Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

MAKALAH PEREKAMAN DAN PENYUSUNAN AL-QUR’AN

MAKALAH
PEREKAMAN DAN PENYUSUNAN AL-QUR’AN
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Tarikh al-Qur’an
DosenPengampu: wahyuni



Disusun oleh :
NAMA                           : AKHMAD MUDASIR
PRODI                            : IQT III
NIM                               : 1631045
  


PRODI ILMU QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLOTUL ULAMA
TAHUN AKADEMIK 2017
BAB I
A.      Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Muslim yang menjadi sumber ajaran islam yang pertama dan utama. Al-Qur’an yang yang ada saat ini kita gunakan tidak terle[as dari adanya sejarah yang membuatnya tersusun menjadi sekarang ini. Yaitu oleh para sahabat yang sanagat berjasa dalam penulisan al-Qur’an itu sendiri. Bermula dari masa Rasulullah SAW, kemudian masa Abu Bakar Ash Siddiq, dan masa Utsman bin Affan. Terdapat dua hal yang membuat al-Qur’an sangat terjaga keaslianya dari keutuhan, yang pertama yaitu hafalan yang tersimpan rapi oleh para sahabat. Kedua, tersusunnya al-Qur’an dalam tulisan-tulisan yang belum teratur. Ayat-ayat dan surah-surahnya masih tertulis dalam lembaran-lembaran yang terdiri dari kulit, pelepah korma, batu, kayu, dan tulang. Yang pada akhirnya al-Qur’an dibukukan seperti yang ada pada sekarang ini kita gunakan sebagai pedoman dalam kehidupan.
B.      Rumusan Masalah
1.      Penulisan al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW.
2.      Penulisan al-Qur’an pada masa Abu Bakar Ash Siddiq
3.      Penulisan al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan
4.      Penyusunan ayat-ayat al-Qur’an
5.      Penyusunan surah-surah al-Qur’an
C.      Kesimpulan









A.     Penulisan al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW.
1.      Selama Periode Mekkah
Pada dasarnya ayat al-Qur’an tertulis sejak awal perkembangan Islam, meski masyarkat yang baru lahir itu masih menderita berbagai permasalahan yang terjadi pada masa itu. Berikut cerita Umar bin al-Khaththab sejak awal masuk Islam:
“Suatu hari Umar keluar rumah menenteng pedang berhunus hendak melibas leher Nabi Muhammad. Beberapa sahabat sedang berkumpul dalam sebuah rumah di bukit Shafah. Jumlah mereka sekitar 40 termasuk wanita. Di antranya adalah paman Nabi Muhammad, Hamzah, Abu Bakr, Ali dan juga yang lainnya yang tidak pergi berhijrah ke Ethiopia. Nu’am tak sengaja berpapasan dan bertanya ke mana Umar hendak pergi. “Saya hendak menghabisi Muhammad, manusia yang telah membuat orang Quraisy khianat terhadap agama nenek moyang dan mereka tercabik-cabik serata ia ( Muhammad ) mencaci maki tata kehidupan, agama, dan tuhan-tuhan kami. Sekarang akan aku libas dia. “Engkau hanya akan menipu diri sendiri Umar, katanya.” “Jiak engkau menganggap bahwa Bani Abdu Manaf mengizinkanmu menapak di bumi ini hendak memutus nyawa Muhammad, lebih baik pulang temui keluarga kamu dan selesaikan permasalahan mereka.” Umar pulang sambil bertanya-tanya apa yang telah menimpa keluarganya. Nu’am menjawab,”Saudara ipar, keponakan yang bernama Said serta adik perempuanmu telah mengikuti agama baru yang dibawa Nabi Muhammad. Oleh karena itu, akan lebih baik jika kamu kembali menemui mereka.” Umar cepat-cepat memburu iparnya di rumah, tempat Khabba sedang membaca surah Thaahaa dan sepotong tulisan al-Qur’an. Saat mereka dengar suara Umar, Khabbab lari masuk ke kamar kecil, sedang Fatimah mengambil kertas kulit yang bertulisakn al-Qur’an dan diletakan di bawah pahanya...”[1]
Masalah utama dalam cerita ini berkaitan dengan kulit kertas bertulisakn al-Qur’an. menurut Ibnu Abbas ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah terekam dalam bentuk tulisan sejak dari sana,[2]seperti dapat dilihat dalam ucapan az-Zuhri. Adapaun orang lain sebagai penulis resmi adalah Khalid bin Said bin al-Ash di mana ia menjelaskan, “Saya orang pertama yang menulis ‘Bismillahirrahmanirrahhim’.[3]
2.      Selama Periode Madinah
Pada periode ini terdapat banya informasi mengenai para sahabat yang ditugaskan oleh Rasulullah SAW untuk menulis wahyu. Kurang lebih 65 sahabat, di antaranya: Abban bin Sa’id, Abu Umamah, Abu Ayyub al-Anshari, Abu Bakar ash Shiddiq, abu Huzhaifah, Abu Sufyan, Abu Salamah, Abu Abbas, Ubay bin Ka’ab, al-Arqam, Usaid bin al-Hudhair, Aus, dan lainnya.[4] 
3.      Pemeliharaan al-Qur’an di Msa Nabi SAW.
Pada dasarnya, ada dua jalur yang ditempu oleh Rasulullah SAW, dan para sahabat dalam upaya pemelihharaan al-Qur’an pada masa itu.
a.      Pemeliharaan al-Qur’an melalui Hafalan
Rasulullah SAW ialah hafizh(penghafal) al-Qur’an pertama dan sekaligus contoh terbaik bagi para sahabat khususnya ktika itu, dan bagi kaum muslimin umumnya sampai hari akhir. Rasulullah SAW adalah juga paling gemar menghafal dan sekaligus paling gemar membaca al-Qur’an. beliau selalu menghidupkam hafalan dan ajaran-ajaranya melaui ibadah salat disertai dengan perenungan dan penghayatan terhadap maknanya. Tidak mengherankan jika Rasulullah SAW digelari sebagai Syyid al-Huffazh dan Awwal al-Jumma’, sehingga beliu menjadi muara dan tempat kembalinya pasa sahabat kaum muslim secara keseluruhan dalam mengkaji dan mempelajari al-Qur’an.[5]
Seiring dengan semakain banyaknya para sahabat yang menghafal dan memahami  al-Qur’an, Rsulullah SAW mengutus sebagian dari mereka ke barbagai daerah, untuk membacakan dan mengajarkan al-Qur’an kepada para penduduk. Di antaranya Mash’ab bin ‘Umair dan Ibnu Ummi Maktum sebelum berhijrah ke Madianah . hal serupa juga dilakukan oleh Rasulullah SAW setelah berhijrah ke Madinah, dengan mengutus Mu’adz bin Jabal ke Makkah dengan maksud tujuan yang sama. Sehubungan dengan itu, ‘Ubaid bin Shamit(salah seorang sahabat Nabi) ketiak itu berkata:” Apapbila ada seseorang yang berhijrah(dari Mkkah ke Madinah) Rasulullah SAW memerintahkan salah seorang dari kami untuk mengajarkan al-Qur’an kepada mereka, sehingga selalu kedengaran hiruk-piruk suara membaca al-Qur’an di masjid Rasul. Karena beliau memerintahkan agar para sahabat mengecilkan suaranya supaya tidak kedengaran gaduh.[6]
Diantara para sahabat yang menghafal al-Qur’an pada masa hidupnya Rasulullah SAW dari golongan Muhajirin ialah; Khalifah yang empat ( Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib). Thalhah, Sa’ad, Abdullah bin Mas’ud, Khudzaifah, Salim Maula Abi Khudzaifah, Abu Hurairah, Abdullah bin ‘Umar, ‘Abullah bin ‘Abbas, ‘Amr bin al-‘Ash, anaknya yakni Abdullah, Mu’awiyah, ‘Abullah bin Zubair, Abdullah bin al-Sa’ib, A’isyah, Hafsah, Ummu Salamah dan Lain-lain. Sedangkan yang hafal al-Qur’an dari golongan Anshar pada masa Rasulluah SAW ialah: Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Zaed bin Tsabit, Abu Darda’, Majma’ bin Haritsah, Anas bin Malik, Abu Zaed dan lain-lain.[7]
Menurut satu riwayat, sebagian dari sahabat ada yang merampungkan hafalan al-Qur’an setelah wafatnya Rsulullah SAW. Namun demikian, bagaimana pun juga, yang jelas para sahabat yang menghafal al-Qur’an yang terbunuh sebagai syahid pada pertempuran Bi’ri Ma’unah di zaman Rasulullah dan pertmpuran di Yamamah ketika melawan Musailamah al-Kadzdzab di zaman kekhalifahan Abu Bakar saja kurang dari 140 orang. Adapaun faktor-faktor yang tamapaknya dapat dijadikan sebagai acuan dan sekaligus sebagai pendorong kaum muslimin unutk menghafal al-Qur’an, antara lain adalah:[8]
1.      Al-Qur’an berisi aturan hidup yang harus dijalankan. Tuntutan itu membuat kaum muslimin tergugah kesadaranya untuk memahami petunjuk mengenai halal haram, perintah larangan dan lain-lain, yang harus dipatuhi.
2.      Al-Qur’an adalah merupakan tanda keagungan Allah yang memiliki keindahan balaghah dan sekaligus mengandung i’jaz, yang menyebabkan orang-orang arab bertekuk lutut, karena susunan bahasanya yang melampaui tingkatan mereka.
3.      Para huffazh mempunyai kedudukan terhormat di kalangan kaum muslimin umumnya, seta di hadapan Allah SWT dan Rasulullah SAW
b.      Pemeliharaan al-Qur’an Melalui Tulisan
Ketika pada masa itu, para sahabat menggunakan segala media yang bisa digunakan untuk menulis, seperti daun, pelepah, dan lain-lain.
Menurut riwayat, alat-alat yang digunakan sebagai sarana untuk memelihara al-Qur’an, guna mengabadaikan kemurnian al-Qur’an, antara lain melalui:[9]
1.      Usub, yaitu; pelepah kurma yang sudah dipisahkan dari batang-batang daunnya.
2.      al-Likhaf, yaitu; lempengan-lempengan batu halus.
3.      al-al-Riqa’, yaitu; daun-daun atu kulit-kulit pohon tertentu.
4.      al-Aktaf, yaitu; tulang-tulang unta atu domba.
5.      al-Aqtab, yaitu; papan yang bisa diletakkan di atas punggung unta.
6.      Qitha’ al-Adim, yaitu; potongan-potongan kulit unta atau kulit kambing.
Untuk tugas penulisan ayat-ayat al-Qur’an, Rasulullah SAW mengangkat beberap orang juru tulis yang amat terpercaya, teliti dan sangat hait-hati dalam urusan itu. Yang paling tersohor di antara mereka ialah Abu Bkar, Umar, Utsman, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan lai-lain. Kecuali sahabat-sahabat besar itu, terdapat juga mereka yang menulis wahyu al-Qr’an sesuai dengan yang mereka dengar dan mereka hafal dari Rasulullah SAW sebagai dokumen pribadi, seperti mushaf Ibnu Mas’ud, mushaf Ali, mushaf A’isyah dan lain-lain.[10]
Para penulis itu, hanya bertugas menulis wahyu al-Qur’an dan meletakkan urutan-urutannya berdasarkan petunjuk dari Rasulullah SAW (taufiqi) sesuai perintah Allah melalui malaikat Jibril. Semua ayat-ayat al-Qur’an yang telah ditulis di hadapan Nabi pada benda yang bermacam-macam itu disimpan di rumah beliau dalam keadaaan yang masih berpencar-pencar ayatnya, belum dihimpun dalam satu mushaf. Oleh karena itu, al-Qur’an yang ada sekarang benar-benar terpelihara kemurnianya. Salah satu faktor yang menentukan dalam hubungan kemurnian dan terpeliharanya al-Qur’an secara aman ialah bahwa “teks” yang sekarang ditulis menurut tuntunan dan petunjuk Nabi SAW dan dilakukan di hadapan beliau sendiri. Praktek seperti dikemukakan di atas, mengacu pada salah satu riwayat yang diterima Zaid bin Tsabit, ia mengatakan: “ Kami menulis dan mengumpulkan al-Qur’an dibenda-benda material seperti daun-daun atau kulit-kulit pohon tertentu (al-Raqa’ )berdasarkan perintah dan petunjuk dari Rasulullah SAW, sesuai dengan perintah Allah SWT.” Atas dasar itulah, para ulama sepakat, bahwa susunan tertib al-Qur’an seperti yang sekarang adalah berdasarkan petunjuk Rasululah SAW dan sesuai dengan wahyu Allah SWT. Sebab, Jibril sendiri datang kepada Nabi SAW menyampaikan satu ayat atau beberapa ayat dengan mengatakan kepada beliau: “ Hai Muhammad, sungguh      Allah memerintahkan kepadamu agar meletakan ayat ini .... pada surah ini .... “. Begitu pula yang dilakukan Nabi SAW kepada para sahabat penulis wahyu dengan mengatakan:” Letakkanlah( tulisan )ayat ini ... di tempat ini...”.[11]
4.    Pemeliharaanal-Qur’an di Masa Abu Bakar al-Shiddiq
Setelah Rasulullah SAW wafat pada awal abad ke-11 Hijriyah, para sahabat secara aklamasi memilih Abu Bakar unutk memegang tampuk pemerintahan, dan sekaligus menjadi khalifah pertama.
Pada masa awal pemerintahannya, Abu Bakar di hadapakan pada berbagai persoalan, di antaranya adalah banyaknya orang islam yang belum kuat imannya, terutama di Najed dan Yaman, sehingga banyak di antara mereka yang murtad, selain itu, Khalifah juga di hadapkan gerrakan membangkang pembayaran zakat, sekaligus orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai Nabi yang di pelopori oleh Musailamah al-Kadzdzab.[12] Terhadap pembangkang-pembangkan itu, khalifah Abu Bakar sangat tanggap dan bertindak tegas. Hal ini dapat disimak dan dilihat dari perkataanya:
والله لو متعو نى عنا قا كا نوا يؤ دو نها لر سول الله صلى الله عليه وسلم لقا تلتهم على منعها
“Demi Allah, sekiranya mereka menolak untuk menyerahkan seekor anak domba sebagai zakat, seperti yang mereka serahkan kepada Rasulullah SAW pasti akan aku perangi meraka.[13]
Menurut sejarah, perang Yamamah adalah yang menjadikan latar belakang timbulnya kecemasan Umar bin Khathtahb, kemudian mendorong dan mengusulkan kepada khalifah Abu Bkar agar seceptanya mengusahakan menghimpun ayat-ayat al-Qur’an menjadi satu mushaf. Pada mulanya Khalifah Abu Bakr merasa ragu menerima usulan Umar, tetapi setelah melalui diskusi dan pertimbangan yang cermat, akhirnya khalifah Abu Bakr menerima usulan itu. Kemudian khalifah Abu Bakar memanggil dan memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit untuk menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang masih berserakan.[14]
Dalam menjalankan tugasnya itu, Zaid bin Tsabit selalu berpegang teguh pada dua hal, yaitu:
a.      Ayat-ayat al-Qur’an yang benar-benar ditulis oleh para sahabat bersam-sama denganya dihadapan Rasulullah SAW yang tersimpan di rumah beliau.
b.      Ayat-ayat al-Qur’an yang dihafal oleh para sahabat penghafal al-Qur’an yang masih hidup pada masa itu.[15]
Selaku ketua dewan dalam menunaikan yang teramat mulia itu, Zaid bin Tsabit dibantu oleh beberapa anggota dewan, mereka adalah Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Umar bin Khaththab.
Keseriausan dan kesengguhan Zaid bin Tsabit dalam menjalankan tugasnya terlihat jelas, ketika ia mengetahui ada satu ayat yang luput ditulis, yang belum ditemukan kepastian bunyinya, sehingga terus dilacak, sampai akhirnya ditemukan pada Abu Khuzaemah al-Ansory, yaitu ayat terakhir pada surah al-Taubah. Zaid bin Tsabit tidak menemukan akhir surah al-Taubah  itu dalam bentuk tulisan kecuali pada Abu Khuzaemah.[16]
Kelebihan Mushaf Abu Bakar , diantaranya:
1.        Penelitian yang sangat berhati-hati, detail, cermat dan sempurna.
2.        Yang ditulis pada mushaf hanya ayat yang sudah jelas tidak dinasakh bacaannya.
3.        Telah menjadi ijmak umat secara mutawatir bahwa yuang tercatat itu adalah ayat-ayat al-Qur’an
4.        Mushaf itu memiliki Qira’ah Sab’ah yang dinukil secara sahih.[17]
5.        Pemeliharaan al-Qur’an di Masa Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan
‘Utsman bin ‘Affan mulai memangku jabatan khalifah pada tahun 24 H. Sejala dengan perkembangan islam yang luas, umat islam ikut menyebar ke berbagai pelosok negri yang berada di bawah kekuasaan Islam. Pada periode ini timbul rasa untuk mempelajari al-Qur’an, termasuk cara membaca dan pengucapanya. Yang akhirnya menyebabkan perselisihan cara membaca, karena menganggap cara membaca yang diajarkan gurunya yang paling benar( deferensial bacaan al-Qur’an ). Misalnya, penduduk Syam menggunakan bacaan Ubay bin Ka’ab, penduduk Kufah mengikuti bacaan Abdullah bin Mas’ud, dan penduduk lainya menggunakan bacaan Abu Musa al-Asy’ariy.[18]
Gerakan pemeliharaan al-Qur’an pada masa khalifah ‘Utsman bin ‘Affan mengandung beberapa faedah dan tujuan, diantaranya:
1.      Mempersatukan dan menyeragamkan tulisan dan ejaan serat bacaan al-Qur’an, berdasarkan yang diajarkan Rasulullah SAW denagn jalan mutawatir.
2.      Agar umat islam berpegang pada mushaf yang disusun dengan sempurna atas dasar taufiqi dari Rasulullah SAW.
3.      Memersatukan urutan susunan surat-surat dalam al-Qur’an sesuai petunjuk Rasulullah SAW yang diterima secara mutawatir.[19]
Usaha Lanjutan dalam Menyempurnakan Mushaf ‘Usmaniy
Pada mulanya, tulisan yang ada pada masa ke-7 Masehi hanya berupa simbol dasar, yang ditulis amat sederhana. Dari penulisan tersebut, kemudian berkembang dalam berbagai bentuk, seperti tulisan huruf Kufi, Maghrib, Nasah, dan lainnya. Seperti yang diketahui, bahwa penulisan mushaf pada masa Abu Bakar dan juga ‘Usaman tidak disertai dengan tanda baca (Pungtasi). Hal tersebut terjadi karena para sahabat terbiasa membaca mushaf tanpa harus ada bimbingan. Menurut Abu Ahmad al-Askariy, Keadaan tersebut tejadi kurang lebih 40 tahun, yaitu sampai masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan dari khalifah Bani Ummayah. Sampai akhirnya ada penambahan tanda baca dalam al-Qur’an.
Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat mengenai siapa sebenarnya yang pertama berupaya untuk itu.
1.      Abu Amar al-Daiy dalam hal ini memandang, bahwa tidak mustahil kalau penulisan tanda baca dilakukan oleh para sahabat, karena mereka jugalah yang membuat gambar-gambar yang menandai setiap 5 ayat atau setiap 10 ayat di dalam mushaf.[20]
2.      Banyak ulama berpendapat, bahwa yang pertama memberikan tanda baca adalah Abu al-Aswad al-Du’ali, atas perintah khalifah Ali bin Abi Thalib. Menurut riwayat, suatu ketika Abu al-Aswad pernah mendengar seseorang Bashrah membaca ayat al-Qur’an dengan cara salah, sehingga mengubah seluruh pengertian ayat tersebut. Ayat yang dimaksud adalah:
ان الله برئ من المشركين ورسولُه....(التوبة: 3)
Namun malah seseorang Bashrah iru membaca ان الله برئ من المشركين ور سولِه
sejak itulah Abu al-Aswad mulai bekerja, dan hasilnya sampai pada pembuatan tanda fathah berupa satu titik di atas huruf, tanda kasrah berupa satu titik di bawah huruf, tanda dlumah berupa satu titik desela-sela atau disamping huruf, dan tanda sukun berupa dua titik.[21]
Perbedaan Pengumpulan Al-Qur’an oleh Abu Bakar dan oleh Utsman
Pengumpulan al-Qur’an pada masa Abu Bakar adalah meindahkan ayat-ayat al-Qur’an dari pelepah kurma, kulit, dan daun ke dalam satu mushaf. Sementara sebab pengumpulan al-Qur’an adalah karena gugurnya para haffazh. Sedangkan pengumpulan pada masa Utsman adalah sekedar memperbanyak salinan mushaf yang telah dikumpulkan pasa masa Abu Bakar untuk dikirim ke berbagai daerah. Adapun sebab lainya adalah terjadi perbedaan qira’ah dalam membaca al-Qur’an.[22]
6.        Penyusunan Al-Qur’an
a.         Susunan Ayat ke dalam Surah
Al-Qur’an merupakan sebuah kitab yang tersusun dari ayat-ayat dan surah yang dikumpulkan menjadi astu mushaf. Karena susunannya yang tidak berurutanlah yang membuatnya istimewa, hal ini menjadi rahasia, dan hanya Allah SWT yang mengetahui alasannya. Dalam penyusunan al-Qur’an Nabi Muhammad SAW selalu mendapat petunjuk dari Allah SWT melaui malaikat Jibril a.s, dimana harus meletakan sebuah ayat pada sebuah surah atupun susunan surah-surahnya  tersebut. Menurut beberapa riwayat meneyebutkan bahwa Nabi Muhammad memberi instruksi kepada para penulis tentang letak ayat pada setiap surah. Utsman menjelaskan baik wahyu itu mencakup ayat panjang maupun satu ayat terpisah, Nabi Muhammad selalu memanggil penulisnya dan berkata, “Letakan ayat-ayat tersebut ke dalam surah seperti yang beliau sebut.”[23] Zaid bin Tsabit menegaskan “Kami akan kumpulkan al-Qur’an di depan Nabi Muhammad.” Menurut Utsman bin Abi al-Ash, malaikat Jibril menemui Nabi Muhammad memberi perintah akan penempatan ayat tertentu.
1.         Utsman bin Abi al-Ash melaporkan bahwa saat sedang duduk bersama Nabi
Muhammad ketika beliau memalingkan pendangan pada suatu titik dan kemudian berkata, “Malaikat Jibril menemuiku dan meminta agar menempatkan ayat ini. Ayat yang dimaksud adalah ayat ke 90 pada surah An-Nahl.
Al-Kalbi melaporkan dari Abu Sufyan tentang Ibnu Abbas berkaitan dengan ayat, واتقوا يو ما تر جعون فيه إلى الله..... , yaitu ayat 281 pada surah al-Baqarah. Ia menjelaskan adalah ayat terakhiryang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Malaikat Jibril turun dan meminta meletakanya setelah ayat ke 280 dalam surah al-Baqarah.[24]
Ubay bin Ka’ab menjelaskan, “Kadang-kadang permulaan surah itu diwahyukan pada Nabi Muhammad, kemudian saya menulisnya, dan wahyu yang lain pada beliau lalu berkat, “Ubay! Tulislah ini dalam surah yang menyebut ini dan itu. Dalam kesempatan lain wahyu diturunkan pada beliau dan saya menunggu perintah yang hendak diberikan sehingga beliau memberi tahu tampat yang sesuai dari suatu ayat.[25]
b.    Penyusunan Surah
Keunikan susunan al-Qur’an memberi peluang tiap surah berfungsi sebagai satuan bebas, independen unit, di mana tidak terdapat kronologi atau sumber cerita lain yang masuk ke dalam nasakh. Para ulama sepakat bahwa mengikuti susunan dalam al-Qur’an buakn suatu kemestian, baik dalam shalat, bacaan, belajar, maupun pengjaran hafalan.[26] Setiap surah berdiri sendiri dan tidak ada satu pun yang turun kemudian dapat mengklaim memiliki lagalitas lebih terhadap yang sebelumnya.
Nabi Muhammad pernah membaca surah al-Baqarah, an Nashr, dan kemudian Ali-Imran, secara berurutan dalam satu raka’at,[27] tidak seperti yang kita ketahui dalam al-Qur’an.
Para ulama berbeda pendapat tenang tertib surah surah al-Qur’an:
1.      Tertib surah itu berdasarkan taufiqi dan ditangani langsung oelh Nabi sebagaimana diberitauhan Jibril kepadanya atas perintah Tuhan. Dengan demikian, al-Qur’an pada masa Nabi telah tersusun surahnya secara tertib sebagaimana yang ada saat ini.
Ibnu Hisar mengatakan: ‘’Tertib surah dan letak ayat-ayat pada tempat-tempatnya itu berdasarkan wahyu. Rasulullah mengatakan: ‘’Letakan ayat ini di tempat ini,’’ hal tersebut telah diperkuat pula oleh nukilan yang mutawatir dengan tertib seperti ini, dari bacaan Rasulullah dan Ijma para sahabat untuk meletakan atau menyusunya seperti ini di dalam mushaf.[28]
2.      Dikatakan bahwa tertib surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat, mengingat adanya perbedaaan tertib di dalam mushaf-mushaf mereka. Misalnya mushaf Ali disusun menurut tertib Nuzul, yakni dimulai dengan Iqra’, kemudian al-Muddatsir, lalu Nun, al-Qalam, dan seterusnya. Dalam mushat Ibn Mas’ud yang pertama ditulis adalah surah al-Baqarah, kemudian an-Nisa, dan kemudian Ali-Imran. Dalam mushaf ‘Ubai yang pertama ditulis ialah al-Fatihah, al-Baqarah, kemudian an-Nisa, dan kemudian Ali-Imran.[29]
c.       Surah-surah dan ayat-ayat al-Qur’an
Surah-surah al-Qur’an itu ada 4 bagian:
1.    At-Tiwal ada 7 surah, yaitu al-Baqarah, Ali-Imran, an-Nisa, al-Ma’idah, al-An’am, al-A’raf, dan yang ke-7 ada yang mengatakan al-Anfal dan al-Baqarah sekaligus karean tidak dipisah dengan basmalah.
2.    Al-Mi’un, yaitu surah-surah yng ayat-ayatnya lebih dari seratus atau sekitar itu.
3.    Al-Misani, yaitu surah-surah yang jumlah ayatnya dibawah al-Mi’un. Dikatan Masani, karean surah itu diulang-ulang bacaanya lebih dari at-Tiwal dan al-Mi’un.
4.      Al-Mufassal, dikatakan bahwa surah-surah ini dimulai dari surah Qaf, ada pula yang mengatakan dimulai dari surah al-Hujurat, juga ada yang mengatakan dimulai dari surah lain. Mufassal terbagi menjadi 3, yaitu:
a.      Mufassal Tiwal dimulai dari surah Qaf atau al-Hujurat sampai dengan ‘Amma atau al-Buruj.
b.        Mufassal Ausat dimulai dari surah ‘Amma atau al-Buruj sampai dengan ad-Duha atau Lam Yakun.
c.         Mufassal Qisar dimulai dari ad-Duha atau Lam Yakun sampai dengan surah al-Qur’an yang terakhir.




Kesimpulan
Perekaman dan penyusunan al-Qur’an ini telah terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW. Dimana beliau memberikan tugas kepada para sahabat untuk menulis wahyu yang telah turun, dengan tujuan supaya dibaca oleh sahabat yang lain dan juga supaya mudah untuk difahami. Penyusuan al-Qur’an sendiri itu berdasarkan perintah dari Nabi (taufiqi).
Yang menjadikan permasalahan pokok mengenai pemeliharaan al-Qur’an pada masa Abu Bakar adalah dengan pengumplan al-Qur’an menjadi satu mushaf, dikarenakan ada kehawatiran para pengahafal akan habis kerena gugur dalam perang.
Selanjutnya, yang menjadi permasalahan pokok pemeliharaan pada masa ‘Utsman bin Affan adalah karena adanya perbedaan cara membaca al-Qur’an, dikarenakan mereka membaca al-Qur’an dengan megikuti logat kedaerahan mereka sendiri dan juga mengikuti cara membaca sahabat yang dikirim ke pelosok daerah.

















Daftar Pustaka:
Usman. 2009. Ulumul Qur’an. yogyakarta: TERAS
Ash-Shabuni, Syekh Muhammad Ali. At-Tibyan fi Ulumil Qur’an. 2001, diterjemah oleh Muhammad Qadirun Nur, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis,  Jakarta: Pustaka Amani.
Al-A’zami, M. M, 2014, The History of The Qur’anic Text: From Revelation to Complikation, diterjemah oleh Sejarah Teks Al-Qur’an Dari Wahyu Sampai Kompilasi, Depok: GEMA INSANI.
Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2016. Mabhis fi Ulumil Qur’an. diterjemah oleh Mudzakir AS. Bogor: Litera Antar Nusa


[1] Ibnu Hisyam, sira, vol. 1-2, h. 343-346
[2]
[3] As-Suyuti, ad-Dur al-Mantur, i: 11
[4] Untuk lebih jelas harap dilihat M.M al-A’zami, kuttab an-Nabi.
[5] Muhammad Ali al-Shabinuy, op.cit., h. 57.
[6] Ibid., h.57
[7] Muhammad ‘Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy, op.cit., h. 242.
[8] Dawuh al-‘Aththar, mujaz ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: al-Mu’assasah al-A’lami li al-Mathbu’at, 1979), h.125.
[9] Dawud al-‘Aththar, op.cit,. h.123. lihat, Shubhi, Mabahits..., h.69.
[10] Muhammad ‘Ali al-Shabuniy, op.cit., h. 58.
[11] Ibid., h. 59. Lihat Shubhi, Mabahits fi ‘Ulum al-qur’an, h. 73
[12] Usman, Ulumul Qur’an, h. 66.
[13] Hasan al-Banna, Muqaddimah fi Tafsir, (al-Kwait: Dar al-Qur’an al-Karim, 1971), h.101.
[14] Usman, Ulumul Qur’an, h. 68
[15] Rifa’at Syauqi Nawawi dan M. Ali Hasan, op.cit., h. 123.
[16] Shubhu al-Shalih, op.cit., h. 75.
[17] Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, h. 86
[18] Rifa’at Syauqi Nawawi dan M. Ali Hasan, op.cit., h. 125
[19] Usman, Ulumul Qur’an, h. 90
[20] Shubhi al-Shalihy, op.cit., h. 91.
[21] Manna’ Khalil al-Qaththan, op.cit., h. 150.
[22] Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Iktisar Ulumul Qur’an, Praktis, h. 92
[24] Al-Baqilani, al-Intisar, h. 176-177.
[25] Ibid, h. 176
[28] Lihat al-Itqan, jilid 1, h. 62.
[29] Manna khalil al-Khattan, h. 206
 

Post a Comment for "MAKALAH PEREKAMAN DAN PENYUSUNAN AL-QUR’AN"