MAKALAH TAFSIR AL-'ILMI DAN AL-IJTIMA’I
MAKALAH
TAFSIR AL-IL’MI DAN AL-IJTIMA’I
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Metodologi Penelitian Tafsir pada semester III
Dosen pengampu: Ali Mahfudz, S.Th.I., M.S.I.
Disusun Oleh:
Kholiliyyatul Mufakhiroh
(1631047)
FAKULTAS USHULUDDIN
PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA KEBUMEN
TAHUN 2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Kemajuan ilmu
pengetahuan yang sangat berkembang pesat, juga berpengaruh kuat pada
perkembangan tafsir al-Qur‟an. Banyak sekali kitab-kitab tafsir yang
bermunculan dengan keinginan untuk menjaga eksistensi al-Qur‟an sebagai pedoman
kehidupan. Hal ini jugaberimplikasi
kepada munculnya perbagai metode dan pendekatan di dalam memahami al-Qur’an.
Munculnya berbagai metode dan pendekatan tersebut tidak lain merupakan usaha (ijtihad)
untuk menjadikan al-Qur’an kontekstual, dinamis seiring dengan perkembangan
zaman, sehingga al-Qur’an dapat menjawab problem-problem kemanusiaan.
Salah satu pendekatan yang digunakan di
dalam memahami al-Qur’an adalah pendekatan sains (saintific approach).
Pendekatan sains adalah pendekatan yang digunakan untuk memahami ayat-ayat
al-Qur’an melalui perspektif sains atau ilmu pengetahuan. Implikasi dari
pendekatan ini akan melahirkan tafsir-tafsir yang mengandung muatan sains atau
ilmu pengetahuan, biasanya tafsir yang menggunakan pendekatan sains masuk dalam
kategori tafsir ilmi.Biasanya
kitab tafsir yang memuat hal ini adalah tafsir al-jawahir fi al-Qur’an
al-Karim karya Tantawi Jauhari. Adapun corak penafsiran yang
berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan adalah tafsir al-adabi
al-Ijtima’.
Sehubungan dengan tafsir al-ijtima’i munculah seorang pemimpin
yang memberikan seruan seruan untuk membangkitkan umat Islam kembali, yaitu Jamaluddin
al-Afghani. Murid pertamanya yang mengikuti jejaknya ialah Syaikh Muhammad
Abduh. Dia yang mengajar pembaharuan dalam berbagai prinsip dan pengertian
Islam. Ia menghubungkan ajaran-ajaran agama dengan kehidupan modern, dan
membuktikan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan peradaban,
kehidupan modern serta apa yang bernama kemajuan. Maka dari itulah lahirlah
kitab-kitab tafsir yang tidak memberikan perhatian dari segi dan sisi-sisi
kajian seperti nahwu, istilah-istilah dalam balaghah, bahasa dan lain-lain.
Perhatian pokok dari kitab-kitab tafsir ini adalah memfungsikan al-Qur’an
sebagai kitab hidayah dengan cara yang sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an dan
makna-maknanya yang bernilai tinggi, yaitu memberi peringatan dan kabar
gembira. Oleh karena itu tafsir yang bermanfaat bagi umat Islam adalah tafsir
yang menjelaskan al-Qur’an dari segi bahwa ia adalah kitab yang berisi
ajaran-ajaran agama yang menunjukkan kepada manusia cara untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Corak ataupun model penafsiran tersebut dikenal dengan nama al-Laun
al-Adaby al-Ijtima’i. Dan salah satu kitab tafsir yang bercorak seperti ini
adalah tafsir al-Manar yang merupakan hasil karya dari dua tokoh yang
mempunyai hubungan guru dan murid, yaitu Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang
tersebut, dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai batasan pembahasan dalam
makalah ini, diantaranya adalah:
1.
Bagaimana munculnya corak tafsir jawahir (al-‘ilmi)
dana pengertiannya ?
2.
Bagaimana latar belakang Thanthawi Jauhari dalam menulis Tafsir Al-Jawahir?
3.
Bagaimana bentuk, metode dan corak penafsiran Al-Jawahir?
4.
Apa pengertian dari corak tafsir adabi ijtima’i?
5.
Bagaimana
latar belakang munculnya corak penafsiran adabi al-ijtima’i?
6.
Apa
saja yang menjadi karakteristik dari corak penafsiran adabi-ijtima’i ?
7.
Apa
kelebihan dan kekurangan dari corak penafsiran adabi al-ijtima’i ?
8.
Bagaimana contoh penafsiran dengan menggunakan
corak penafsiran adabi al-ijtima’i tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Tafsir
Al-‘lImi
A.
Akar Kemunculan dan PengertianTafsir ‘Ilmi
Dapat kita temukan bahwa awal kemunculan tafsir
‘Ilmi ini telah melintasi beberapa periode. Tepatnya kemunculan tafsir tersebut
bertolak dari zaman Abbasiyah sebagai bentuk usaha mengkompromikan teks-teks
keagamaan dengan pengetahuan-pengetahuan asing yang diterjemahkan kedalam
bahasa Arab. Usaha ini terus berlanjut dan terekspose pada abad ke-5 Hijriyah.
Hanya saja, tafsir ‘Ilmi baru bisa berkembang pesat di akhir abad ke-19 hingga
sekarang. Hal ini dikarenakan ketertinggalam umat Islam di bidang sains danteknologi
dibandingkan dengan orang Barat yang sudah mencapai tingkat kemapanan dalam
bidang sains dan teknologi.[1]
Mayoritas ulama tafsir sepakat memasukkan tafsir
‘Ilmy sebagai salah satu corak penafsiran yang secara metodologis merupakan
bagian dari metode tafsir Tahlili. yang dipergunakan sebagai perangkat untuk
memahami pesan-pesan Tuhan. Kemunculannya bertujuan untuk melihat seberapa jauh
nilai kemu’jizatan al-Qur’an dari aspek ilmu pengetahuan dan sains modern
berdasarkan prinsip dasar al-Qur’an yang menyatakan bahwa pada dasarnya
al-Qur’an mencakup seluruh ilmu pengetahuan, walaupun tidak secara deatil
disebutkan didalamnya karena ia memang bukan kitab pengetahuan.
Tafsir ilmy ialah penafsiran al-Qur’an yang
menggunakan pendekatan istilah-istilah (term-term) ilmiah dalam rangka
mengungkapkan al-Qur’an. tafsir ini berusaha keras untuk melahirkan berbagai
cabang ilmu yang berbeda dan melibatkan pemikiran-pemikiran filsafat. Menurut
pendukung tafsir ilmy, model penafsiran semacam ini membuka kesempatan yang
sangat luas bagi mufassir untuk mengembangkan berbagai potensi keilmuan yang
telah dan akan dibentuk dalam dan dari al-Qur’an. al-Qur’an tidak hanya sebagai
sumber ilmu agama yang bersifat i’tiqadiyah (keyakinan) dan amaliyah
(perbuatan). Ia juga tidak hanya disebut al-‘ulum al-diniyah wal I’tiqadiyah
wal amaliyah, tetapi juga meliputi semua ilmu keduniaan (al- ulum al-dunya)
yang beraneka ragam jenis dan bilangannya.
Beberapa ulama yang memberi lampu hijau untuk
mengembangkan tafsir ilmy ialah al-Ghazali (450-505 H/1057-1111 M), Jalal
al-Din al-Suyuti (w.911 H/1505 M), Thanthawi jauhari (1287-1385 H/1870-1939 M).
Muhammad Abduh (1265-1323 H/1849-1905 M). namun, tidak sedikit mufassir yang
merasa keberatan terhadap penafsiran al-Qur’an yang bersifat ke-ilmu
teknologian. Beberapa ulama yang mengingkari kemungkinan pengembangan tafsir
ilmy adalah al-Syathibi (w.790 H/1388 M), ibnu Taimiyah (661-728 H/1262-1327
M), M. Rasyid Ridha (1282-1354 H/1865-1935 M), dan Mahmud Syaltut (13``11-1355
H/1839-1936 M).
Adapun pengertian tafsir ‘ilmi atau yang dalam
terminologi Jansen disebut sebagai sejarah alam secara sederhana dapat
didefinisikan sebagai usaha memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan menjadikan
penemuan-penemuan sains modern sebagai alat bantunya. Ayat al-Qur’an di sini
lebih diorientasikan kepada teks yang secara khusus membicarakan tentang
fenomena kealaman atau yang biasa dikenal sebagai al-ayat al-kauniyat. Jadi
yang dimaksud dengan tafsir ‘ilmi adalah suatu ijtihad atau usaha keras seorang
mufassir dalam mengungkapkan hubungan ayat-ayat kauniyah dalam al-Qur’an dengan
penemuan-penemuan sains modern, yang bertujuan untuk memperlihatkan
kemukjizatan al-Qur’an.[2]
Tafsir ‘ilmi adalah penafsiran al-Qur’an yang
pembahasannya menggunakan pendekatan istilah-istilah (term-term) ilmiah dalam
mengungkapkan al-Qur’an, dan seberapa dapat berusaha melahirkan berbagai cabang
ilmu pengetahuan yang berbeda dan melibatkan pemikiran-pemikiran filsafat.[3]
Tafsir 'ilmy adaالتفسير الذى يحكم الاصطلاحات العلمية فى عبارات
القران, ويجتهد فى استخراج مختلف العلوم والاراء الفلسفية منهاsuatu metode penafsiran yang mengukuhkan keterangan
atau istilah-istilah ilmiah yang terkandung di dalam perumpamaan-perumpamaan
yang terdapat dalam al-Qur’an yang kemudian melahirkan berbagai macam
pengetahuan dan teori-teori filsafat.[4]
Tafsir 'ilmy sebagai penafsiran ayat-ayat kawniyyah
yang terdapat di dalam al-Qur’an dengan mengaitkannya dengan ilmu pengetahuan
modern yang timbul saat sekarang.[5]Dan ada juga sebagian ulama mengartikan Tafsir
ilmy’ sebagai sebuah penafsiran terhadap ayat-ayat kawniyyah yang sesuai dengan
tuntutan dasar-dasar bahasa, ilmu pengetahuan dan hasil-hasil penelitian alam.[6]
Tafsir ‘ilmi ialah penafsiran al-Qur’an dalam
hubungannya dengan ilmu pengetahuan. Perintah untuk menggali pengetahuan
berkenaan dengan tanda-tanda Allah pada alam semesta memang banyak dijumpai di
dalam al-Qur’an. Inilah alasan yang mendorong para mufasir corak ini untuk
menulis tafsirnya.[7]
Secara sederhana tafsir ‘Ilmidapat didefinisikan
sebagai upaya memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan menjadikan penemuan-penemuan
sains modern sebagai alat bantunya. Sedangkan objek kajiannya adalah
dikonsentrasikan kepada ayat-ayat al-Qur’an yang secara khusus ataupun umum
membahas fenomena kealaman atau yang biasa dikenal sebagai ayat-ayat kauniah.
Oleh karena itu yang dimaksud dengan tafsir ‘Ilmi adalah upaya mufassir
menganalisa dan menginterpretasikan ayat-ayat kauniah dengan dibantu
penemuan-penemuan sains modern yang bertujuan untuk mengetahui dan memelihara
kemu’jizatan al-Qur’an.Dari beberapa definisi tafsir 'ilmi di atas pada
intinya adalah merupakan sebuah upaya
untuk mengeksplorasi ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an khususnya
ayat-ayat kawniyyah dengan berbagai cara dan metode sehingga dengan penafsiran
ini akan dihasilkan teori-teori baru ilmu pengetahuan ataupun sesuatu yang
berkesesuaian dengan ilmu pengetahuan modern yang ada pada saat ini. Sehingga
penafsiran ini tidak dianggap sebagai sebuah “kelatahan” yang hanya berusaha
menjustifikasi setiap temuan-temuan sains saat ini sebagai sesuatu yang sudah
terdapat al-Qur’an.
B.
Latar Belakang Thanthawi Jauhari dalam
menulis Tafsir Al-Jawahir
Thanthawi juga dikenal sebagai penulis yang
produktif. Tidak kurang dari 30 buku hasil buah pemikirannya sudah dihasilkan
dan mewarnai khazanah ilmu pengetahuan dunia. Di antara beberapakarya yang
fenomenal adalah Al-Jawahir fii Tasir al-Qur’an, ini adalah buah karya tafsir
ilmiyah pertama yang pernah diselesaikan secara sempurna. Tafsir ini terdiri
dari dua puluh lima juz.
Di dalam pendahuluan tafsirnya, Thanthawi membahas
tentang motivasi yang melandasi penyusunan tafsir ini. Beliau mengatakan,
sesungguhnya dirinya amat sangat tertarik dengan keajaiban alam, keindahan dan
keunikannya sebagai salah satu tanda akan kekuasaan-Nya. Akan tetapi sedikit
sekali diantara mereka yang memikirkan dan merenunginya, oleh karena itu muncul
keinginan untuk mulai mencoba menyusun sebuah tafsir yang selalu
mengintegrasikan ayat-ayat al-Qur'an dengan keajaiban-kejaiban alam semesta.[8]
Lebih lanjut Thanthawi menjelaskan akan pentingnya
menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an secara ilmiah, karena sesungguhnya al-Qur'an
serat dengan informasi-informasi simbolik yang harus selalu dikaji untuk
mendapatkan berjuta mutiara hikmah yang dikandungnya. Beliau sangat antusias
dalam memberikan motivasi kepada umat Islam agar mereka mampu menjadi umat yang
terbaik dengan menguasai ilmu alam, medis, pertambangan, eksak, arsitektur,
astronomi serta ilmu pengetahuan yang lain. Betapa tidak, menurut beliau di
dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat sains lebih dari tujuh ratus lima puluh ayat
yang mampu membantu umat islam menemukan solusi untuk bisa keluar dari
ke-jumud-an yang dialami selama ini.[9]Di dalam tafsirnya beliau banyak sekali
menjelaskan tentang keajaiban-keajaiban sains dan makhluk hidup seperti
manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, langit, bumi dan sebagainya, dengan harapan
bisa membantu menumbuhkan kecintaan untuk terus menggali makna yang dikandung
oleh al-Qur'an.[10]
Thanthawi termasyhur karena kegigihannya dalam
gerakan pembaruan membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap penguasaan ilmu
pengetahuan. Karena itu, tidak berlebihan jika sejumlah kalangan menjulukinya
"mufasir ilmu" lantaran ilmu yang dikuasainya sangat luas dan
mendalam.[11]
Dalam muqaddimah kitab tafsirnya, dijelaskan bahwa
sejak dulu dia sering menyaksikan kejaiban alam, mengagumi dan merindukan
keindahannya baik yang ada di langit maupun yang yang menyambar dan listrik
yang membakar serta keajaiban-keajaiban lainnya.[12]
Selanjutnya ia menyatakan:"Ketika aku berpikir
tentang keadaan umat islam dan pendidikan-pendidikan agama, maka aku menuliskan
surat kepada para pemikir (al-'Uqala') dan sebagian ulama-ulama besar (Ajillah
al-Ulama') tantang makna-makna alam yang sering ditinggalkan dan tentang jalan
keluarnya yangmasih sering dilakukan dan dilupakan. Sedangkan sedikit sekali
dari mereka yang mau berpikir tentang kejadian alam dan keanehan-keanehan yang
melingkupinya". [13]
Itulah yang mendorong Thanthawi menyusun pembahasan
yang dapat mengkompromikan pemikiran Islam dengan kemajuan Studi Ilmu Alam.
C. Bentuk,
Metode dan Corak Penafsiran Al-Jawahir
Untuk
mengetahui bentuk, metode dan corak sebuah kirab tafsir, perlu diadakan
perbandingan kitab aslinya dengan kitab tafsir yang lain. Kali ini akan
diperbandingkan antara kitab Tafsir Jawahir, Tafsir al-Maraghi dan Tafsir
al-Wadhih.
1. Bentuk
Dalam
berbagai macam literatur, istilah bentuk penafsiran tidak dijumpai dalam
kitab-kitab 'ulum al-Qur'an (ilmu tafsir) pada abad-abad yang silam bahkan
sampai periode modern sekalipun tidak ada ulama tafsir yang menggunakannya.
Oleh karenanya tidak aneh bila dalam kitab-kitab klasik semisal al-Burhan fi
'Ulum al-Qur'an karangan al-Zarkasyi, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an karya
al-Suyuthi, dan lain-lain tidak dijumpai term tersebut.
Namun
dalam buku Wawasan Ilmu Tafsir yang ditulis oleh Nashruddin Baidan, dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa penafsiran yang dilakukan olah para mufasir
sejak pada masa Nabi sampai dewasa ini dapat dikelompokkan menjadi dua macam,
yakni tafsir bi al-ma'tsur dan bi al-ra'y.[14]
Berangkat
dari sini, tafsir Jawahir ini jika dilihat dengan apa yang telah disimpulkan
oleh Nasruddin Baidan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tafsir ini
menggunakan bentuk bi al-ra'yi. Karena dalam menafsirkan suatu ayat, Thanthawi
murni menggunakan pemikirannya sesuai dengan kemampuan dia selain ahli sebagai
seorang mufassir, juga ahli dalam bidang fisika dan biologi. Hal ini dapat
terlihat dalam contoh (terlampir), ketika dia menafsirkan penciptaan manusia
dari 'alaq (علق), beliau murni menggunakan kemampuan dia sebagai seorang yang
ahli biologi di samping sebagai seorang mufasir, tanpa menyebutkan suatu
riwayat yang berhubungan dengan 'alaq (علق).[15]
Ini
berbeda dengan penafsiran dengan bentuk bi al-Ma'tsur. Tafsir yang menggunakan
bentuk bi al-ma'tsur sangat tergantung dengan riwayat. Tafsir ini akan tetap
eksis selama masih ada riwayat. Kebalikannya jika riwayat habis, tafsir bi
al-ma'tsur juga akan hilang.
2. Metode
Munculnya
beragam kitab tafsir tidak dapat dipisahkan dari perbedaan metode penafsiran
al-Qur'an. Metode di sini diartikan dengan cara kerja yang dilakukan secara
sistematis. Jadi metode tafsir adalah cara (langkah dan prosedur) yang
digunakan oleh mufasir untuk memahami al-Qur'an.
Jika
diamati secara cermat metode yang digunakan oleh Thanthawi dalam tafsir ini adalah
metode tahlili (analitis). Metode ini berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat
al-Qur'an dari seluruh aspeknya.
Dengan
metode ini, mufasir menjelaskan al-Qur'an secara luas dan rinci. Segala hal
yang bertautan dengan al-Qur'an bisa dimasukkan dalam tafsir. Kata kunci
penggunaan metode ini tidak terletak pada banyak tidaknya materi penafsiran,
akan tetapi pada penafsiran yang runtut dan rinci. Ruang lingkup yang luas
memungkinkan tafsir dengan metode ini memuat berbagai ide.
Demikian
halnya dengan metode yang dipakai dalam tafsir ini. Thanthawi dengan
analisisnya sebagai seorang mufasir sekaligus seorang yang menguasai ilmu-ilmu
alam memberikan penafsiran secara runtut dan terperinci dengan ruang lingkup
yang amat luas. Dalam contoh (terlampir) sudah terlihat dengan jelas, bagaimana
dia ketika berusaha menjelaskan apa yang dinamakan 'alaq (علق). Dapat kita lihat
betapa luasnya penjabaran yang dia berikan mengenai 'alaq (علق). Bahkan sampai
mencakup tiga halaman sendiri, ini jelas berbeda dengan apa yang ada dalam
tafsir al-Maraghi maupun dalam tafsir al-Wadhih.
Meskipun
keduanya menggunakan metode yang sama dengan metode yang dipakai dalam tafsir
Jawahir. Namun uraiannya tentang 'alaq (علق) tidak seluas dengan apa yang ada dalam
tafsir. Dapat dibayangkan jika dalam tafsir Jawahir untuk menguraikan tentang
'alaq saja membutuhkan tiga halaman, sedangkan dalam tafsir al-Maraghi maupun
al-Wadhih hanya berkisar dua sampai tiga baris saja sungguh perbedaan yang amat
mencolok. Karena seperti telah dijelaskan di atas meskipun sama-sama
menggunakan metode tahlili, tetapi kata kuncinya bukan terletak pada banyaknya
materi penafsiran, akan tetapi pada penafsiran yang rinci dan runtut.
3. Corak
Corak
penafsiran ialah suatu warna, arah, atau kecenderungan pemikiran atau ide
tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir. Jadi kata kuncinya adalah
terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran ide tersebut. Tetapi bila
ada satu yang dominan maka disebut corak khusus.
Sedangkan
corak yang digunakan dalam tafsir ini adalah corak tafsir bil 'ilmi. Meskipun
para ulama berbeda pendapat tentang tafsir bil 'ilmi, ada yang menolaknya
dengan alasan bahwa teori-teori ilmiah jelas bersifat nisbi (relatif) dan tidak
pernah final. Tetap ada yang mendukungnya dengan alasan bahwa al-Qur'an justru menggalakkan
penafsiran ilmiah.
Tetapi
jika kita lihat dalam contoh, jika kita bandingkan dengan tasir lainnya, ketika
ketiga tafsir sama-sama berbicara tentang 'alaq (علق) terlihat dengan jelas bahwa tafsir
Jawahir ini memang menggunakan corak tafsir bil 'ilmi.
Sebagai
contoh ketika ketiga tafsir berbicara tentang 'alaq (علق). Kedua tafsir (al-Maraghi dan al-Wadhih)
seperti tafsir-tafsir lainnya mengartikan makna 'alaq (علق) sebagai darah
yang membeku atau sepotong darah yang beku (دم جامد/قطعة
دم جامدة) yang tidak mempunyai
panca indra, tidak bergerak dan tidak mempunyai rambut.
Berbeda
halnya ketika Thanthawi menafsirkan tentang 'alaq (علق), dia memulai dengan perbandingan antara
telur yang ada pada binatang aves (sejenis burung) dengan sel telur yang ada
pada manusia. Menurutnya apa yang terjadi pada binatang tersebut sama dengan
apa yang ada pada manusia. Telur pada hewan jenis burung mempunyai apa yang
dinamakan putih dan kuning telur. Dan apa yang dinamakan jurtsumah (جرثومة), di
mana jurtsumah ini yang menjadi dasar pembentukan manusia.
Dari
contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika Thanthawi menafsirkan kata
tersebut dia menggunakan ilmu biologi, berbeda jauh dengan yang dipakai oleh
Maraghi maupun Hijazi. Hal ini membuktikan bahwa memang corak yang dipakai oleh
Thanthawi adalah corak bil 'ilmi, menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan
pendekatan ilmiah, atau menggali kandungannya berdasarkan teori-teori ilmu
pengetahuan yang ada.
Namun
yang perlu diingat adalah tidak ada ayat al-Qur'an yang bersifat ilmiah, karena
al-Qur’an adalah wahyu dan kebenarannya berdifat mutlak. Sedangkan ilmu
pengetahuan yang bersifat ilmiah kebenarannya bersifat relatif. Al-Qur'an
bukanlah kitab ilmu melainkan kitab hudan bagi manusia. Tetapi petunjuk
al-Qur'an ada yang berbentuk lafdzi, isyarat, qiasi dan yang tersurat berkenaan
dengan ilmu pengetahuan guna mendukung fungsinya sebagai huda.
II.
Tafsir Adabi Al-Ijtima’i
A.
Pengertian Corak Tafsir Adabi Al-Ijtima’i
Pengertian
secara makna kebahasaan, istilah corak Al-adabi
wa al-ijtima’i itu tersusun dari dua kata, yaitu al-adabi dan al-ijtima’i,
kata al-adabi merupakan bentuk kata yang diambil dari fi’il madhi aduba,
yang mempunyai arti sopan santun, tata krama dan sastra, sedangkan kata al-ijtima’i
yaitu mempunyai makna banyak berinteraksi dengan masyarakat atau bisa
diterjemahkan hubungan kesosialan, namun secara etimologisnya tafsir al-adaby
al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada sastra budaya dan
kemasyarakatan.[16]
Jadi Corak penafsiran al-Adabi al-Ijtima’ adalah
corak penafsiran yang berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan. Dalam
artian bahwa suatu corak penafsiran yang bertujuan menjelasankan ayat al-Qur’an
pada segi-segi ketelitian leksikal atau redaksinya. Kemudian menyusun kandungan
ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama
turunnya ayat kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum
alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia serta dapat memberikan
pencerahan dan rangsangan intelektual.
Corak Adabi Ijtima’i sebagai corak penafsiran yang
menekankan penjelasan tentang aspek-aspek yang terkait dengan ketinggian gaya
bahasa al-Qur’an (balaghah) yang menjadi dasar kemukjizatannya. Atas dasar itu
mufassir menerangkan makna-makna ayat-ayat al-Qur’an, menampilkan sunnatullah
yang tertuang di alam raya dan sistem-sistem sosial, sehingga ia dapat
memberikan jalan keluar bagi persoalan kaum muslimin secara khusus, dan
persoalan ummat manusia secara universal sesuai dengan petunjuk yang diberikan
oleh al-Qur’an.[17]
B. Latar Belakang Munculnya Corak Penafsiran Adabi
Al-Ijtima’i
Mengenai latar belakang munculnya corak tafsir adabi
ijtimai pastilah tidak lepas dari tokoh pembaharu di Mesir, yakni
Jamaluddin al-Afgani. Hal ini wajar
kiranya mengingat bahwa beliau adalah tokoh Islam yang dianggap pertama kali
bersikap tegas terhadap tantangan modernitas, beliau menyatakan kembali kepada
tradisi Islam dengan cara yang sesuai untuk menjawab berbagai problem penting
yang muncul akibat “Barat” dengan klaim modernitasnya yang semakin mengusik
“Timur Tengah” dengan tradisi Islam tradisionalnya. Tema besar yang
diperjuangkan Jamaluddin al-Afgani adalah bahwa Islam merupakan kekuatan yang
sangat penting untuk menangkal “Barat”. Pemikiran lain yang dimunculkan oleh
Jamaluddin al-Afgani adalah tentang adanya persamaan antara pria dan wanita.
Wanita dan pria sama dalam pandangannya, keduanya mempunyai akal untuk
berpikir.
Semangat pembaharuan jamaluddin al-Afgani yang berangkat
dari respon sosial politik itu diikuti oleh para muridnya. Muhammad Abduh
adalah salah satu murid al-Afgani yang sejalan dengan pemikirannya dalam
mengadakan reformasi dengan cara menyadarkan umat akan pentingnya mengusir
penjajah, serta mengejar ketertinggalan-ketertinggalan dunia Islam terhadap
dunia barat. Gerakan nyata dari reformasi keagamaan dan politikal-Afgani dan
Abduh adalah majalah al-Urwah al-Wusqa yang mampu memberikan kesadaran
kolektif terhadap negara-negara Arab dan Islam lainnya untuk bangkit menuju
kemajuan dalam arti luas.
Banyak ulama dan ilmuan Islam yang terpanggil dan
mengikuti jejak mereka, termasuk Rasyid Ridha yang telah menyaksikan penderitaan
umat dan makin merosotnya keadaan sosial keagamaan. Sehingga dari kondisi
sosial politik Timur Tengah tersebut, dirumuskanlah Tafsir al-Manar oleh Muhammad Abduh beserta Rasyid Ridha.
Disebutkan oleh Harun Nasution dalam bukunya Pembaharuan dalam Islam mengutip
pendapat Muhammad Abduh dalam bukunya al-Islam Din al-‘Ilm wa al-Madaniah,
menyebutkan bahwa “kondisi sebagian umat Islam pada saat dituliskannya tafsir
al-Manar itu adalah kondisi jumud, statis dan tidak berkembang karena tradisi
Islam saat itu diwarnai oleh animisme dan masyarakatnya enggan memakai akal”.
Kondisi masyarakat yang seperti itu diperparah oleh sistem pemerintahan Mesir
yang seolah sengaja membiarkan rakyat menjadi bodoh.[18]
Karena itulah usaha pertama Abduh dalam gerak pembaharunya
adalah memperbaiki sistem pendidikan sebagai jantung umat Islam. Setelah
munculnya putra-putri Mesir yang terdidik dan terpelajar, baik dari pendidikan
lokal maupun pendidikan Barat, maka mulailah ada gelombang-gelombang reformasi
dan pembaharuan sebagaimana yang diharapkan oleh Abduh.
Dalam kondisi politik dan masyarakat yang seperti itu,
sebuah respon politik yang belum pernah terjadi pada zaman mufassir sebelumnya
lahir. Majalah al-Manar yang nantinya menjadi tafsir al-Manar ditulis dengan
corak baru dalam tafsir sebagai usaha menjawab tantangan zamannya. Corak tafsir
yang dikembangkan oleh Abduh dan Rasyid Ridha itu kemudian dikenal corak adabi
ijtima’i.
Ada juga yang melatarbelakangi munculnya tafsir Adabi
Ijtima’i sebagai akibat dari ketidakpuasan para pengkaji tafsir dan penafsiran
yang selama ini berlaku. Penafsiran al-Qur’an yang ada menurut mereka hanya
didominasi oleh tafsir-tafsir yang berorientasi pada naḫwu (gramatikal),
bahasa dan perbedaan-perbedaan mazhab, baik dalan bidang ilmu kalam, fikih dan
lain sebagainya. Jarang sekali dijumpai di al-Qur’an yang secara khusus
menyentuh inti al-Qur’an, sasaran dan tujuan akhirnya sebagai hidayah dan petunjuk.[19][20]
C. Karaterstik
Tafsir Adabi Ijtima’i
Adapun ciri dari corak adabi ijtima’i adalah penonjolan
ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qur’an, penguraian makna yang dikandung dalam
ayat dengan redaksi yang menarik hati, dan adanya upaya untuk menghubungkan
ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat.[21]Dalam
artian lain bahwa memahami ayat dari segi balaghahnya untuk kemudian difahami
sesuai dengan makna yang dimaksud di dalamnya dengan menggunakan bahasa yang
mudah difahami dan indah. Sehingga al-Qur’an dengan mudah difahami oleh umat
Islam dari kalanganmanapun (bukan hanya ulama) untuk dijadikan sebagai huda
li al-nas, sebagaimana yang merupakan fungsi utama dari al-Qur’an.
D. Kelebihan dan Kekurangan
Sebagaimana corak-corak tafsir yang ada, corak tafsir
adabi ijtima’i juga mempunyai kelebihandan kekurangan tersendiri. Adapun
kelebihan dan kekurangan corak tafsir adabi ijtima’i bisa dirinci bahwa
kelebihannya adalah dalam menafsirkan
sebuah ayat, mufassir bukan hanya terfokus pada aspek balaghah yang ada, namun
juga mengkaitkan makna yang terkandung dengan keadaan sosial yang ada, juga
pemilihan bahasa yang sesuai dengan kondisi perkembangan umat modern yakni
lugas dan tidak berbelit, sehingga mudah untuk dipahami oleh siapa saja (bukan
hanya ulama saja). Dalam tafsirannya, corak tafsir adabi ijtimai ini menganalogikan
dengan sesuatu berkembang di zaman-nya seperti pemahaman tentang ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga maknanya dapat dengan mudah ditangkap oleh
pembaca/pendengarnya. Sedangkan sisi
kekurangannya yaitu terkadang kesesuaian itu tidak sesuai dengan daerah kondisi
mufassir tinggal ketika itu (bisa
dikatakan bersifat lokal). Sehingga bisa dipastikan bahwa penafsiran yang
bercorak adabi ijtimai belum tentu sesuai dengan keadaan yang ada pada
masyarakat lain.
E.
Contoh
Penafsiran dengan Corak Adabi Ijtima’i
Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa tafsir-tafsir
sebelumnya menitik beratkan hanya pada pemaknaan terhadap makna linguistik yang
terdapat pada ayat, namun penafsiran dalam corak tafsir adabi ijtimai
bukan lagi hanya mefokuskan pada pemaknaan linguistik, tetapi juga melihat
keterkaitan makna ayat dengan aspek-aspek atau persoalan yang muncul pada zaman
sekarang, sehingga al-Qur’an bukan lagi dianggap sebagai kitab suci yang
memiliki sastra tinggi, namun al-Qur’an dapat berfungsisebagaimana fungsi
utamanya bagi masyarakat (umat Islam), yakni sebagai petunjuk dalam hidup. Hal
inilah yang menjadikan titik perbedaan antara corak tafsir adabi ijtimai
dengan yang lainnya.
Sebagaimana dapat dilihat dalam contoh penafsiran juz
Amma oleh Muhammad Abduh dalam QS. Al-Fiil: 3-4.
“Dan Dia kirimkan kepada mereka, burung-burung yang
berbondong-bondong”. Kata أبابيل ialah kawanan burung atau kuda dan sebagainya yang
masing-masing kelompok mengikuti kelompok lainnya. Sedangkan yang dimaksud
dengan طيراialah hewan yang terbang di langit, baik yang bertubuh
kecil ataupun besar; tampak oleh penglihatan mata ataupun tidak. “yang
melempari mereka dengan batu-batu dari tanah yang membatu”. Kata سجيلberasal
dari bahasa Persia yang bercampur dengan bahasa Arab, yang berarti tanah yang
membatu.[22]
Di dalam tafsir tersebut, Abduh menjelaskan bahwa lafadh طيراtersebut
merupakan dari jenis nyamuk atau lalat yang membawa benih penyakit tertentu.
Dan bahwa lafadh بحجارة
itu berasal dari tanah kering yang bercampur dengan racun, dibawa oleh angin
lalu menempel di kaki-kaki binatang tersebut. Dan apabila tanah bercampur racun
itu menyentuh tubuh seseorang, racun itu masuk ke dalamnya melalui pori-pori,
dan menimbulkan bisul-bisul yang pada akhirnya menyebabkan rusaknya tubuh serta
berjatuhannya daging dari tubuh itu.[23]
Dengan begitu, dapat dilihat bahwa penafsiran Abduh ini,
lebih bersifat sosial masyarakat modern. Dalam artian bahwa beliau lebih
menonjolkan ketelitian redaksi ayat-ayat tersebut, kemudian menguraikan makna
yang dikandung dalam ayat tersebut dengan redaksi yang menarik hati, dan adanya
upaya untuk menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum alam yang
berlaku dalam masyarakat.
Berbeda halnya dengan corak penafsiran lain yang
dilakukan oleh beberapa ulama era klasik ataupun pertengahan. Sebut saja
misalnya penafsiran dalam Tafsir al-Qurthubi dengan corak fiqhinya, yang hanya
menafsirinya dengan memaknai ayat secara linguistik saja. Yakni hanya membahas
mengenai segi kebalaghannnya saja dengan mengkaitkannya pada riwayat-riwayat
dari beberapa sahabat. Tanpa memaknainya dengan mengkaitkan kehidupan sosial
atau pengetahuan yang ada ketika itu dalam masyarakat. Beliau lebih
mencantumkan mengenai perbedaan dari beberapa sahabat dengan pengertian bahwa
lafadh طيرا
berarti burung yang lebih mirip dengan kelelawar yang bewarna merah dan hitam,
sebagaimana yang diriwayatkan Aisyah. Disebutkan juga bahwa lafadh tersebut
bermakna burung khudlur(riwayat Said bin Jubair), dan sebagainya. Sedangkan
mengenai lafadh بحجارة
dalam tafsir tersebut ditafsiri dengan batu yang terbuat dari tanah liat, yang
dibakar di atas api neraka, dan pada batu-batu itu tertuliskan nama setiap
orang yang berhak atasnya.[24]
Maka dapat disimpulkan dari contoh tersebut bahwa dalam
corak adabi ijtima’i mempunyai karakteristik atau ciri tersendiri dalam
penafsirannya.Yakni bahwa corak tafsir tersebut berkaitan dengan kehidupan
sosial dan perkembangan pengetahuan yang berkembang pada masa modern.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Thanthawi dikenal sebagai penulis yang produktif.
Tidak kurang dari 30 buku hasil buah pemikirannya sudah dihasilkan dan mewarnai
khazanah ilmu pengetahuan dunia. Di antara beberapakarya yang fenomenal adalah
Al-Jawahir fii Tasir al-Qur’an, ini adalah buah karya tafsir ilmiyah pertama
yang pernah diselesaikan secara sempurna. Tafsir ini terdiri dari dua puluh
lima juz.
Thanthawi termasyhur karena kegigihannya
dalam gerakan pembaruan membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap penguasaan
ilmu pengetahuan. Karena itu, tidak berlebihan jika sejumlah kalangan
menjulukinya "mufasir ilmu" lantaran ilmu yang dikuasainya sangat
luas dan mendalam
Dalam muqaddimah kitab tafsirnya, dijelaskan bahwa sejak dulu ia
sering menyaksikan kejaiban alam, mengagumi dan merindukan keindahannya baik
yang ada di langit maupun yang ada di bumi, revolusi matahari, perjalanan
bulan, bintang yang bersinar, awan yang berarak, kilat yang menyambar dan
listrik yang membakar serta keajaiban-keajaiban lainnya. Selanjutnya ia menyatakan:"Ketika
aku berpikir tentang keadaan umat islam dan pendidikan-pendidikan agama, maka
aku menuliskan surat kepada para pemikir (al-'Uqala') dan sebagian ulama-ulama
besar (Ajillah al-Ulama') tantang makna-makna alam yang sering ditinggalkan dan
tentang jalan keluarnya yang masih sering dilakukan dan dilupakan. Sedangkan
sedikit sekali dari mereka yang mau berpikir tentang kejadian alam dan
keanehan-keanehan yang melingkupinya". Itulah yang mendorong Thanthawi
menyusun pembahasan-pembahasan yang dapat mengkompromikan pemikiran Islam
dengan kemajuan Studi Ilmu Alam.
Tafsir ilmy ialah penafsiran al-Qur’an yang menggunakan pendekatan
istilah-istilah (term-term) ilmiah dalam rangka mengungkapkan al-Qur’an. tafsir
ini berusaha keras untuk melahirkan berbagai cabang ilmu yang berbeda dan
melibatkan pemikiran-pemikiran filsafat.
Tafsir ini menggunakan bentuk bi al-ra'yi. Karena dalam menafsirkan
suatu ayat, Thanthawi murni menggunakan pemikirannya sesuai dengan kemampuan
dia selain ahli sebagai seorang mufassir, juga ahli dalam bidang fisika dan
biologi. Hal ini dapat terlihat dalam contoh (terlampir), ketika dia
menafsirkan penciptaan manusia dari 'alaq (علق), beliau murni menggunakan kemampuan dia
sebagai seorang yang ahli biologi di samping sebagai seorang mufasir, tanpa
menyebutkan suatu riwayat yang berhubungan dengan 'alaq (علق).
Jika diamati secara cermat metode yang digunakan oleh Thanthawi
dalam tafsir ini adalah metode tahlili (analitis). Corak yang digunakan dalam
tafsir ini adalah corak tafsir bil 'ilmi.
Pengertian secara makna kebahasaan, istilah
corak Al-adabi wa al-ijtima’i
itutersusun dari dua kata, yaitu al-adabi dan al-ijtima’i, kata al-adaby
merupakan bentuk kata yangdiambil dari fi’il madhi aduba, yang mempunyai arti
sopan santun, tata krama dan sastra, sedangkan kata al-ijtima’i yaitu mempunyai
makna banyak berinteraksi dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan hubungan
kesosialan, namun secara etimologisnya tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah
tafsir yang berorientasi pada sastra budaya dan kemasyarakatan.
Sehingga dapat diambil kesimpulan bahawa Corak
penafsiran al-Adabi al-Ijtima’ adalah corak penafsiran yang berorientasi pada
sastra budaya kemasyarakatan. Dalam artian bahwa suatu corak penafsiran yang
menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian leksikal atau
redaksinya. Kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang
indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya ayat kemudian merangkaikan
pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat
dan pembangunan dunia serta dapat memberikan pencerahan dan rangsangan
intelektual.
Adapun ciri dari corak adabi ijtimai adalah
penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qur’an, penguraian makna yang
dikandung dalam ayat dengan redaksi yang menarik hati, dan adanya upaya untuk
menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam
masyarakat. dengan adanya corak tafsir tersebut, pastilah terdapat tokoh-tokoh
yang menggunakan corak penafsiran adabi ijtimai dalam penafsirannya, maka dapat
diketahui diantaranya adalah Muhammad abduh dalam beberapa kitab tafsirnya,
salah satunya adalah Tafsir Juz ‘Amma, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam
tafsir al-Manar, Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya Tafsir al-Maraghi,
dan sebagainya
Kelebihan dari corak tafsir ini adalah dalam menafsirkan sebuah ayat, mufassir bukan
hanya terfokus pada aspek balaghah yang ada, namun juga mengkaitkan makna yang
terkandung dengan keadaan sosial yang ada, juga pemilihan bahasa yang sesuai dengan
kondisi perkembangan umat modern yakni lugas dan tidak berbelit, sehingga mudah
untuk dipahami oleh siapa saja (bukan hanya ulama saja). Dalam tafsirannya,
corak tafsir adabi ijtimai ini menganalogikan dengan sesuatu berkembang di
zaman-nya seperti pemahaman tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga
maknanya dapat dengan mudah ditangkap oleh pembaca/pendengarnya. Sedangkan sisi kekurangannya yaitu terkadang kesesuaian
itu tidak sesuai dengan daerah kondisi mufassir tinggal ketika itu (bisa dikatakan bersifat lokal).
Daftar pustaka
Abduh, M. (1999). Tafsir
Juz Amma' tej. Muhammad Bagir. Bandung: Mizan.
al-Bayuni, M. I. (1970). Dirasat fi Tafsir al-Mudhu'iy. kairo: Dar
al-Taufiqiyyah Li al-Thaba'ah.
Al-Maraghi, A. M.Tafsir al-Maraghi Jilid
10. Beriut, Dar al-Fikr, t.th. Diambil kembali dari
http://nazil06.blogspot.com/2010/01/tafsir-jawahir.html. (diakses pada tanggal 14
Oktober 2012).
al-Munawwar, S. A. (2002). Al-Qur'an
Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki . jakarta: Ciputat Press.
Al-Qurthubi, I. (2009). Tafsir Al-Qurthubi. Tej, Dudi Rosyadi dan
Faturrahman. Jakarta: Pustaka Azzam.
Baidan, N. (2005). Wawasan Baru Ilmu Tafsir, . Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Hijazi, M. M. (1993). Tafsir
al-Wadhih, jilid 3. Beirut: Dar al-Jil, .
Husain al-Dzahabi, M. (n.d.). al-Tafsir wa al-Mufassirun,.
Ichwan., M. N. (2004). Tafsir 'Ilmy Memahami Al-Qur'an Melalui
Pendekatan Sains Modern. Yogyakarta : Menara Kudus,.
Juhari, T. (n.d.). al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an al-Karim, (dalam
software Maktabah Syamilah).
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, M. (1994). Studi Kritis Tafsir
Al-Manar. Bandung: Pustaka Hidayah.
Muhammad Husein Adz Dzahabi. at
Tafsir wa al Mufassirun, (Maktabah Mus'ab bin Umair al Islamiyah). t.th.
Muhammad Karman, S. (2002). Ulumul Qur'an. Bandung: Pustaka
Islamika.
Nawawi, R. S. (2002). Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian Masalah
Akidah dan Ibadat. Jakarta: Paramadina.
Shihab, M. Q. (2007). Membumikan Al-Qur'an. Bandung: Pustaka
Islamika.
Suma., M. A. (2001). Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur'an 2. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Tim Forum Karya Imiah RADEN (Refleksi Anak Muda Pesantren). (2013). Al-QUR'AN
KITA. Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah. Lirboyo-Kediri: Lirboyo
Press.
[1] Lihat M. Quraish
Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Jakarta: Mizan, 2007), hlm. 101.
[2]Muhammad Nor Ichwan. Tafsir ‘Ilmiy Memahami
Al-Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern. (Yogyakarta: Menara Kudus, 2004)
hlm 127
[3]Muhammad Amin
Suma. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 2. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) hlm.
135
[4]M. Husain
al-Zahabiy. Opcit. hlm. 474
[5]Sayyid Agil Husin
al-Munawwar. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta:
Ciputat Press, 2002) hlm.72
[6]Mursi Ibrahim
al-Bayuni. Dirasat fi Tafsir al-Mudhu’iy (Kairo: Dar al-Taufiqiyyah Li
al-Thaba’ah, 1970) hlm.20
[7]Quraisy
Shihab, dkk. Sejarah dan Ulum Al-Qur’an.(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999)
hlm. 183
[8]Thanthawi
Jauhari, Jawahir fii Tafsir al-Qur'an al-Karim, (Beirut: dar el-Fikr,
t.th), vol. 1, Pendahuluan, hlm. 2
[11]M.
Husain al-Zahabiy. Opcit. hlm. 452
[12]Jauhari,
Thanthawi, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an al-Karim, hlm. (dalam software Maktabah Syamilah )
[14]Baidan,
Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.
hlm.
[16]Supiana M. Karman, Ulumul Qur’an, (Bandung:
Pustaka Islamika, 2002), hlm. 316-317.
[17]Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung:
PT. Mizan Pustaka, 2007), hlm. 108.
[18]Rasyid Ridha, Kitab Tafsir al-Manar, (Yogyakarta:
Ttp, 2011,) hlm. 31-32.
[19]Muhammah Husain al-Dzahabî, al-Tafsir wa al-Mufasirûn,
2: hlm. 407.
[20] Tim Forum Karya Ilmiyah RADEN (Refleksi Anak Muda
Pesantren), Al-QUR’AN KITA. Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah,
(Lirboyo-Kediri: Lirboyo Press, 2011). Hal: 250.
[21]Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad
Abduh Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm.
111.
[22]Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma, tej. Muhammad Bagir, (Bandung: Mizan, 1999),
hlm. 320.
[23] Ibid,. 322.
[24] Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, tej.Dudi
Rosyadi dan Faturrahman (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 755-760.
Post a Comment for "MAKALAH TAFSIR AL-'ILMI DAN AL-IJTIMA’I"