Mukhtalifil Hadits
PENDAHULUAN
Sebagaimana kita ketahui ilmu hadits dalam pembagiannya memiliki banyak sekali
cabang-cabang yang membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan
hadits.
Ilmu-ilmu tersebut sangat penting untuk diketahui apalagi
bagi orang-orang yang menekuni bidang hadits. Karena dapat membantu dalam menyelesaikan masalah-masalah
yang berkaitan dengan hadits.
Salah satu dari ilmu-ilmu tersebut adalah ilmu mukhtalif
al-hadits. Ilmu
ini membahas tentang hadits-hadits yang secara lahir saling bertentangan antara
satu dengan yang lain. Pertentangan tersebut terkadang membuat orang-orang yang
menekuni hadits menjadi bingung tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dalam
hadits-hadits tersebut. Karena hal inilah para tokoh hadits berpikir tentang apa
yang seharusnya dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Akhirnya
ditemukanlah ilmu mukhtalif al-hadits ini yang di dalamnya membahas tentang
metode-metode yang digunakan untuk memecahkan masalah pertentangan diantara
hadits-hadits Nabi
tersebut. Dan untuk lebih jelasnya, makalah ini akan mencoba membahas tentang ilmu
mkhtalif al-hadits ini.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mukhtalifil Hadits
Dalam kaidah bahasa Mukhtalafal
Hadits adalah susunan dua kata benda yakni Mukhtalaf dan
Al-Hadits. Mukhtalaf adalah isim maf’ul dari kata ikhtalafa yang
berarti perselisihan dua hal atau ketidaksesuaian dua hal, secara umum apabila
ada dua hal yang bertentangan, hal tersebut bisa dikatakan mukhtalaf atau
ikhtilaf. Sedangkan dalam istilah ahli hadits, Mukhtalifil Hadits (dengan dibaca kasroh lam’) adalah hadits yang secara dhohir tampak saling bertentangan dengan hadits lain. dan dengan dibaca fathah lam’nya adalah dua hadits yang secara makna saling bertentangan. Dari dua
definisi diatas bisa disimpulkan bahwa Mukhtalif Hadits adalah esensi hadits itu sendiri, sedangkan Mukhtlaf al-Hadits adalah pertentangannya.
Secara
istilah ilmu mukhtalifil hadits adalah ilmu yang membahas hadits-hadits yang
menurut lahirnya saling berlawanan dengan hadits maqbul
lainya dalam maknanya, untuk menghilangkan
perlawanan itu memungkinkan untuk mengkompromikan keduanya sebagaimana halnya membahas hadits- hadits yang
sukar difahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan
hakikatnya.
Dari pengertian diatas, dapat dipahami bahwa dengan menguasai ilmu mukhtalifil
hadits, hadits-hadits yang tampaknya bertentangan akan dapat
diatasi dengan menghilangkan pertentangan tersebut. Begitu juga kemusykilan
yang terlihat dalam hadits, akan segera dapat dihilangkan dan ditemukan hakikat
dari kandungan hadits tersebut.
Ulama
yang pertama kali menghimpun kita Mukhtalifil
Hadits adalah Imam As-Syafi,i. Setelah itu bermunculan beberapa kitab yan membahas
tentang itu diantaranya: kitab Ta’wil
Mukhtalif al-Hadits oleh Abdullah bin Muslim al-Dainury (213-276). Kitab
ini merupakan jawaban bagi para penentang hadits, dan penuduh para ahli hadits
yang sengaja mengumpulkan hadits-hadits yang saling berlawanan dan meriwayatkan
hadits-hadits musykil. Didalam kitab tersebut tampak lahirnya berlawanan tetapi
pada esensinya tidak demikian.[1]
B.
Sebab-Sebab
Mukhtalifil Hadits
1.
Faktor
Internal Hadist (Al ‘Amil Al Dakhily)
Yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadits
tersebut. Biasanya terdapat ‘illat (cacat) didalam hadist tersebut yang
nantinya kedudukan hadist tersebut menjadi Dha’if. Dan secara otomatis hadist
tersebut ditolak ketika hadist tersebut berlawanan dengan hadist shohih.
2.
Faktor Eksternal (al’ Amil al Kharijy)
Yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks
penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah
waktu, dan tempat dimana Nabi menyampaikan haditsnya.
3.
Faktor Metodologi (al Budu’ al Manhajy)
Yakni berkitan dengan cara bagaimana cara dan proses
seseorang memahami hadits tersebut. Ada sebagian dari hadits yang dipahami
secara tekstualis dan belum secara kontekstual yaitu dengan kadar keilmuan dan
kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadits, sehingga
memunculkn hadits-hadits yang mukhtalif.
4.
Faktor Ideologi
Yakni berkaitan
dengan ideologi suatu madzhab
dalam memahami suatu hadits, sehingga memungkinkan
terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang.
C.
Metode
Penyelesaian Mukhtalifil Hadits
1.
Metode al-Jam’u Wa al-Taufiq
Metode ini dinilai lebih baik dari pada melakukan
tarjih (mengumpulkan salah satu
dari dua hadits yang tampak bertentangan). Metode ini dilakukan dengan mengkompromikan
kedua hadits yang mukhtalif tersebut. Upaya kompromi ini secara umum dapat dilakukan dengan
penerapan pola umum khusus atau muthlaq dan muqayyad. Penerapan pola khusus
dapat pula dilihat kekhususan dari konteks kapan, di mana, dan kepada siapa
Nabi bersabda.
Metode al-jam’u wa al-taufiq ini tidak berlaku bagi hadits-hadits dha’if ( lemah ) yang
bertentangan dengan hadits-hadits yang shahih. Contoh aplikasi dari metode al-jam’u wa taufiq adalah
hadis tentang cara wudlu Rasulullah Saw. Hadis pertama menyatakan bahwa
Rasulullah Saw.berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap
kepala satu kali.
2.
Metode Nasikh Mansukh
Secara bahasa
naskh bisa berarti menghilangkan ( al – izalah ), bisa pula berarti al- naql ( memindahkan
). Sedangkan secara istilah naskh berarti penghapusan yang dilakukan oleh syari’ ( pembuat
syriat; yakni Allah dan Rasulullah ) terhadap ketentuan hukum syariat yang
datang lebih dahulu dengan dalil syar’i yang datang belakangan. Dengan definisi
tersebut, berarti bahwa hadits-hadits yang sifatya hanya sebagai penjelasnya (
bayan ) dari hadits yang bersifat global atau hadits-hadits yang memberikan
ketentuan khusus ( takhsish ) dari hal-hal yang sifatnya umum, tidak dapat
dikatakan sebagai hadits nasikh ( yang menghapus ).
Metode ini dilakukan jika jalan taufiq tidak dapat
dilakukan. Itupun jika data sejarah kedua hadits yang ikhtilaf dapat diketahui
dengan jelas. Tanpa mengetahui taqaddum dan taakhhur dari kedua hadits
itu, metode nasakh mustahil dapat dilakukan. Metode nasakh sendiri yaitu
menghapus hadits yang turunnya lebih dahulu kemudian mengamalkan hadits yang
turunnya kemudian.
Salah satu contoh dua hadits yang saling bertentangan dan bisa diselesaikan dengan metode
naskh-mansukh adalah hadits tentang hukum
makan daging kuda.
3.
Metode Ta’wil
Metode ini bisa menjadi salah satu alternative baru dalam
menyelesaikan hadits-hadits yang bertentangan. Sebagai contoh hadis tentang lalat.
Hadis tersebut dinilai kontradiktif dengan akal dan teori kesehatan. Sebab
lalat merupakan serangga yang sangat berbahaya dan bisa menyebarkan penyakit.
Lalu bagaimana mungkin Nabi Saw. Menyuruh supaya menenggelamkan lalat yang
hinggap diminuman.
4.
Metode Tarjih
Dalam pengertian sederhana, tarjih adalah suatu
upaya untuk
menentukan sanad yang lebih kuat pada hadits-hadits yang tampak ikhtilaf. Metode tarjih ini dilakukan
setelah upaya kompromi tidak memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti perlu
memilih dan mengunggulkan mana diantara hadits-hadits yang tampak bertentangan yang kualitasnya
lebih baik. Sehingga hadits yang lebih berkualitas itulah yang dijadikan dalil.
Metode
tarjih merupakan upaya terakhir yang mungkin dilakukan dalam menyelesaikan
hadits-hadits mukhtalif
ketika jalan
taufiq dan nasakh mengalami kebuntuan. Jika pada
langkah terakhir ini ikhtilaf juga tidak dapat diselesaikan, maka
hadits-hadits tersebut terpaksa dinyatakan tidak dapat diamalkan (tawaqquf).
Harus diakui bahwa ada beberapa matan Hadits yang saling
bertentangan. Bahkan ada juga yang benar-benar bertentangan
dengan Al-Quran. Antara lain adalah Hadits tentang nasib bayi perempuan yang
dikubur hidup-hidup akan berada di neraka.
D.
Urgensi
Mukhtalifil Hadits
Bahwasanya memahami
hadits Nabi SAW. dengan pemahaman yang sehat, kuat, dan jernih
serta dalam, dan juga melakukan istinbat hukum dari hadits tersebut secara benar dan sah tidak bisa terlaksana
dengan sempurna kecuali didukung dengan pengetahuan tentang Mukhtalafil
Hadits, sehingga mau tidak mau bagi seorang ilmuan (‘ulama)
yang berkecimpung dalam bidang tersebut memahami Mukhtalif Al-Hadits merupakan sebuah keniscayaan.
Saking pentingnya memahami Muhktalifil Hadits, para ‘ulama bervariasi dalam memposisikan
Ilmu Muhktalafil Hadits diantaranya:
1.
Ibnu Hazm Al-Dhahiri
Mengatakan: “dan ini (maksudnya adalah Ilmu Muhktalaf Al-Hadits) merupakan salah satu disiplin ilmu yang sulit, rumit
bagi seorang ilmuan (Ahl Al-‘Ilm) dalam merumuskan atau menjabarkan nash-nash
hadits”
2.
Imam
Abu Zakariya Al-Nawawi
Mengatakan: “dan ini (maksudnya adalah Ilmu Mukhtalaf Al-Hadits) merupakan salah satu fan ilmu terpenting. dan semua
‘ulama dari segala kelompok mutlak membutuhkan pengetahuan tentang ilmu ini.”
3.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah
Mengatakan:
“sesungguhnya pertentangan (secara dhahir) antara
beberapa petunjuk dalil dan melakukan tarjih pada sebagian dalil tersebut merupakan samudera
yang sangat luas (artinya sangat luas dan rumit)”
KESIMPULAN
Dari berbagai pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan,
bahwasannya dari berbagai macam keadaan hadist yang mana notabenenya sebagai sumber Islam yang
kedua setelah Al-Qur’an masih dibutuhkan berbagai literature keilmuan dalam memahaminya.
Dalam perjalanannya dikemudian hari sudah barang tentu
akan terus mengalami proses perkembangan dalam memahai sebuah teks hadist. Hal
ini dapat terjadi karena selama ini dalam ruang lingkup proses pemahaman hadist
juga sudah mengalami perkembangan dari zaman ke zaman. Tidak kalah pentingnya bahwa dalam memahami hadist juga
masih harus mempertimbangkan dari teori-teori ulama terdahulu agar kompromi
keilmuan ulama dahulu dan sekarang masih tetap terjallin dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Alfatih Suryadilaga. Ulumul Hadits. Yogyakarta: Teras, 2010.
Post a Comment for "Mukhtalifil Hadits"