EPISTEMOLOGI
Oleh : elrosyadi296
KATA
PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT karena
dengan karunia-Nyalah saya dapat menyelesaikan tugas mata kuliah. Shalawat dan
shalam semoga dilimpahkan oleh-Nya kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang
membawa umatnya dari yang gelap gulita ke arah alam yang sangat terang
benderang, juga kepada keluarga, sahabat, serta semua pengikutnya yang setia
disepanjang zaman.
Dalam kesempatan yang berbahagia ini penyusun merasa
sangat bersyukur kepada Allah atas kenikmatan yang telah diberikan-Nya,
sehingga pada kesempatan ini penyusun dapat menyelesaikan makalah ini. Walaupun
banyak sekali kekurangan yang berada dalam makalah ini namun penulis berusaha
dengan segenap kemampuan untuk memberikan kesan yang sangat berguna sehingga
makalah yang kami susun ini dapat berguna bagi siapa saja yang membacanya.
Kami sadari bahwa dalam pembuatan makalah ini banyak
sekali kekurangan sehingga perlu adanya penjelasan lebih lanjut guna memberikan
penjelasan yang lebih kompleks dengan apa yang memang perlu dijelaskan. Hal ini
memang perlu dilakukan demi memberikan pemahaman yang lebih komfrehensif.
Penyusun mohon maaf apabila dalam pembuatan makalah ini banyak sekali
kekurangan. Untuk itu kritik dan saran sangat kami harapkan guna perbaikan
pembuatan makalah dimasa yang akan datang.
DAFTAR
ISI
Kata pengantar ……………………………………………………………….
|
1
|
|
Daftar isi ……………………………………………………………………..
|
2
|
|
BAB I
|
PENDAHULUAN
|
3
|
A.
Latar
Belakang …………………………………………………….
|
3
|
|
B.
Rumusan
Masalah …………………………………………………
|
3
|
|
BAB II
|
PEMBAHASAN
|
4
|
A. Pengertian
Epistemologi ………………………………………….
|
4
|
|
B. Model
Epistemologi …..………………………………………….
|
5
|
|
BAB III
|
PENUTUP
|
10
|
A.
Kesimpulan
…………………………………………………..
|
10
|
|
B.
Saran
……………………………………………………………….
|
10
|
|
Daftar pustaka …………………………………………………………….
|
11
|
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang masuk dalam
kancah pemikiran Islam lewat terjemahan, telah diakui oleh banyak kalangan. Hal
ini mendorong filsafat Islam menjadi semakin pesat. Islam menganjurkan untuk mempelajari
filsafat, namun tetap berpegang teguh pada al-Qur’an dan al-Hadits. Filsafat
digunakan untuk membuktikan kebenaran yang telah ada di dalam wahyu.
Selanjutnya, yang mesti menjadi perhatian adalah
pandangan Islam tentang realitas sebagai objek kajian ilmu ternyata tidak hanya
terpaku pada dunia empirik atau fisikal, tetapi mencakup juga dunia ruh. Diri
manusia sendiri adalah miniatur semesta yang tidak hanya terdiri atas jasad
tetapi juga hati, perasaan, jiwa, dan ruh yang merupakan bagian dari Tuhan.
Karena itu, metodologi pemikiran Islam tidak hanya bisa mengandalkan
eksperimen-eksperimen lahiriyah atau hanya mengandalkan kekuatan atau
kegeniusan rasio tetapi harus dengan kesucian hati. Apapun metode yang
digunakan harus didukung oleh kebersihan jiwa.
B.
Rumusan Masalah
A.
Apakah yang dimaksud
dengan Epistemologi
?
B.
Apa saja model yang ada di dalam Epistemologi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Epistemologi
Secara etimologi, kata epistemologi berasal dari kata
Yunani, episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos
berarti ilmu. Jadi, epistemologi adalah teori tentang pengetahuan. Dan
juga merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal-muasal, metode-metode dan
sahnya ilmu pengetahuan.
Istilah epistemologi terkait dengan :
1.
Filsafat, yaitu sebagai
ilmu berusaha mencari hakekat dan kebenaran pengetahuan.
2.
Metode, yaitu sebagai
metode bertujuan mengantarkan manusia untuk memperoleh pengetahuan.
3.
Sistem, yaitu sebagai
suatu sistem bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.
Secara umum pertanyaan-pertanyaan epistimologis
menyangkut dua macam, yakni epistimologi kefilsafatan yang erat hubungannnya
dengan psikologi dan pertanyaan-pertanyaan semantik yang menyangkut hubungan
antara pengetahuan dengan objek pengetahuan tersebut. Epistimologi meliputi tata cara dan sarana untuk mencapai
pemgetahuan. Perbedaan mengenai pemilihan ontologik akan mengakibatkan
perbedaan sarana yang akan digunakan yaitu: akal, pengalaman, budi, intuisi,
atau sarana yang lain. Ditunjukan bagaimana kelebihan dan kelemahan suatu cara
pendekatan dan batas-batas validitas dari suatuyang diperoleh melalui suatu
cara pendekatan ilmiah.
Dalam perspektif Barat dikenal adanya tiga aliran
epistemologi, yaitu empirisme (berdasarkan pada alam), rasionalisme (berdasarkan alat indra), dan positivisme (dipertimbangkan oleh akal,
kemudian disistemisasi sehingga terbentuk pengetahuan). Epistemologi-epistemologi dalam dunia Barat tersebut memperlihatkan bahwa
pengetahuan berpusat pada dua hal, indera dan rasio. Ini menunjukkan bahwa pusat dari epistemologi adalah
manusia sendiri. Didalam Islam, epistemologi tidak berpusat kepada manusia.
Manusia bukanlah makhluk mandiri yang dapat menentukan kebenaran seenaknya.
Semuanya berpusat kepada Allah. Di satu pihak, epistemologi Islam berpusat pada
Allah, dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dan sumber segala kebenaran.
Namun, bukan berarti manusia tidak penting. Di pihak lain, epistemologi Islam
berpusat pula pada manusia, dalam arti manusia sebagai pelaku pencari
pengetahuan.
B. Model Epistemologi
Seperti telah disebutkan
pada bagian awal dari pembahasan ini, setidaknya ada tiga model berfikir yang
umum dipakai oleh banyak kalangan manusia. Berikut akan kami uraikan tiga model
berpikir yang umum dipakai dalam studi (kajian) islam, oleh al-Jabiri yakni : Model Linguistik atau tekstual (bayani), Model
Demonstratif (Burhani), dan Gnostik atau intuitif (`Irfani).
Berikut pemaparannya :
1.
Epistemologi Burhani
Al-Burhani secara sederhana bisa diartikan sebagai suatu
aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran proposisi melalui pendekatan
deduktif dengan mengaitkan proposisi satu dengan proposisi yang lain yang telah
terbukti kebenarannya secara aksiomatik.
Menurut Al-Jabiri, prinsip-prinsip burhani pertama kali
dibangun oleh Aristoteles (384-322 SM) yang dikenal dengan istilah metode
analitik (tahlili); suatu cara berpikir yang didasarkan pada proposisi tertentu
dengan mengambil 10 kategori, sebagai objek kajiannya.
Sarjana pertama yang mengenalkan dan menggunakan metode
burhani adalah al-Kindi (806-875 M). Kemudian, metode rasional atau burhani ini
semakin masuk sebagai salah satu sistem pemikiran Islam Arab setelah masa
al-Razi (865-925 M). Ia lebih ekstrim dalam teologi dan dikenal sebagai seorang
rasionalis murni yang hanya mempercayai akal. Dan akhirnya, metode burhani
benar-benar mendapat tempat dalam sistem pemikiran Islam setelah masa al-Farabi
(870-950 M).
Ciri utama dari burhani adalah silogisme, tetapi
silogisme tidak mesti menunjukkan burhani. Dalam bahasa Arab, silogisme
diterjemahkan dengan qiyas. Sedangkan secara istilah, silogisme adalah suatu
bentuk argumen di mana dua proposisi yang disebut premis, dirujukkan bersama
sedemikian rupa, sehingga sebuah keputusan (konklusi) pasti menyertai.[1]
2.
Epistemologi Irfani
Irfan dari kata dasar bahasa Arab ‘arafa semakna dengan
makrifat, berarti pengetahuan. Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan
yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman. Karena itu, secara
epistimologis, irfan dapat diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang
diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya serta adanya
oleh ruhani yang dilakukan atas dasar cinta. Irfan adalah wujud mutlak, yaitu
Allah swt. Para ahli berbeda pendapat
tentang asal sumber irfan yaitu:
Pertama, menganggap bahwa irfan
Islam berasal dari sumber Persia dan Majusi. Alasannya, sejumlah besar
orang-orang Majusi di Iran Utara tetap memeluk agama mereka setelah penaklukan
Islam dan banyak tokoh sufi yang berasal dari daerah Khurasan.
Kedua, irfan berasal dari sumber-sumber
Kristen. Alasannya adalah:
Ø Adanya interaksi antara orang-orang Arab dan kaum Nasrani
pada masa jahiliyah maupun zaman Islam,
Ø Adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para sufis,
dalam soal ajaran, tata cara melatih jiwa, dengan kehidupan Yesus dan
ajarannya.
Ketiga, irfan ditimba dari
India. Alasannya adalah:
Ø Kemunculan dan penyebaran irfan pertama kali adalah di
Khurasan,
Ø Kebanyakan dari para sufi angkatan pertama bukan dari
kalangan Arab,
Ø Pada masa sebelum Islam, Turkistan adalah pusat agama dan
kebudayaan Timur serta Barat,
Ø Konsep dan metode tasawuf seperti keluasan hati dan
pemakaian tasbih adalah praktek-praktek dari India.
Keempat, irfan berasal dari
sumber-sumber Yunani. Perkembangan irfan, secara
umum bisa dibagi dalam lima fase, yaitu:
Ø Fase pembibitan (abad pertama hijriah). Karakter periode
ini adalah:
ü
Berdasarkan ajaran
al-Qur’an dan sunnah, menjauhi hal-hal duniawi demi meraih pahala dan menjaga
diri dari neraka.
ü
Bersifat praktis, tanpa
ada perhatian untuk menyusun teori atas praktek-praktek yang dilakukan.
ü Motivasi zuhudnya adalah rasa takut.
Ø Fase kelahiran (abad kedua hijriah). Jika pada abad
pertama hijriah, zuhud dilakukan atas dasar takut dan mengharap pahala, pada
periode ini zuhud dilakukan atas dasar cinta kepada Tuhan, bebas dari rasa
takut atau harapan mendapat pahala.
Ø Fase pertumbuhan (abad 3-4 hijriah). Pada fase ini, irfan
telah mengkaji soal moral, tingkah laku dan peningkatannya, pengenalan intuitif
langsung pada Tuhan, dan pencapaian kebahagiaan..
Ø Fase puncak (abad ke-5 H). Pada periode ini irfan
mencapai periode gemilang dengan banyaknya pribadi besar yang lahir dan menulis
tentang irfan, di antaranya al-Ghazali (Ihya Ulum al-Din) yang menyelaraskan
tasawuf dan fiqh (irfan dan bayani).
Ø Fase spesikasi (abad ke-6 dan 7 H). Irfan semakin dikenal
dan berkembang dalam masyarakat Islam berkat pengaruh pribadi al-Ghazali.[2]
3.
Epistemologi Bayani
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan
otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasikan
oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlal). Secara langsung
artinya memahami memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung
mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami
teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski
demikian, hal ini tidak berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan
maksudnya, tetapi harus tetap bersandar pada teks. Dalam bayani, rasio dianggap
tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam
perspektif keagamaan, sasaran bidik metode bayani adalah aspek eksoterik
(syari’at).
Pengertian tentang bayani, berkembang sejalan dengan
perkembangan pemikiran Islam. Begitu pula aturan-aturan metode yang ada di
dalamnya. Pada masa Syafi’i (767-820 M) yang dianggap sebagai peletak dasar
yurisprudensi Islam, bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang
mengandung persoalan ushul (pokok) dan yang berkembang hingga ke cabang (furu’).
Sedang dari segi metodologi, Syafi’i membagi bayan ini dalam lima bagian dan
tingkatan, yaitu:
Ø Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut, berkenaan
dengan sesuatu yang telah dijelaskan Tuhan dalam al-Qur’an sebagai ketentuan
bagi makhluk-Nya.
Ø Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh
penjelasan sunnah.
Ø Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh
penjelasan sunnah.
Ø Bayan sunnah, sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur’an.
Ø Bayan ijtihad, yang dilakukan dengan qiyas atau sesuatu
yang tidak terdapat dalam al-Qur’an maupun sunnah.[3]
BAB III
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di
atas dapat disimpulkan bahwa epistemologi adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari tentang cara-cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai suatu
tujuan dengan hasil yang efektif dan efisien. Ada bebarapa metodologi dalam
filsafat Islam, diantaranya:
1.
Burhani, yaitu suatu
aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran proposisi melalui pendekatan
deduktif dengan mengaitkan proposisi satu dengan proposisi yang lain yang telah
terbukti kebenarannya secara aksiomatik.
2.
Irfani, yaitu pengungkapan
atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada
hamba-Nya serta adanya oleh ruhani yang dilakukan atas dasar cinta. Irfan
adalah wujud mutlak, yaitu Allah swt.
3.
Bayani, yaitu metode
pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau
tidak langsung, dan dijustifikasikan oleh akal kebahasaan yang digali lewat
inferensi (istidlal).
B. SARAN
Demikian makalah ini penulis susun, semoga dapat memberi manfaat bagi penulis
khususnya dan pembaca pada umumnya. Penulis berharap kepada pembaca untuk
memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun kepada penulis demi
perbaikan makalah yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
http://habibisir.blogspot.co.id/2013/04/epistemologi-bayani-burhani-dan-irfani.html
http://habibisir.blogspot.co.id/2013/04/epistemologi-bayani-burhani-dan-irfani.html
Arief, Armai. 2002. Pengantar
Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers.
Soleh, A. Khudori. 2004. Wacana
Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1].
A. Khudori Soleh, M.Ag., Wacana Baru Filsafat Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 219-224.
[2].
A. Khudori Soleh, M.Ag., Wacana Baru Filsafat Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 194-121.
[3].
A. Khudori Soleh, M.Ag., Wacana Baru Filsafat Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 177-179.
Post a Comment for "EPISTEMOLOGI"