjid al-azhar terbujuk. Setelah bertemu dengan Goldziher yang
saat itu mengaku bernama Ignaz al-Majari(Ignaz dari Hungaria) dan mengaku
dirinya "Muslim" (namun dalam makna percaya kepada Tuhan yang satu,
bukan seorang musyrik) , serta dengan kelihaiannya berdiplomasi, maka Goldziher
bisa "menembus" al-Azhar. Ia menjadi murid beberapa masyayikh
al-Azhar,seperti Syaikh al-Asmawi, Syaikh Mahfudz al-Maghribi, Syaikh Sakka dan
beberapa syaikh al-Azhar lainnya.
Setelah sukses "bersandiwara," Goldziher kembali
ke Budapest. Ia menjabat sebagai Sekretaris Zionis Hungaria. Bagaimanapun,
kajian tentang Islam lebih mewarnai kehidupannya dibanding keterlibatannya di
bidang politik. Goldziher menulis banyak karya tentang studi Islam. Ia menulis
misalnya, Muhammedanisnche Studien (Studi Pengikut Muhammad, 2
jilid,1889-1890); Die Riechtungen der islamischen Koranauslegung (Mazhab-Mazhab
Tafsir dalam Islam,Leiden,1920) dan masih banyak lagi karya lainnya.
Setelah kembali ke Eropa, oleh
rekan-rekannya ia dinobatkan sebagai orientalis yang konon paling mengerti
tentang Islam, meskipun dan justru karena tulisan-tulisannya mengenai Islam
sangat negatif dan distortif, mengelirukan dan menyesatkan.
Menurut perkiraan Prof. Dr. M.M. Azami, Dia
adalah sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian terntang hadits. Yang
melambungkan namanya adalah karyanya yang berjudul Muhammedanische
Studien (Studi Islam) sebagai “kitab suci”nya para orientalis hingga kini.[2]
2. Pemikiran
Hadis Ignaz Goldziher
Goldziher mengatakan sunnah adalah istilah animis yang
kemudian dipakai oleh orang-orang islam. Hal ini dibantah oleh Prof. Azami,
menurut beliau kata-kata sunnah sudah dipakai dalam sya’ir-sya’ir jahiliyah,
Al-Quran, dan kitab-kitab hadis untuk menunjuk kepada arti tata cara, jalan,
perilaku hidup, syari’ah, dan jalan hidup. Kalaupun orang – orang jahiliyah
atau penganut animisme menggunakan sebuah kata dalam bahasa arab untuk arti
yang etismologis, maka hal itu tidak menjadi istilah jahiliyah atau animis.
Kalau hal ini dibenarkan, maka bahasa arab pun seluruhnya juga istilah
jahiliyah dan ini tentunya tidak akan diterima oleh akal sehat.
Ignaz Goldziher menuduh bahwa penelitian hadits
yang dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal itu dikarenakan para ulama lebih banyak
menggunakan metode kritik sanad, dan kurang menggunakan metode kritik matan.
Karenanya, Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik matan
saja.
Sebenarnya para ulama klasik sudah menggunakan
metode kritik matan. Hanya saja apa yang dimaksud metode kritik matan oleh Goldziher
itu berbeda dengan metod kritik matan yang dipakai oleh para ulama. Menurutnya,
kritik matan hadits itu mencakup berbagai aspek, seperti politik, sains, sosio
kultural dan lain-lain. Ia mencontohkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab
shahih Bukhari, dimana menurutnya, Bukhari hanya melakukan kritik sanad dan
tidak melakukan kritik matan. Sehingga tidak menutup kemungkinan dalam kitab
shahih Bukhari tersebut terdapat hadits-hadits palsu.
Dari berbagai penelusuran dan penelitian para
ulama terhadap tuduhan Goldziher tersebut. Ternyata tuduhan Goldziher
seringkali ahistoris, irasional dan miskin data serta minimnya pengetahuan.
Begitu pula hal yang sama dilakukan oleh para orientalis lainnya termasuk
Joseph Schacht.
Beberapa contoh di antaranya :
1.
Hadits “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju
ketiga Masjid, Masjid al-Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha.” Menurut
Goldziher hadits ini palsu karena buatan Ibnu Shihab al-Zuhri bukan ucapan Nabi
Saw sekalipun terdapat dalam kitab shahih Bukhari. Ibnu Shihab al-Zuhri menurut
Goldziher dipaksa oleh Abdul Malik Bin Marwan penguasa dinasti Umayyah waktu
itu untuk membuat hadits tersebut karena khawatir Abdullah bin Zubair (yang
memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di Makkah) menyuruh warga Syam yang
sedang beribadah haji untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin
Marwan berusaha agar warga Syam tidak lagi pergi ke Makkah, tetapi cukup hanya
pergi Masjid al-Aqsha yang pada saat itu menjadi wilayah Syam. Para ulama
menyatakan, tidak ada bukti historis yang mendukung teori Goldziher, bahkan
sebaliknya. Para ahli tarikh berbeda pendapat tentang kelahiran al-Zuhri,
antara 50 sampai 58 H. Al-Zuhri juga belum pernah bertemu dengan Abdul Malik
bin Marwan sebelum tahun 81 H. Pada tahun 68 H orang-orang dari Dinasti Umayyah
berada di Makkah pada musim haji. Apabila demikian adanya, al-Zuhri pada saat
itu masih berumur 10 sampai 18 tahun. Karenanya sangat tidak logis seorang anak
yang baru berumur belasan tahun sudah populer sebagai intelektual dan memiliki
reputasi ilmiah di luar daerahnya sendiri, dimana ia mampu mengubah pelaksanaan
ibadah haji dari Makkah ke Jerusalem. Lagi pula di Syam pada saat itu masih
banyak para sahabat dan tabi’in yang tidak mungkin diam saja melihat kejadian
itu.
Sementara teks haditsnya
sendiri tidak menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di Jerusalem. Yang
ada hanyalah isyarat pengistimewaan kepada Masjidil Aqsha yang pernah dijadikan
kiblat umat Islam. Di sisi lain, hadits tersebut diriwayatkan oleh delapan
belas orang selain al-Zuhri. Lalu kenapa hanya al-Zuhri yang dituduh memalsukan
hadits tersebut?
Dari sini nampaknya
tidak terlalu sulit bahwa tujuan utama Goldziher adalah untuk meruntuhkan
kredibilitas Imam Bukhari. Apabila umat Islam sudah tidak percaya lagi kepada
shahih Bukhari, maka hadits-hadits Rasulullah Saw di dalamnya tidak akan
dipakai lagi. Pada gilirannya kemudian Imam-Imam ahli hadits lainnya juga
dikorbankan. Dengan demikian tamatlah sudah apa yang disebut hadits, dan
robohlah satu pilar Islam.
2. Goldziher berpendapat
bahwa hadits secara keseluruhan merupakan produk orang-orang yang hidup pada
abad kedua atau awal abad ketiga hijriah dan bukan merupakan ucapan Nabi Saw.,
sebab hukum-hukum syariah tidak dikenal umat Islam pada kurun pertama hijriah.
Sehingga para ulama Islam di abad ketiga banyak yang tidak mengetahui sejarah
Rasul. Ia menukil tulisan al-Darimy, seorang Arab muslim dalam bukunya hayat
al-hayawan (dunia hewan), dimana dinyatakan dalam tulisannya, bahwa Abu Hanifah
tidak mengetahui secara pasti terjadinya perang Badar, apakah sebelum atau
sesudah perang Uhud?
Tidak diragukan lagi,
bagi orang yang sedikit penelaahannya terhadap sejarah akan menyatakan
demikian. Abu Hanifah adalah ulama yang paling terkenal yang banyak berbicara
tentang hukum peperangan dalam Islam, bisa dibuktikan melalui Fikihnya yang
sangat fenomenal dan buku-buku karangan murid-muridnya seperti Abu Yusuf dan
Muhammad.
Dari buku karangan Abu
Yusuf Sirah Imam al-Auza’i dan buku karangan Muhammad Sirah Kabir, jelas menunjukkan
penguasaan para murid Imam Abu Hanifah terhadap sejarah peperangan Islam yang
menyiratkan keluasan pengetahuan gurunya, Imam Abu Hanifah.
3. Goldziher sebenarnya
mengetahui kedua kitab itu yang menetapkan apakah Imam Abu Hanifah itu bodoh
atau berpengetahuan tentang sejarah peperangan Islam, kecuali memang untuk
merusak kredibilitas ulama besar tersebut. Goldziher bersandar kepada buku
al-Darimy yang membahas dunia hewan, terlebih lagi bahwa buku itu bukan buku
sejarah atau fikih. Dengan demikian membuktikan bahwa Goldziher keliru tanpa
terlebih dahulu membuktikan kebenaran sumbernya.
Goldziher telah memfitnah Wakî‘
dengan mengubah pernyataan Wakî‘ tentang Ziyâd Ibn ‘Abdillah al-Bukkâ'î,
"Beliau sangat jauh dari melakukan kebohongan"
Menjadi:"Dia itu dibalik kemuliaannya dalam hadis adalah seorang pembohong"
Menjadi:"Dia itu dibalik kemuliaannya dalam hadis adalah seorang pembohong"
Sepintas saja, terlihat perbedaan
makna yang sangat mencolok. Wakî‘ bermaksud meniadakan sifat bohong pada diri
Ziyâd secara mutlak, bukan hanya kebohongan dalam hadis saja. Tetapi, Goldziher
menyatakan yang sebaliknya bahwa Ziyad adalah seorang pembohong.
4.
Goldziher menyatakan bahwa hadis-hadis yang berkenaan dengan
larangan dan anjuran penulisan hadis itu berstatus maudhu‘. Semua hadis ini
telah dibuat-buat oleh kelompok muhaddits dan ahl al-ra'y (ahli fikih) untuk
mendukung pendapatnya masing-masing. Hadis-hadis tersebut adalah
·
Hadis tentang larangan menulis sabda Nabi Muhammad Saw dari
Abu Sa‘îd al-Khudry: لَا تَكْتُبُوا عَنِّي وَمَنْ
كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ...الحديث(رواه مسلم) "Jangan kalian tulis
ucapan-ucapanku, dan barangsiapa menulis ucapanku selain al-Qur'an, hendaknya
ia menghapusnya!"
·
Hadits tentang
anjuran Nabi Saw untuk menulis sabdanya dari Abu Hurairah:
...اكْتُبُوا لِأَبِي شَاهٍ...الحديث (رواه الشيخان) "… Tuliskanlah untuk Abu Syah!...."
Menurutnya, hadis yang berisi tentang larangan Nabi Saw atas penulisan hadis telah dibuat oleh ahl al-Ra'y, sedangkan hadis yang kedua yang memperbolehkan bahkan menyuruh penulisan hadis dibuat oleh para muhaddits.
...اكْتُبُوا لِأَبِي شَاهٍ...الحديث (رواه الشيخان) "… Tuliskanlah untuk Abu Syah!...."
Menurutnya, hadis yang berisi tentang larangan Nabi Saw atas penulisan hadis telah dibuat oleh ahl al-Ra'y, sedangkan hadis yang kedua yang memperbolehkan bahkan menyuruh penulisan hadis dibuat oleh para muhaddits.
Al-A‘zhamy menjawab kritikan ini
dengan pernyataannya bahwa jika melihat daftar nama orang-orang yang menentang
dan memperbolehkan penulisan hadis, akan diketahui bahwa tuduhan tersebut tidak
benar sama sekali. Sebab, orang yang terkenal keras dalam menentang penulisan
hadis seperti Ubaidah dan Ibn Sirin adalah termasuk kelompok muhaddits.
Sedangkan orang yang memperbolehkan dan mendorong penulisan hadis seperti
Hammad Ibn Abu Sulaiman, al-Zuhri, al-A‘masy, Abu Hanifah, al-Tsaury, dan Malik
adalah termasuk ahl al-ra'y.
5. Goldziher menuturkan bahwa
"bimbingan resmi" dan kegiatan penguasa" untuk memalsukan hadis
sudah ada sejak dini dalam sejarah Islam. Dampaknya tampak dalam pesan
Mu‘awiyah kepada al-Mughirah agar ia mengucilkan ‘Ali dan pengikutnya, serta
jangan menerima hadis-hadis mereka. Di pihak lain, Utsman dan dan para
pengikutnya supaya disanjung-sanjung dan diterima hadisnya. Pesan ini merupakan
"siaran resmi" yang melegalisir pemalsuan hadis untuk memojokkan ‘Ali
demi membela kepentingan Utsman.
Glodziher menyimpulkan hal itu
berdasarkan keterangan yang terdapat dalam tarîkh karangan al-Thabâry, di mana
Mu‘awiyah berpesan kepada al-Mughirah, "Jangan segan-segan mencaci dan
mengecam ‘Ali, dan jangan bosan menyayangi dan memohonkan ampunan untuk Usman.
Aib berada pada pengikut-pengikut ‘Ali, karenaya kucilkanlah mereka dan jangan
didengar ucapannya!"
Dr. Al-A‘zhamy menjawab, "Orang
yang membaca teks-teks tersebut berikut kesimpulannya akan merasa heran. Sebab
perang antara Sayyidina ‘Ali dan Mu‘awiyah sudah menjadi saksi sejarah. Memang
merupakan suatu kewajaran, jika dalam suatu negara, pemerintah selalu
mengangkat pegawai dan pejabat yang loyal kepadanya, bukan pembangkang. Inilah
yang dilakukan Dinasti Umayyah pada saat itu.
Di samping itu, tidak ada tanda-tanda bahwa mereka memalsukan hadis, baik secara resmi maupun tidak. Yang ada hanyalah ucapan Mu‘awiyah kepada al-Mughirah. Tidak ada kritikan atas Mu‘awiyah kecuali hanya karena ucapannya itu kalau benar ia mengucapkan demkian. Dan sejauh Itu, tidak ada tanda-tanda bahwa Mu‘awiyah sebagai seorang pemalsu hadis." [3]
Di samping itu, tidak ada tanda-tanda bahwa mereka memalsukan hadis, baik secara resmi maupun tidak. Yang ada hanyalah ucapan Mu‘awiyah kepada al-Mughirah. Tidak ada kritikan atas Mu‘awiyah kecuali hanya karena ucapannya itu kalau benar ia mengucapkan demkian. Dan sejauh Itu, tidak ada tanda-tanda bahwa Mu‘awiyah sebagai seorang pemalsu hadis." [3]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari
makaalah yang telah disusun, dapat disimpulkan bahwa Ignaz Goldziher menuduh
bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal itu
dikarenakan para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad, dan kurang
menggunakan metode kritik matan. Karenanya, Goldziher kemudian menawarkan
metode kritik baru yaitu kritik matan saja. Adapun beberapa pendapatnya :
1. Hadits “Tidak
diperintahkan pergi kecuali menuju ketiga Masjid, Masjid al-Haram, Masjid
Nabawi dan Masjid al-Aqsha.” Menurut Goldziher hadits ini palsu karena buatan
Ibnu Shihab al-Zuhri bukan ucapan Nabi Saw
2. Goldziher berpendapat
bahwa hadits secara keseluruhan merupakan produk orang-orang yang hidup pada
abad kedua atau awal abad ketiga hijriah dan bukan merupakan ucapan Nabi Saw.,
sebab hukum-hukum syariah tidak dikenal umat Islam pada kurun pertama hijriah.
3. Goldziher sebenarnya
mengetahui kedua kitab itu yang menetapkan apakah Imam Abu
Hanifah itu bodoh atau berpengetahuan tentang sejarah peperangan Islam, kecuali
memang untuk merusak kredibilitas ulama besar tersebut.
4. Goldziher menyatakan bahwa
hadis-hadis yang berkenaan dengan larangan dan anjuran penulisan hadis itu
berstatus maudhu‘.
5. Goldziher menuturkan bahwa
"bimbingan resmi" dan kegiatan penguasa" untuk memalsukan hadis
sudah ada sejak dini dalam sejarah Islam.
KRITIK DAN SARAN
Demikian
makalah yang kami susun, semoga bermanfaat. Apabila terdapat kesalahan kata dan
penyusunan penyusun memohon kritik dan saran serta permohonan maaf yang
sebesar-besarnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://ushuluddin-uinsuska.blogspot.co.id/2012/01/pemikiran-hadis-ignaz-goldziher.html
https://gotherectoverso.wordpress.com/2011/04/23/ignaz-goldziher-dan-kritik-hadits/
[1]
https://gotherectoverso.wordpress.com/2011/04/23/ignaz-goldziher-dan-kritik-hadits/
[2]http://ushuluddin-uinsuska.blogspot.co.id/2012/01/pemikiran-hadis-ignaz-goldziher.html
[3]http://ushuluddin-uinsuska.blogspot.co.id/2012/01/pemikiran-hadis-ignaz-goldziher.html
Post a Comment for "IGNAZ GOLDZIHER"