MAKALAH METODOLOGI TAFSIR TAFSIR AL-QUR’AN PADA MASA SAHABAT
MAKALAH METODOLOGI TAFSIR
TAFSIR
AL-QUR’AN PADA MASA SAHABAT
Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas individu pada semester III
Dosen Pembimbing :
Ali Mahfudz, M.S.I.
Disusun Oleh :
1.
Luthfi Rosyadi NIM : 1631037
ILMU AL-QUR’AN
DAN TAFSIR / III
FAKULTAS USHULUDDIN, DAKWAH, DAN SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
KEBUMEN
2016/2017
BAB I
Pendahuluan
A.
Latar
belakang
Al-Qur’an adalah kalamullah yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagi risalah yang universal. Dan
merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia yang lengkap dan komprehensif.
Nabi SAW selalu memberikan penjelasan dan penafsiran terhadap aya-ayat
Al-Qur’an. Maka wajarlah jika para sahabat juga memberikan komentar terhadap
Al-Qur’an, guna untuk menjelaskan apa yang belum diejlaskan oleh Nabi SAW.
Sebenarnya penafsiran para sahabat ini, adalah
usaha mereka untuk mengajarkan apa-apa yang pernah mereka dengar dari Nabi SAW.
Dikarenakan Al-Qur’an adalah undang-undang uamt Islam, meskipun sebenarnya
bukan hanya untuk umat Islam melainkan untuk semua umat manusia. Maka bagi
orang-orang yang tidak menjumpai masa hidup Nabi SAW, ataupun belum sempat
bertanya kapada Nabi SAW, maka para sahabat melakukan penafsiran atas ayat-ayat
Al-Qur’an yang masih dirasa samar maknanya. Akan tetapi bukan dengan penafsiran
yang sembarangan, ada hal-hal atau sumber-sumber yang dijadikan rujukan oleh
para sahabat untuk menafsirkan Al-Qur’an.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah interpretasi para sahabat ?
2. Sumber-sumber apa sajakah yang digunakan oleh para sahabat untuk
menafsirkan Al-Qur’an?
3. Siapa sajakah mufassir terkenal pada masa sahabat?
4. Bagaimanakah karakteristik penafsiran para sahabat, dibanding dengan
tafsir-tafsir yang lain?
C.
Tujuan Makalah
1.
Mengetahui interpretasi para sahabat.
2.
Mengetahui Sumber-sumber apa sajakah yang digunakan oleh
para sahabat untuk menafsirkan Al-Qur’an.
3.
Mengetahui para mufassir terkenal pada masa sahabat.
4.
Mengetahui karakteristik penafsiran para sahabat,
dibanding dengan tafsir-tafsir yang lain.
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah
puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita kesehatan,
kenikmatan serta kesempatan, dalam rangka menyelesaikan kewajiban kami sebagai
mahasiswa, yakni dalam bentuk tugas yang diberikan bapak dosen dalam rangka menambah
ilmu pengetahuan dan wawasan kami pula.
Shalawat serta
salam, semoga selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Agung Muhammad SAW, yang
telah mewajibkan kepada kita untuk selalu menuntut ilmu, dan selalu merasa
hauslah akan ilmu.
Ucapan terima
kasih kepada Bapak Ali Mahfudz, M.S.I, selaku dosen pengampu pada mata kuliah metodologi
tafsir, yang telah memberikan bimbingan serta arahan sehingga makalah yang
berjudul “MAKALAH METODOLOGI TAFSIR : TAFSIR AL-QUR’AN PADA MASA SAHABAT”
ini dapat selesai tepat waktu.
Adapun dalam
pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaaan, oleh
karena itu saran dan kritik yang membangun, selalu diharapkan, dalam rangka
perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
amin ya rabbal ‘alamin.
Kebumen,
17 September
2017.
Penyusun
Daftar
Isi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bagaimana Intepretasi Para Sahabat.
Setelah penafsiran pada masa Nabi SAW, kemudian
dilanjutkan penafsiran pada masa sahabat. Adapun pengertian sahabat menurut
para ulama, diantaranya :
a.
Menurut Ibnu Katsir Ash-shahabi, berkata bahwa sahabat
adalah :
هو من رأى رسول الله في
حال إسلام الرائى ، وإن لم تطل صحبته له ، وإن لم يرو عنه شيئا
Artinya : “(sahabat) adalah dia yang melihat
Rasulullah pada masa kepemiminan Islam, meski dia tidak lama menemaninya, dan
meskipun tidak melihat apapun dari Rasulullah SAW.”[1]
b.
Menurut ulama ahli hadits, bahwa sahabat adalah :
هو من لقي النبي يقظة ،
مؤمنا به ، بعد بعثته له ، حال حياته ، ومات على الإيمان
Artinya : “(sahabat) adalah Dialah yang menerima
kewaspadaan Nabi, percaya kepadanya, setelah terutusnya Nabi, semasa hidupnya,
dan meninggal karena iman.”[2]
c.
Ahli ushul fiqh menambahi :
وطالت صحبته ، وكثر لقاؤه
به ، على سبيل التبع له ، والأخذ عنه ، وإن لم يرو عنه شيئا
Artinya : “Dan terus menemaninya, dan banyak berjumpa
dengannya, untuk mengikutinya, dan mengambilnya, tapi tidak melihat apapun dari
Nabi SAW.”[3]
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
sahabat adalah orang-orang yang mengikuti ajaran Nabi SAW, iman kepada Nabi
SAW, dan hidup sezaman dengan Nabi SAW.
Dalam hal penafsiran, sebagian ulama, termasuk Ibnu
Taimiyah rahimahulloh, mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa Nabi SAW,
menafsirkan seluruh isi dari al- Qur’an, dalil yang mereka gunakan adalah
firman Allah SWT, QS. Al-Maidah ayat 67 :
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلرَّسُولُ بَلِّغۡ مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ مِن رَّبِّكَۖ وَإِن لَّمۡ تَفۡعَلۡ
فَمَا بَلَّغۡتَ رِسَالَتَهُۥۚ وَٱللَّهُ يَعۡصِمُكَ مِنَ ٱلنَّاسِۗ إِنَّ ٱللَّهَ
لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡكَٰفِرِينَ
Artinya : “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu,
berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari
(gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir.”[4]
Ada pula golongan yang
mengikuti pendapat, bahwa Nabi SAW tidak menafsirkan seluruh isi Al-Qur’an,
akan tetapi hanya menafsirkan beberapa ayat dari Al-Qur’an.
Seperti itulah gambaran perbedaan dalam hal penafsiran,
akan tetapi dalam memahami Al-Qur’an, sahabat sudah sedikit mengetahui tentang
makna kata-kata dalam Al-Qur’an, karena Al-Qur’an diturunkan menggunakan bahasa
mereka, akan tetapi karena adanya sebagian makna kata atau mufrodat yang masih
samar, maka para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an juga berbeda-beda. Selain
karena makna kata yang masih samar, ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi
perbedaan para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an, diantaranya :
1.
Perbedaan ilmu para sahabat dalam memahami bahasa arab.
2.
Keterseringan para sahabat dalam berjumpa dengan Nabi
SAW, dan mengikuti kegiatan-kegiatan Nabi SAW.
3.
Perbedaan tingkat keilmuan, bakat dan mental para
sahabat.
Oleh karena faktor-faktor tersebut, sehingga kita dapat
menemukan perbedaan tafsir dikalangan para sahabat. Akan tetapi, meskipun para
sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an berbeda-beda, tafsir para sahabat disini
memiliki keistimewaan dibanding dengan tafsir yang lain, yaitu kemurnian isi
tafsir, dimana tafsir para sahabat adalah memuat hal-hal yang pernah mereka
dengar dari Nabi SAW. Sehingga ajaran islamnya masih murni.
Dengan melihat adanya
faktor-faktor diatas, dapat ditemukan beberapa sahabat yang masih bingung dalam
memaknai beberapa arti mufrodat dalam Al-Qur’an, dan maksud dari mufrodat
tersebut.
Sebagai contoh, seperti yang
diriwayatkan oleh anas bin malik RA,
رواه
أنس بن مالك رضي الله عنه : قرأ عمر رضي الله عنه على المنبري قوله تعلى : وَفَٰكِهَةٗ
وَأَبّٗا . فقال : هذه الفاكهة قد عرفناها ، فما الأبّ ؟ ثمّ رجع إلى
نفسه فقال : إن هذا لهو التكلّف يا عمر !!
Artinya : “Diriwayatkan oleh Anas Bin Malik RA,
(ketika) sahabat Umar RA, membaca firman Allah SWT diatas mimbar : (QS. ‘Abasa
: 37) وَفَٰكِهَةٗ وَأَبّٗا Umar RA berkata : kata “الفاكهة” ini, kita sudah tahu, lalu apa (maksud) kata “الأبّ” ?.
lalu ia berkata pada dirinya sendiri, ini adalah hal yang sulit, wahai umar !”[5]
Contoh lain yang dikeluarkan oleh Al-Bukhori,
أخرجه
البخاري من أن عدي بن حاتم لم يفهم معنى قوله تعالى :
وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ
لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ
Artinya : “Dikeluarkan oleh Al-Bukhori, bahwa ‘Adi bin
Hatim, tidak faham dengan firman Allah SWT, (QS. AL-Baqarah : 187)
وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ
حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ
مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ
Artinya : “dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar.”
B. Apakah Sumber Interpretasi Yang Paling Penting Yang Digunakan Para Sahabat.
Para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an selalu
menggunakan 4 sumber[6].
Ke-empat sumber yang paling penting yang
digunakan oleh para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an, yaitu :
1.
Dengan menggunakan Al-Qur’an itu sendiri.
Dalam implementasinya dikenal dengan Tafsir Qur’an bil
Qur’an. Para ulama sepakat hal terpenting dalam menafsirkan Al-Qur’an
adalah dengan menggunakan Al-Qur’an itu sendiri. Begitulah yang dikatakan oleh
Ibnu Taimiyah rahimahulloh.
فإن قال قائل : فما أحسن
طريق للتفسير ؟
والجواب أن أصحّ الطريق
في ذلك أن يفسّير القرأن بالقرأن نفسه ...
Artinya : “Maka jika seseorang berkata : jalan apakah
yang lebih baik untuk menafsirkan ? jawabannya : sesungguhnya jalan terbaik
dalam menafsirkan adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an tu sendiri.”
Seperti yang dikatakan sang hafidz as- suyuthi
rahimahulloh :
قال العلماء : من أراد
تفسير الكتاب العزيز طلبه أولامن القرأن
Artinya : “Ulama berkata : barang siapa yang ingin
menafsirkan kitab mulia (Al-Qur’an), maka mulailah cari dalam Al-Qur’an.”
Sebagai contoh apa yang disebutkan dalam Al-Qur’an, dari
beberapa kisah, seperti kisah Nabi Musa AS yang disebutkan secara global dalam
satu surat, dan sebagian lain di surat yang lain.
Sebagian dari tafsir Al-Qur’an bil Qur’an yaitu
penyebutan ayat mujmal yang dijelaskan dengan ayat mubayyan, sebagaimana firman
Alloh SWT, QS. Ghofir : 28,
وَإِن
يَكُ صَادِقٗا يُصِبۡكُم بَعۡضُ ٱلَّذِي يَعِدُكُمۡۖ
Artinya : “dan jika ia seorang
yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan
menimpamu.”
Dan penafsirannya di ayat yang lain, yaitu QS. Ghofir :
77,
فَإِمَّا
نُرِيَنَّكَ بَعۡضَ ٱلَّذِي نَعِدُهُمۡ أَوۡ نَتَوَفَّيَنَّكَ فَإِلَيۡنَا
يُرۡجَعُونَ
Artinya : “maka meskipun Kami
perlihatkan kepadamu sebagian siksa yang Kami ancamkan kepada mereka ataupun
Kami wafatkan kamu (sebelum ajal menimpa mereka), namun kepada Kami sajalah
mereka dikembalikan.”
Tafsir Al-Qur’an bil Qur’an dengan ayat mutlaq dan
muqoyyad, ‘am dan khas, misalnya meniadakan "الخلّة
والشفاعة" bagi orang awam, firman Allah SWT, QS. AL-Baqarah : 254,
yang berbunyi :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِمَّا رَزَقۡنَٰكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ يَوۡمٞ لَّا
بَيۡعٞ فِيهِ وَلَا خُلَّةٞ وَلَا شَفَٰعَةٞۗ وَٱلۡكَٰفِرُونَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ
Artinya : “ Hai orang-orang yang
beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami
berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual
beli dan tidak ada lagi syafa´at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang
zalim.”
Dan Allah SWT mengecualikan “الخلّة” bagi orang yang yakin, sebagaimana firman Allah SWT,
dalam QS. Az-Zukhruf : 67, yang berbunyi :
ٱلۡأَخِلَّآءُ يَوۡمَئِذِۢ
بَعۡضُهُمۡ لِبَعۡضٍ عَدُوٌّ إِلَّا ٱلۡمُتَّقِينَ
Artinya : “Teman-teman akrab pada
hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang
yang bertakwa.”
Juga mengecualikan siapa yang dapat memberi syafa’at,
sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An-Najm : 26, yang berbunyi :
وَكَم
مِّن مَّلَكٖ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ لَا تُغۡنِي شَفَٰعَتُهُمۡ شَيًۡٔا إِلَّا مِنۢ
بَعۡدِ أَن يَأۡذَنَ ٱللَّهُ لِمَن يَشَآءُ وَيَرۡضَىٰٓ
Artinya : “Dan berapa banyaknya
malaikat di langit, syafa´at mereka sedikitpun tidak berguna, kecuali sesudah
Allah mengijinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya).”
Tafsir Al-Qur’an bil Qur’an menggunakan qiroat satu dengan
yang lainnya. Sebagian qiroat berbeda dalam lafadz akan tetapi sama dalam hal
makna. Sebagai contoh Ibnu Mas’ud membaca :
أو يكون لك بيت من ذهب
Menafsirkan lafadz “الزخرف”, sebagaimana dalam QS. Al-Isra` : 93, yang berbunyi,
أَوۡ
يَكُونَ لَكَ بَيۡتٞ مِّن زُخۡرُفٍ ...
Artinya : “Atau kamu mempunyai
sebuah rumah dari emas,”
2.
Dengan Nabi SAW.
Dalam implementasinya dikenal dengan Tafsir
bis-sunnah. Ketika para sahabat menemui kesulitan makna Al-Qur’an, mereka
meminta pendapat Nabi SAW, karena Allah SWT memeberikan kefahaman lebih kedapa Nabi SAW
tentang Al-Qur’an.
Sebagai contoh, bahwa dahulu para sahabat dalam
menafsirkan Al-Qur’an menggunakan dasar sabda Nabi SAW, yaitu : dalam
firman Allah SWT, QS. Al-Baqarah : 238, yang berbunyi :
حَٰفِظُواْ
عَلَى ٱلصَّلَوَٰتِ وَٱلصَّلَوٰةِ ٱلۡوُسۡطَىٰ وَقُومُواْ لِلَّهِ قَٰنِتِينَ
Artinya : “Peliharalah semua shalat(mu), dan
(peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan
khusyu´.”
Abu Sa’id RA, meriwayatkan, dia
berkata, “sesungguhnya beberapa orang bertanya kepada Nabi SAW tentang ayat
ini.” Maka Nabi SAW bersabda,
"كل
حرف من القرأن يذكر فيه القنوت فهو الطاعة"
Artinya : “setiap huruf Al-Qur’an yang menyebutkan “القنوت”,
maka itu termasuk “الطاعة”.
3.
Dengan Ijtihad Dan Istimbat Para Sahabat.
Ketika para sahabat tidak menemukan penafsiran dalam
Al-Qur’an, dalam sunah, maka mereka berijtihad. Sebagai contoh adalah ketika
Umar RA akan menghukum Qodamah bin Madz’un. Dimana Al-Jarud melaporkan
perbuatan Qodamah kepada Umar RA, bahwa Qodamah telah minum arak dan mabok. Dan
Umar RA menanyakan siapa saksinya, dan Al-Jarud menjawab Abu Hurairah sebagai
saksinya. Kemudian Umar RA menjatuhi hukuman cambuk, namun Qodamah mengajukan
alasan dengan dalil Al-Qur’an, QS. Al-Maidah : 93 yang berbunyi,
لَيۡسَ عَلَى ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ
ٱلصَّٰلِحَٰتِ جُنَاحٞ فِيمَا طَعِمُوٓاْ إِذَا مَا ٱتَّقَواْ وَّءَامَنُواْ
وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ ثُمَّ ٱتَّقَواْ وَّءَامَنُواْ ثُمَّ ٱتَّقَواْ
وَّأَحۡسَنُواْۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
Artinya : “Tidak ada dosa bagi
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan
yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan
mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan
beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Dan Qodamah beralasan bahwa dia juga termasuk golongan
orang beriman, beramal sholeh, bertaqwa, berjihad bersama Rasululloh SAW. Umar
RA pun meminta pendapat kepada Ibnu ‘Abbas RA, dan Ibnu Abbas RA menjawab bahwa
ayat tersebut adalah udzur bagi orang-orang dahulu, dan menjadi hujjah bagi
orang-orang sekarang, karena Allah SWT telah berfirman, dalam QS. Al-Maidah :
90 yang berbunyi,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا
ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ
ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
Artinya : “Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan
itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Dari kisah diatas dapat disimpulkan bahwa Umar RA, masih
menggunakan pendapat sahabat lain dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an.
4.
Ahli Kitab Yahudi Dan Nasrani
Sesungguhnya Al-Qur’an itu sama dengan Taurat dalam
beberapa masalah, lebih khususnya dalam hal kisah para Nabi. Begitu juga dengan
injil, ada beberapa hal yang sama seperti kisah kelahiran Nabi Isa AS, dan juga
kemukjizatannya. Dalam Al-Qur’an tidak menyebutkan kisah secara keseluruhan,
melainkan hanya ringakasannya saja, sebagai ‘ibaroh. Beberapa tokoh
yahudi dan nasrani yang pernah dijadikan sumber adalah ‘Abdullah bin Salam,
Ka’ab Al-Ahbar.[7]
C.
Mufassir Terkenal Pada Masa Sahabat.
Pada masa sahabat terdapat beberapa sahabat yang memang
terkenal sebagai mufassir atau ahli tafsir, ada 10 sahabat yang terkenal
sebagai mufassir yaitu : 4 Khulafaur Rosyidin, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Ubay
bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, dan ‘Abdullah bin Zubair RA.
Diantara para khalifah, sebagian besar hadist-hadist diriwayatkan oleh Ali bin
Abi Thalib RA.[8]
D.
Karakteristik Penafsiran Yang Penting
Penting Dari Para Sahabat.
Ada beberapa karakteristik penafsiran, yang digunakan
oleh para sahabat, diantaranya yaitu :
1.
Tidak semua sahabat menafsirkan Al-Qur’an. Dengan alasan
akan menambah bingung orang-orang yang jauh dari masa sahabat dan Nabi SAW.
2.
Sedikitnya perbedaan diantara para sahabat.
3.
Tidak adanya rekaman dari tafsir pada masa sahabat.
Adanya rekaman adalah setelah abad 2 H, para sahabat mencatatkan tafsirannya
pada mushaf. Karena ditakutkan, jika penafsiran dilakukan bersama-sama pada
masa itu (dicatat dalam mushaf), maka orang-orang pada masa mendatang akan
mengira bahwa itu termasuk ayat dari Allah SWT.
4.
Penyusunan tafsir para sahabat, disusun dengan per juz
dan cabang, tidak seperti nadzom, karena menafsirkan ayat yang berbeda, juga
terpisah-pisah.
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Dari keterangan-keterangan yang telah dipaparkan
diatas, dapat disimpulkan bahwa :
1.
Al-Qur’an masih memiliki penafsiran-penafsiran
lain, yang masih belum dijelaskan oleh Nabi SAW.
2.
Meskipun tingakatan sahabat akan tetapi, tak semua
sahabat berhak menafsirkan Al-Qur’an.
3.
Bahwa para sahabat berperan dalam terjaganya
syariat islam. Dengan adanya penafsiran yang dilakukan oleh para sahabat, dapat
mempermudah para orang pada masa yang akan datang untuk memahami syariat islam
yang ada dalam Al-Qur’an.
4.
Dengan adanya karakteristik penafsiran yang
dimiliki oleh para sahabat, membuatnya lebih dikenali daripada tafsir-tafsir
yang lain.
Daftar
Pustaka
1. Al-Haji, Muhammad. 2007. Tafsir Qobla ‘Ahdi Tadwin. Daarul Maktabi :
Suriah, Damaski.
2. Adz-Dzahabi Husain, Muhammad. Tafsirul Mufassirun. Maktabah Wahibah.
3. Ushama, thameem. 2000. Metodologi tafsir al-qur’an : kajian kritis,
objektif dan komprehensif. Riora Cipta Publication : Jakarta.
[1] Al-Haji, Muhammad, Tafsir Qobla ‘Ahdi
Tadwin. Daarul Maktabi : Suriah, Damaski. 2007. Hal. 165
[2] Op. cit
[3] Op. cit
[4] Op. cit, Hal. 185
[5] Al-Haji, Muhammad, Tafsir Qobla ‘Ahdi
Tadwin. Daarul Maktabi : Suriah, Damaski. 2007. Hal. 186
[6] Adz-Dzahabi Husain, Muhammad. Tafsirul
Mufassirun. Maktabah Wahibah. Hal. 31
[7] Al-Haji, Muhammad, Tafsir Qobla
‘Ahdi Tadwin. Daarul Maktabi : Suriah, Damaski. 2007. Hal. 196
[8] Ushama, thameem. 2000. Metodologi
tafsir al-qur’an : kajian kritis, objektif dan komprehensif. Riora Cipta
Publication : Jakarta. Hal. 10
Post a Comment for "MAKALAH METODOLOGI TAFSIR TAFSIR AL-QUR’AN PADA MASA SAHABAT"