Wajib Membentuk Imarah (Kepemimpinan)
Wajib Membentuk Imarah (Kepemimpinan)
Harus diketahui, bahwa memimpin
dan mengendalikan rakyat adalah kewajiban yang asasi dalam agama. Bahkan iqamatuddin
tidak mungkin direalisasikan, kecuali dengan adanya “kepemimpinan”.
Sedangkan seluruh anak Adam, mustahil akan mencapai kemaslahatan optimal kalau
tidak ada perkumpulan yang mengikat dan memecahkan kebutuhan mereka.
Perkumpulan ini sudah pasti butuh seorang pemimpin untuk mengendalikan.
Demikian urgennya masalah yang
satu ini, hingga Rasulullah saw. bersabda:
إِذَا
خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرَ، فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ. /رواه أبو داود/
“Apabila ada tiga orang keluar
untuk bepergian. Maka hendaklah mereka menjadikan salah satu sebagai amir
(pemimpin.)”
(H.r.
Abu Daud dari Abi Sa’id Al-Khudzry dan Abu Hurairah ).
Sementara itu Imam Ahmad dalam Musnad-nya
meriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash, bahwasanya Nabi Muhammad saw.
bersabda :
لاَ
يَحِلُّ لِثَلاَثَةٍ يَكُوْنُوْنَ بِعَلاَةٍ مِنَ الأَرْضِ إِلاَّأَمْرُوا
عَلَيْهِمْ اَحَدَهُمْ. /رواه احمد/
“Tidak halal bagi tiga orang yang
berada di padang pasir dari bagian bumi ini (dalam rangka bepergian), kecuali
hendaklah mereka menjadikan salah satu sebagai pemimpin di kalangan mereka”
Di sini Rasulullah saw.
mewajibkan salah seorang menjadi pemimpin dalah sebuah perkumpulan yang kecil
dan bersifat mendadak (yakni dalam bepergian), sebagai isyarat dan perhatian
akan pentingnya hal itu pada semua bentuk perkumpulan lain yang lebih besar.
Juga karena Allah swt. telah mewajibkan amar ma’ruf dan nahi anil
mungkar. Sedangkan proyek besar itu tidak mungkin terealisasi dengan baik
tanpa adannya qawwah (otoritas) dan imarah (kepemimipinan).
Demikian pula seluruh rangkaian ibadat yang diwajibkan oleh-Nya, seperti jihad,
menegakkan keadilan, haji, melakukan upacara-upacara ritual, membela yang
teraniaya dan menegakkkan hukuman-hukuman, tidak mungkin itu semua
terealisasinya kecuali dengan adanya quwwah dan imarah. Dari
sinilah ada sebuah riwayat yang mengatakan , “Kekuasaan adalah naungan Allah
yang ada di bumi.” Riwayat lain mengatakan, “Enam puluh tahun dari
kehidupan seorang pemimpin yang zalim itu lebih baik daripada satu malam tanpa
adanya kepemimpinan.”
Realitas sepertinya membuktikan
hal itu. Oleh karena itu pulalah para salafus shaleh seperti Fudhail bin
‘Iyadh, Ahmad bin Hambal dan yang lainnya mengatakn, “Seandainya kami memiliki
dakwah yang diturut dan diikuti, niscaya kami akan menyuruh untuk sebuah
kekuasaan.”
Rasulullah saw. bersabda :
“Sesungguhnya Allah rela kepadamu
sekalian dalam tiga perkara: Hendaklah kamu beribadat kepada-Nya dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu. Hendaklah kamu semuanya berpegang teguh dengan
tali Allah dan janganlah bercerai-berai, dan hendaklah kamu sekalian saling
menasehati kepada orang yang dijadikan Allah pemimpin atas perkaramu.” (H.r.
Muslim).
Beliau
juga bersabda :
ثَلاَثٌ لاَيَغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ:
إِخْلاَصُ الْعَمَلِ اللهِ، وَمُنَاصَحَةُ وُلاَةِ اْلأُمُوْرِ، وَلُزُوْمِ
جَمَاعَةِ الْمُسْلِمْينَ، فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُحِيْطُ مِنْ وَرَائِهِمْ. /رواه ابن ماجه/
“Tiga hal yang tidak mungkin hati seorang Muslim dengki di
dalamnya : Ikhlas beramal karena Allah, saling menasehati kepada ulil amri dan
komitmen terhadap jam’atul Muslimin, karena sesungguhnya seruan mereka akan melingkupi
siapa saja yang ada di belakang mererka.” (H.r.
Ahlus Sunan)
Dan dalam riwayat Imam Bukhari, Rasulullah saw.
bersada :
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ،
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ. قَالُوْا: لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: لِلهِ
وَلِكِتاَبِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ. /رواه الترمذي/
“Agama itu nasihat, agama itu nasihat, agama itu nasihat.
“Mereka bertanya, “Bagi siapa wahai Rasulallah?” Rasulallah saw. bersabda,
“Bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya dan bagi para imamnya (pemimpin) kaum Muslimin serta seluruh dari mereka.”
Maka wajib untuk membentuk sebuah imarah dalam
rangka realisasi spiritual dan mendekatkan diri kepada Allah. Sesungguhnya
mendekatkan diri kepada-Nya dalam imarah tadi, yakni dengan menaati-Nya
dan menaati Rasul-Nya itu adalah taqarrub yang paling utama. Sementara yang
merusak imarah sebagai taqarrub adalah manakala muncul sebagian besar
manusia yang ambisi terhadap imarah tadi atau terhadap harta kekayaan.
Diriwayatkan dari Ka’ab bin Malik dari Rasulullah
saw, bahwasanya beliau bersabda:
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي زَرِيْبَةِ غَنَمٍ
بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصٍ الْمَرْءِ عَلَي
المَالِ وَالشَّرَفِ لِدِنِيْهِ. /رواه الترمذي/
“Tidaklah dua serigala
lapar yang disuruh untuk menerkam kambing itu lebih rusak dan berbahaya
daripada ambisinya seseorang terhadap harta dan prestise dalam merusak
agamanya. ” (Imam
Tirmidzi mengatakan bahwa ini
adalah hadis yang hasan dan shahih).
Dalam hadis ini Rasulullah saw. menjelaskan, bahwa
ambisi seseorang terhadap harta dan status social itu dapat menjadi perusak
agamanya yang perumpamaannya lebih berbahaya daripada dua ekor serigala lapar
yang disuruh untuk menerkam kambing yang tidak berbahaya.
Sungguh Allah swt. sendiri telah mengisahkan
keberadaan orang yang pada hari Kiamat akan menerima catatan amalnya dengan
tangan kiri dalam sebuah firman-Nya, “Hartaku sekali-kali tidak memberi
manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaan daripadaku” (Q.s. Al-Haqqah: 28-9).
Tujuan akhir dari pemburu kekuasaan adalah seperti
Fir’aun, dan orang yang rakus terhadap harta adalah Qarun. Allah swt. sendiri
telah menjelaskan kondisi fir’aun dan Qarun dalam sebuah firman-Nya, “Dan
tidakkah mereka berjalan di atas bumi, lalu melihat bagaimanakah akibat
orang-orang yang ada sebelum mereka? Adalah mereka itu lebih sangat kuat dan
lebih banyak bekas –bekas dari mereka di bumi, tetapi Allah siksa mereka dengan
sebab dosa-dosa mereka, dan tidaklah ada bagi mereka seorang penyelamat dari
Allah.”
(Q.s. Ghafir: 21)
Allah swt. juga berfirman, “Negeri akhirat itu
Kami peruntukkan bagi orang-orang yang tidak menginginkan ketinggian di muka
bumi dan tidak menginginkan kerusakan. Dan akibat yang paling baik adalah bagi
orang-orang yang bertakwa.” (Q.s.
Al-Qashash: 83).
Dari firman Allah di atas, manusia terbagi menjadi
empat golongan:
Pertama: Golongan mereka yang menginginkan
kesombongan dan ketinggian serta kerusakan di bumi, yakni dengan bermaksiat
kepada Allah. Mereka itu adalah para raja dan pemimpin seperti Fir’aun dan
kelompoknya. Mereka itulah sejelek-jelek manusia. Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya
Fir’aun telah melewati batas di bumi, dan ia jadikan penduduknya
bergolong-golongan. Ia tindas segolongan dari mereka, ia sembelih anak-anak laki-laki
mereka dan ia biarkan hidup anak-anak wanita mereka. Sesungguhnya ia adalh dari
segolongan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.s.
Al-Qashash: 4)
imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya
dari Abdullah bin Mas’ud r.a yang mengatakn bahwa Rasulullah saw. bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ
ذَّرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ، وَلَا يَدْخُلُ النَّارَ فِي قَلْبِهِ مَثْقَالُ ذَّرَّةٍ
مِنْ إِيْمَانِ. فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ ! إِنِّي أَحَبُّ أَنْ
يَكُوْنَ ثَوْبِي حَسَنًا، وَنَعْلِي حَسَنًا، أَفَمِنَ الْكِبْرِ ذَاكَ؟ قَالَ: لاَ!
إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْظُ
الْنَّاسِ. /رواه مسلم/
“Tidak akan masuk surge bagi orang yang di dalam hatinya
terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan, dan tidak akan masuk neraka bagi
orang-orang yang di dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari keimanan.
“Seorang berkata, “Wahai Raslullah, aku menginginkan agar baju dan sandalku
baik, apakah itu bagian dari kesombongan?” Rasulullah menjawab, “Tidak,
sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah
berpaling dari kebenaran dan meremehkan manusia.”
Berpaling dari kebenaran adalah menolak dan
mengingkarinya, sementara meremehkan manusia adalah meremehkan dan
menganggapnya hina. Inilah kondisi orang yang menginginkan kesombongan dan
kerusakan di muka bumi.
Kedua: golongan yang menghendaki kerusakan tanpa
ingin kesombongan, seperti para pencuri dan penjahat yang hanya ingin membuat
keresahan bagi manusia yang lain.
Ketiga: Golongan yang menghendaki kesombongan, namun
tidak berbuat kerusakan, seperti kelompok mereka yang mempunyai kredibilitas
spriritual dan menginginkan mempunyai prestise tersendiri di hadapan manusia
yang lain.
Keempat: Ahlul Jannah, yakni mereka yang
tidak menginginkan kesombongan dan tidak mau berbuat kerusakan. Walau mungkin
secara lahiriah mereka lebih dari yang lainnya. Sebagaimana firman Allah, “Dan
janganlah kamu sekalian merasa lemah atau gelisah, karena sesungguhnya kamu
sekalian adalah orang-orang yang tinggi derajatnya, jika kalian beriman.” (Q.s. Ali Imran: 139). Allah juga berfirman, “Dan janganlah kamu
sekalian merasa lemah dan mau untuk mengajak berdamai, karena sesungguhnya kamu
sekalian adalah yang tertinggi derajatnya, karena kamulah yang akan menagng
lantaran Allah beserta kamu dan tidak akn Dia sia-siakan terhadap kamu akan
amal-amalmu.” (Q.s.
Muhammad: 35). Firman-Nya
yang lain, “Dan bagi Allah izzah (ketinggian derajat), bagi Rasul-Nya dan
bagi orang-orang yang beriman.” (Q.s.
Al-Munafiqun: 8)
Secara sitematik, proses peradaban yang dilakukan
Nabi pada masyarakat Islam di Yastrib adalah: pertama, Nabi Muhammad
SAW. mengubah nama Yastrib menjadi Madinah (Madinat Ar-Rasul, Madinah
An-Nabi, atau Madinah Al-Munawwarah). Perubahan nama yang bukan
terjadi secar kebetulan, tetapi perubahan nama yang menggambarkan cita-cita
Nabi Muhammad SAW., yaitu membentuk sebuah masyarakt yang tertib dan maju, dan
berperadaban; kedua,membangun masjid. Masjjid bukan hanya dijadikan
pusat kegiatan ritual shalat saja, tetapi juga menjadi sarana penting untuk
mempersatukan kaum muslimin dengan musyawarah dalam merundingkan
masalah-masalah yang dihadapi. Di samping itu, masjid juga menjadi pusat
kegiatan pemerintahan; ketiga,Nabi Muhammad SAW. membentuk kegiatan mu’akhat
(persaudaraan), yaitu mempersaudarakn kaum Muhajirin (orang-orang yang hijrah
dari Mekah ke Yastrib). Persaudaraan diharapkan dapat mengikat kaum muslimin
dalam stu persaudaraan dan kekeluargaan Nabi Muhammad SAW. membentuk persaudaraan
yang baru, yaitu persaudaraan seagama, di samping bentuk persaudaraan yang
sudah ada sebelumnya , yaitu bentuk persaudaraan berdasarkan darah; keempat,
membentuk persahabatan dengan pihak-pihaklain yang tidak beragama Islam;
dan kelima, Nabi Muhammad SAW. membentuk pasukan tentara untuk
mengantisipai gangguan-gangguan yang dilakukan oleh musuh[8].
Mengomentari tentang perubahan nama Yastrib menjadi
Madinah,dalam pandangan Nurholish Madjid, bahwa agenda-agenda politik kerasulan
telah diletakkan dan beliau bertindak sebagai utusan Allah,kepala Negara,
komandan tentara, dan pemimpin kemasyarakatan. Semua yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad SAW. di kota hijrah itu merupakan refleksi dari ide yang terkandung
dalam perkataan Arab madinah, yang secara etimologis berarti tempat
peradaban, yaitu padanan perkataan Yunani polis,(seperti dalam nama
kota Constantinopel). Dan Madinah dalam arti itu sama dengan hadarah
dan tsaqarah, yang masing-masing sering diterjemahkan, berturut-turut,
perabadan dan kebudayaan, tetapi secara etimologis mempunyai arti
pola kehidupan menetap sebagai lawan dari badawah yang berarti
“pola kehidupan mengembara”, nomad. Oleh karena itu, perkataan madinah,
dalam peristilahan modern, menunjuk pada semangat dan pengertian civil
society, suatu istilah Inggris yang berarti “masyarakat sopan, beradab, dan
teratur” dalam bentuk Negara yang baik. Dalam arti inilah harus difahami
kata-kata hikmah dalam bahasa Arab, (al-insanu madniy-un bi ath-thab’-i) “manusia
menurut naturnya adalah bermasyarakat budaya” merupakan padana adagium terkenal
Yunani bahwa manusia adalah zoon politicon[9]
Munawir Sadzali menguraikan bahwa dasar-dasar
kenegaraan yang terdapat dalam Piagam Madinah adalah: pertama,
umat Islam merupakan satu komunitas (umat) meskipun berasal dari suku yang
beragam; dan kedua, hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara
anggota komunitas Islam dengan komunitas-komunitaslain didasarkan atas
prinsip-prinsip: a) bertetangga baik; b) saling membantu dalam menghadapi musuh
bersama; c) membela mereka yang dianiaya; d) saling menasehati; dan e)
menghormati kebebasan beragama