kisah sufi 02-04 : Tuhan Melihat Hatimu, Tiga Nasihat, Keperluan Yang Makin Mendesak
EL-RO said :
kisah sufi 02-04
kisah sufi 02-04
Tuhan Melihat
Hatimu
Pada suatu
hari, Hasan Al-Basri pergi mengunjungi Habib Ajmi, seorang sufi besar lain.
Pada waktu salatnya, Hasan mendengar Ajmi banyak melafalkan bacaan salatnya
dengan keliru. Oleh karena itu, Hasan memutuskan untuk tidak salat berjamaah dengannya. Ia
menganggap kurang pantaslah bagi dirinya untuk
salat bersama orang yang tak boleh mengucapkan bacaan salat dengan benar. Di malam harinya, Hasan
Al-Basri bermimpi. Ia mendengar Tuhan berbicara kepadanya, “Hasan, jika saja
kau berdiri di belakang Habib Ajmi dan menunaikan salatmu, kau akan memperoleh
keridaan-Ku, dan salat kamu itu akan memberimu manfaat yang jauh lebih besar
daripada seluruh salat dalam hidupmu. Kau
mencoba mencari kesalahan dalam bacaan salatnya, tapi kau tak melihat kemurnian
dan kesucian
hatinya. Ketahuilah, Aku lebih menyukai hati yang tulus daripada pengucapan
tajwid yang sempurna.
Tiga Nasihat
Pada suatu
hari, ada seseorang menangkap burung. Burung itu berkata kepadanya, Aku tak
berguna bagimu
sebagai tawanan. Lepaskan saja aku. Nanti aku beri kau tiga nasihat. Si
burung berjanji akan memberikan nasihat pertama ketika berada dalam genggaman
orang itu. Yang kedua akan diberikannya kalau ia sudah berada di cabang pohon dan
yang ketiga ketika ia sudah mencapai puncak bukit. Orang itu
setuju, lalu ia meminta nasihat pertama. Kata burung itu, Kalau kau kehilangan
sesuatu, meskipun
engkau menghargainya seperti hidupmu sendiri, jangan menyesal. Orang
itu pun melepaskannya dan burung itu segera melompat ke dahan. Disampaikannya
nasihat yang kedua, Jangan percaya kepada segala yang bertentangan dengan akal,
apabila tak ada bukti. Kemudian burung itu terbang ke puncak gunung. Dari sana ia berkata,
Wahai manusia malang! Dalam diriku terdapat dua permata besar, kalau saja tadi kau membunuhku,
kau akan memperolehnya. Orang itu sangat menyesal memikirkan kehilangannya, namun katanya,
setidaknya, katakan padaku nasihat yang ketiga
itu! Si burung menjawab, Alangkah
tololnya kau meminta nasihat ketiga sedangkan yang kedua pun belum kau
renungkan sama sekali. Sudah kukatakan
padaku agar jangan kecewa kalau kehilangan dan jangan mempercayai
hal yang bertentangan dengan akal. Kini kau malah melakukan keduanya. Kau
percaya pada
hal yang tak masuk akal dan menyesali kehilanganmu. Aku pun tidak cukup besar
untuk menyimpan
dua permata besar! Kau tolol! Oleh karenanya kau harus tetap berada dalam
keterbatasan yang disediakan bagi manusia. (Catatan: Dalam
lingkungan darwis, kisah ini dianggap sangat penting untuk mengakalkan fikiran siswa
sufi, menyiapkannya menghadapi pengalaman yang tidak boleh dicapai dengan
cara-cara biasa. Di samping penggunaannya sehari-hari di kalangan sufi, kisah ini
terdapat juga dalam karya klasik Rumi, Matsnawi.
Kisah ini juga ditonjolkan dalam Kitab Ketuhanan karya Fariduddin Aththar,
salah seorang
guru Rumi. Kedua tokoh sufi itu hidup pada abad ketiga belas.)
Keperluan Yang
Makin Mendesak
Pada suatu
malam, seorang penguasa tiran di Turkistan sedang mendengarkan kisah-kisah yang disampaikan
oleh seorang darwis. Tiba-tiba bertanya tentang Nabi Khidir. Khidir, kata
darwis itu, datang kalau diperlukan. Tangkap dan jubahkan ia kalau ia muncul, dan
segala pengetahuan menjadi milik paduka. Apakah itu boleh terjadi pada siapa pun? Siapa pun
boleh, kata darwis itu. Siapa pula lebih boleh dariku? fikir sang Raja; dan ia pun
mengedarkan pengumuman: Barangsiapa boleh
menghadirkan Khidir yang gaib, akan kujadikan orang kaya. Seorang
lelaki miskin dan buta bernama Bakhtiar Baba, setelah mendengar pengumuman itu
menyusun akal.
Ia berkata kepada istrinya, Aku punya rencana. Kita akan segera kaya, tetapi
beberapa lama kemudian aku harus mati. Namun, hal itu tidak mengapa, sebab
kekayaan kita itu boleh menghidupimu selamanya. Kemudian
Bakhtiar menghadap Raja dan mengatakan bahwa ia akan mencari Khidir dalam waktu empat
puluh hari, kalau Raja bersedia memberinya seribu keping emas. Kalau kau boleh
menemukan Khidir, kata Raja, kau akan mendapat sepuluh kali seribu keping
wang emas ini. Kalau gagal, kau akan mati, dipancung
di tempat ini sebagai peringatan kepada siapa pun yang akan mencoba mempermainkan
rajanya. Bakhtiar
menerima syarat itu. Ia pun pulang dan memberikan wang itu kepada istrinya,
sebagi jaminan hari tuanya. Sisa hidupnya yang tinggal empat puluh hari itu
dipergunakannya untuk merenung, mempersiapkan diri memasuki kehidupan lain. Pada hari keempat puluh ia
menghadap Raja. Yang Mulia, katanya, kerakusanmu telah menyebabkan kau berfikir
bahwa wang akan boleh mendatangkan Khidir. Tetapi Khidir, kata orang, tidak akan muncul oleh
panggilan yang berdasarkan kerakusan. Sang Raja
sangat marah, Orang celaka, kau telah mengorbankan nyawamu; siapa pula kau ini
berani mencampuri
keinginan seorang raja? Bakhtiar berkata, Menurut dongeng, semua orang boleh bertemu
Khidir, tetapi pertemuan itu hanya akan ada
manfaatnya apabila maksud orang itu benar. Mereka bilang, Khidir akan menemui
orang selama
ia boleh memanfaatkan saat kunjungannya itu. Itulah hal yang kita tidak
menguasainya. Cukup ocehan itu, kata sang Raja, sebab tak akan memperpanjang
hidupmu. Hanya tinggal meminta para menteri yang berkumpul di sini agar memberikan nasihatnya
tentang cara yang terbaik untuk menghukummu. Ia menoleh ke Menteri Pertama dan bertanya, Bagaimana cara orang
itu mati? Menteri Pertama menjawab, Panggang dia hidup-hidup sebagai peringatan. Menteri
Kedua, yang berbicara sesuai urutannya, berkata, Potong-potong tubuhnya,
pisah-pisahkan anggota badannya. Menteri Ketiga berkata, Sediakan kebutuhan hidup orang itu agar ia
tidak lagi mau menipu demi kelangsungan hidup keluarganya. Sementara
pembicaraan itu berlangsung, seseorang yang bijaksana yang sudah sangat tua
memasuki rwang
pertemuan. Ia berkata, Setiap orang mengajukan pendapat sesuai dengan prasangka
yang tersembunyi
di dalam dirinya. Apa maksudmu, tanya Raja. Maksudku, Menteri Pertama itu
aslinya Tukang Roti, jadi ia berbicara tentang panggang memanggang. Menteri
Kedua, dulunya Tukang Daging, jadi ia berbicara tentang potong memotong daging.
Menteri Ketiga, yang telah mempelajari ilmu
kenegaraan, melihat sumber masalah yang kita bicarakan ini. Catat
dua hal ini, pertama, Khidir muncul melayani setiap orang sesuai kemampuan
orang itu untuk memanfaatkan kedatangannya. Kedua, Bakhtiar, orang ini yang kuberi
nama Baba (Bapak dalam bahasa Parsi, -red.) karena pengorbanannya- telah didesak oleh
keputusasaannya untuk melakukan tindakan tersebut. Keperluannya semakin mendesak sehingga aku pun
muncul di depanmu. Ketika orang-orang itu memperhatikannya, orang tua yang bijaksana
itu pun lenyap begitu saja. Sesuai yang
diperintahkan Khidir. Raja memberikan belanja teratur kepada Bakhtiar. Menteri
Pertama dan Kedua dipecat, dan seribu keping wang emas itu dikembalikan ke kas
kerajaan oleh Bakhtiar dan istrinya. (Catatan: Konon, Bakhtiar Baba adalah seorang sufi bijaksana, yang
hidupnya sangat sederhana dan tak dikenal orang
di Khurasan, sampai peristiwa yang ada dalam kisah itu terjadi. Kisah ini, dikatakan
juga terjadi
pada sejumlah besar syekh sufi lain dan menggambarkan pengertian tentang
terjalinnya keinginan manusia dengan makhluk lain. Khidir merupakan penghubung
antara keduanya. Judul ini diambil dari sebuah sajak terkenal karya Jalaluddin Rumi: Peralatan
baru bagi pemahaman akan ada apabila keperluan menuntutnya/ Karenanya, wahai manusia, jadikan
keperluanmu makin mendesak/ Sehingga engkau boleh mendesakkan pemahamanmu lebih peka lagi.)
Post a Comment for "kisah sufi 02-04 : Tuhan Melihat Hatimu, Tiga Nasihat, Keperluan Yang Makin Mendesak"