kisah sufi 05-07 : Nasihat Darwisy Untuk Raja Zalim, Bayazid Al-Busthami Pergi Berhaji, Kepala Ikan untuk Sang Nelayan, Bahlul dan Tahta Raja
EL-RO said :
kisah sufi 05-07
kisah sufi 05-07
Nasihat Darwisy
Untuk Raja Zalim
Sa'di
bercerita; Alkisah, Seorang raja yang zalim berkenan memanggil seorang darwis
ke istananya untuk memberi nasihat. Ketika sufi itu datang, Raja Zalim berkata,
"Berikan aku nasihat. Amal apa yang paling
utama untuk aku lakukan sebagai bekalku ke akhirat nanti?" Sang
darwis menjawab, "Amal terbaik untuk baginda adalah tidur." Raja itu
kehairanan, "Mengapa?" "Karena
ketika tidur," jawab sufi itu, "baginda berhenti menzalimi rakyat.
Ketika baginda tidur, rakyat dapat beristirahat dari kezaliman."
Bayazid
Al-Busthami Pergi Berhaji
Seorang tokoh
sufi besar, Bayazid Al-Busthami suatu saat pergi naik haji ke Mekkah. Pada haji
kali pertama,
ia menangis. "Aku belum berhaji," isaknya, "karena yang aku
lihat cuma batu-batuan Ka'bah saja." Ia pun pergi haji pada kesempatan berikutnya. Sepulang dari
Mekkah, Bayazid kembali menangis, "Aku masih belum berhaji," ucapnya
masih di sela tangisan, "yang aku lihat hanya rumah Allah dan pemiliknya."
Pada haji yang ketiga, Bayazid merasa ia telah menyempurnakan
hajinya. "Karena kali ini," ucap Bayazid,
"aku tak melihat apa-apa kecuali Allah subhanahu wa ta'ala...."
Kepala Ikan
untuk Sang Nelayan
Seorang nelayan
salih di Tunisia tinggal di sebuah gubuk yang sederhana dari tanah liat. Setiap
hari ia melayarkan
perahunya untuk menangkap ikan. Setiap hari, ia terbiasa menyerahkan seluruh
hasil tangkapannya
pada orang-orang miskin dan hanya menyisakan sepotong kepala ikan untuk ia
rebus sebagai
makan malamnya. Nelayan itu lalu berguru kepada syaikh besar sufi, Ibn Arabi.
Seiring dengan berlalunya waktu, ia pun menjadi seorang
syaikh seperti gurunya.
Suatu saat,
salah seorang murid sang nelayan akan mengadakan perjalanan ke Spanyol. Nelayan
itu memintanya
untuk mengunjungi Syaikhul Akbar, Ibn Arabi. Nelayan itu berpesan agar
dimintakan nasihat bagi dirinya. Ia merasakan kebuntuan dalam jiwanya. Pergilah
murid itu ke kota kediaman Ibn Arabi. Kepada penduduk setempat, ia menanyakan
tempat tinggal
sang syaikh. Orang-orang menunjukkan kepadanya sebuah puri indah bagai istana
yang berdiri di puncak suatu bukit. "Itulah rumah Syaikh," ujar
mereka. Murid
itu amat terkejut. Ia berfikir betapa amat duniawinya Ibn Arabi dibandingkan
dengan gurunya sendiri, yang tak lebih dari seorang nelayan sederhana. Dengan
penuh keraguan, ia pun pergi mengunjungi rumah mewah yang ditunjukkan.
Sepanjang perjalanan ia melewati ladang-ladang yang subur, jalanan yang
bersih, dan kumpulan sapi, domba, dan kambing. Setiap
kali ia bertanya kepada orang yang dijumpainya, selalu ia memperoleh jawaban
bahwa pemilik
dari semua ladang, lahan, dan ternak itu tak lain ialah Ibn Arabi. Tak
henti-hentinya ia bertanya kepada diri sendiri, bagaimana mungkin seorang materialistik
seperti itu boleh menjadi seorang guru sufi. Ketika
tiba ia di puri tersebut, apa yang paling ditakutinya terbukti. Kekayaan dan
kemewahan yang disaksikannya di rumah sang syaikh tak pernah ia bayangkan, bahkan
dalam mimpinya. Dinding rumah itu terbuat dari marmer, seluruh permukaan lantainya ditutupi oleh
karpet-karpet mahal. Para pelayannya mengenakan pakaian dari sutra. Baju mereka lebih indah
dari apa yang dipakai oleh orang terkaya di
kampung halamannya. Murid itu meminta untuk bertemu dengan sang syaikh. Pelayan
menjawab bahwa Syaikh Ibn Arabi sedang mengunjungi khalifah dan akan segera kembali. Tak lama
kemudian, ia menyaksikan sebuah arak-arakan mendekati puri tersebut. Pertama muncul pasukan
pengawal kehormatan yang terdiri dari tentara
khalifah, lengkap dengan perisai dan senjata yang berkilauan, mengendarai
kuda-kuda arabia yang gagah. Lalu muncullah Ibn Arabi dengan pakaian sutra yang
teramat indah, lengkap dengan surban yang lazim dipakai para sultan.
Si murid lalu
dibawa menghadap Ibn Arabi. Para pelayan yang terdiri dari para pemuda tampan
dan gadis
cantik membawakan kue-kue dan minuman. Murid itu pun menyampaikan pesan dari
gurunya. Ia menjadi tambah terkejut dan geram ketika Ibn Arabi mengatakan
kepadanya, "Katakanlah pada gurumu,
masalahnya adalah ia masih terlalu terikat kepada dunia." Tatkala
murid itu kembali ke kampungnya, guru nelayan itu dengan antusias menanyakan
apakah ia sempat bertemu dengan syaikh besar itu. Dipenuhi keraguan, murid
itu mengaku bahwa ia memang telah menemuinya. "Lalu," tanya nelayan itu, "apakah
ia menitipkan kepadamu suatu nasihat bagiku?" Pada
awalnya, si murid enggan mengulangi nasihat dari Ibn Arabi. Ia merasa amat tak
pantas mengingat
betapa berkecukupannya ia lihat kehidupan Ibn Arabi dan betapa berkekurangannya kehidupan
gurunya sendiri. Namun karena guru itu terus memaksanya, akhirnya murid itu pun
bercerita tentang apa yang dikatakan oleh Ibn Arabi.
Mendengar itu semua, nelayan itu berurai air mata. Muridnya tambah kehairanan, bagaimana
mungkin Ibn Arabi yang hidup sedemikian mewah, berani menasihati gurunya bahwa
ia terlalu
terikat kepada dunia. "Dia benar," jawab sang nelayan, "ia benar-benar tak
peduli dengan semua yang ada padanya. Sedangkan aku, setiap malam ketika aku
menyantap kepala ikan, selalu aku berharap seandainya saja itu seekor ikan yang
utuh.
Bahlul dan Tahta Raja
Bahlul, si tolol yang bijaksana, sering menyembunyikan kecendekiaannya di
balik tabir kegilaan. Dengan itu, ia
dapat keluar masuk istana Harun Al-Rasyid dengan bebasnya. Sang Raja pun amat menghargai
bimbingannya. Suatu hari, Bahlul masuk ke istana dan menemukan singgasana Raja
kosong. Dengan enteng, ia langsung mendudukinya. Menempati tahta Raja termasuk ke dalam
kejahatan berat dan boleh dihukum mati. Para
pengawal menangkap Bahlul, menyeretnya turun dari tahta, dan memukulinya.
Mendengar teriakan Bahlul yang kesakitan, Raja segera menghampirinya. Bahlul
masih menangis keras ketika Raja menanyakan sebab keributan ini kepada para
pengawal. Raja berkata kepada yang memukuli Bahlul, “Kasihan! Orang ini gila. Mana
ada orang waras yang berani menduduki singgasana Raja?” Ia lalu berpaling ke arah Bahlul,
“Sudahlah, tak usah menangis. Jangan kuatir, cepat
hapus air matamu.” Bahlul menjawab, “Wahai Raja, bukan pukulan mereka yang membuatku
menangis. Aku menangis karena kasihan terhadapmu!”
“Kau
mengasihaniku?” Harun mengherdik, “Mengapa engkau harus menangisiku?” Bahlul
menjawab,
“Wahai Raja,
aku cuma duduk di tahtamu sekali tapi mereka telah memukuliku dengan begitu
keras. Apalagi
kau, kau telah menduduki tahtamu selama dua puluh tahun. Pukulan seperti apa
yang akan kau terima? Aku menangis karena memikirkan nasibmu yang malang…
Post a Comment for "kisah sufi 05-07 : Nasihat Darwisy Untuk Raja Zalim, Bayazid Al-Busthami Pergi Berhaji, Kepala Ikan untuk Sang Nelayan, Bahlul dan Tahta Raja"